Download App
16.66% Patah Paling Parah / Chapter 6: Harus Sembunyi Lagi

Chapter 6: Harus Sembunyi Lagi

Miko hanya cengar-cengir melihat pria berkaca mata itu mendekatinya. Begitu juga dengan Ndari yang memilih diam sampai ayah berdiri tepat di hadapannya.

"Sudah sore kapan kalian pulang?" Atmaji membuka suara lebih dulu.

Hening untuk sesaat, Ndari masih menatap wajah yang sebelumnya sempat panik. Namun, saat mendekat sudah berubah tenang dan menegur seolah memintanya pulang.

"Iya, Om. Kami juga ingin pulang, kalo boleh tahu

Om sendiri, ngapain kemari?" tanya Miko.

"Kalian itu anak muda. Jika tidak dimata-matai bahaya," sahutnya nyengir dengan ekspresi santai sedikit tertawa.

Jawaban itu membuat Miko mati kutu. Ternyata pria tua itu tidak percaya ketika putrinya bersama dengannya. Baiklah, mungkin sebagai seorang ayah cemas itu wajar. Tiba-tiba ekspresi Atamaji berubah setelah mendengar satu notif WhatsApp di Hpnya.

"Kalian pulang ya, sudah sore. Ayah duluan."

"Om, enggak sekalian bareng kita?" tawar Miko yang melihat pria itu buru-buru.

"Kalian duluan … Ndari, Ayah enggak bisa bareng ada acara penting sama temen."

"Temen kantor, Yah?" Ndari curiga.

"Iya."

"Tapi Ayahkan libur," ucapnya menyangkal.

"Iya teman kantor tetapi acara yang ingin dihadiri tak ada sangkut pautnya dengan kantor."

"Ya sudah, Om. Kalo begitu silakan duluan, takutnya nanti terlambat."

Atmaji menganggukan, pamit lebih dulu. Tak lupa kedua anak muda itu bersalaman. Miko kembali senyum, dapat menikmati waktu lebih lama bersama kekasihnya tanpa harus dimata-matai.

"Hati-hati ayah," teriak Ndari.

Atmaji tampak tergesa-gesa mengangkat telepon sembari mempercepat langkah kaki meninggalkan pergi.

"Woy, ngalamun terus … mikirin apa, entar kesambet lho!" tegur Miko.

"Ehh, tahu enggak sih kalo sikap ayahku itu aneh."

"Aneh, maksudnya?"

"Ya aneh, Mik. Ngapain coba dia harus memata-matai kita?"

"Menurutku wajar sih, apalagi kamu anak satu-satunya yang beliau punya. Tentu sebagai orang tua khawatir dan memastikan keselamatan anaknya, apa itu salah?"

"Iya juga tapi …. "

Ah, entahlah. Rasanya ada yang janggal semenjak ayah membolehkan dirinya pergi bersama dengan cowok.

"Sudahlah enggak usah dipikiran, kamu mau foto-foto lagi? Atau langsung pulang. Aku sih, maunya kita di sini agak lama."

"Pulang sajalah, di sini sudah enggak asik."

***

"Iya iya sayang … kamu jangan marah ya, aku ke sana temui kamu."

Atmaji bergegas menuju titik lokasi yang dibagikan melalui WhatsApp. Menemui wanita yang sudah merajuk karena dirinya telah membatalkan rencana.

"Sayang maaf ya...." suaranya serak tergopoh-gopoh mendekta.

Masih dengan tatapan mata tajam, mendelik tak suka. Mitha menyuapkan sesendok bakso ke mulut. Benar-benar dibuat kesal dan tak ingin menanggapi pria di hadapannya itu.

"Sayang please, maafkan aku ya …." Atmaji mencoba meraih tangan kiri wanita cantik yang dipenuhi dengan emas, di ketiga jarinya. Tentu saja cincin itu semua pemberian darinya. Dengan wajah melas memohon maafkan, berharap dimaafkan.

Mitha hanya memutar bola mata, tak ingin mengasihani.

"Aku yakin kamu mau kok memaafkan," bujuknya mencoba senyum.

"Tahu enggak sih, Mas itu udah bikin aku sebel!"

"Iya sayang aku tahu, jangan marah begitu dong. Nanti cantiknya hilang, lho."

"Ihhh …. " decitnya memelotot ke arah lawan bicara.

Lagi-lagi mencoba tersenyum untuk menutupi kegugupannya, tangan Atmaji melambai ke arah pelayan, untuk memesan satu porsi bakso. "Aku temeni kamu makan ya...."

"Ih, aku itu sebenarnya enggak pengen makan. Pengennya ke air terjun! Mas tahu sendirikan itu tempat wisata baru di kabupaten kita. Aku itu pengen banget ke sana!" renggek Mitha marah.

"Iya sayang aku ngerti tapikan kamu tahu sendiri di sana ada anakku."

"Lagian kenapa sih harus takut sama anak!"

"Bukannya takut tetapi menjaga perasaan, kan Ndari tidak begitu suka sama kamu."

"Kalo kayak gitu terus, kapan kamu nikahin aku!"

Mitha memasukan pentol bakso ke dalam mulut. Namun, apa yang terjadi? Ia malah terbatuk-batuk. Siap pria itu langsung menyodorkan minum. "Uhukk … uhukkkk!"

"Minum Sayang," ucap Atmaji.

Tak lama bakso yang ditunggu datang, bergegas diseruputnya dan benar-benar terasa nikmat. Masih dengan ekspresi yang sama, Mitha mendelik penuh kesal."Terus kapan kamu ajak aku ke air terjun lagi?"

"Iya, jaji deh nanti kalo waku libur. Yang penting kamu jangan marah-marah terus."

"Gimana mau enggak marah, kalo udah susah- susah naik dan kamu suruh turun cuman gara-gara ada Ndari."

Atmaji langsung mengelus tangan Mitha dengan penuh kelembutan. Bibirnya mencoba menarik senyum yang dimanis-maniskan. Matanya mengamati wanita itu dengan jarak yang lebih dekat lagi. Hati kecilnya merasa bersalah, "Sayang tolong lihat aku, pokoknya aku janji bakal bawa kamu ke sana lagi. Percaya deh."

Kedua mata mereka saling berpandangan, saling mengamati apakah ada kebohongan dari sorot mata itu. Seketika Mitha merasa tercekat tenggorokannya, sepertinya pria itu sangat mencintainya, sampai-sampai dari ia bisa merasakan.

"Hemm, iya deh. Aku percaya sama kamu, Mas."

***

"Lho, Mik kok berhenti di sini?"

"Ayo kita makan dulu," ajak Miko melepas helm miliknya dan yang dikenakan Ndari. Sesaat mengelus rambut wanita itu untuk merapikan dan mengajak masuk. Tak lama pelayan menghampiri keduanya menawarkan menu.

Saat itu mata Mitha tak sengaja menoleh. Seketika tenggorakannya tercekat, entah mengapa anak itu ada di mana-mana. Napasnya memburu, tetapi mencoba tenang dan memastikan. Atamji sampai bingung ada apa dengan wanita yang dicintai, karena wajahnya berubah panik.

"Kamu kenapa?"

"Itu … itu anakmu kan!" Telunjuknya ke arah Ndari duduk.

Astaga! Berulang kali, Atmaji melepas kaca mata dan memakai kembali untuk memastikan. Dirinya terbelalak, kaget bukan main, kenapa putrinya itu ada di mana-mana. Aduh, bagimana ini bisa gawat kalo sampai ketahuan.

Manis dingin mulai menjalar di area tubuhnya. Sepertinya Ndari benar-benar curiga, sampai masuk untuk mencari tahu.

"Mas, bagimana?" Mitha gelisah.

"Eee, Sayang kamu bisa sembunyi enggak?"

"Sembunyi? Gila kamu, Mas."

Tampak wanita itu menggertakkan gigi, seperti singa yang ingin menerkam mangsa. Ya, tentu saja dia tahu Mitha tak suka dibegitukan tetapi harus bagimana lagi?

"Kamu lihat sendirikan situasi kita."

"Tapi Mas, udah dua kali ini, lho. Tadi di air terjun nyuruh aku pergi … sekarang sembunyi!" seru Mitha dengan nada rendah namun penuh penekanan.

Atmaji memejamkan mata, memenangkan pikiran yang gundah. Bingung. Namun, membuat Mitha yang kesal malah mencubitnya, spontan dirinya kaget.

"Aduh," lirihnya kesakitan.

"Kenapa sih malah tidur!"

"Siapa yang tidur Sayang, aku itu lagi stress dan bingung."

"Kamu cowok tapi enggak bisa diandalkan, Mas. Aku benci sama kamu!"

''Sayang jangan begitu, dong!"

Mitha beranjak bangkit sebelum ketahuan. Sebenarnya ingin melangkah keluar tetapi sepertinya tak mungkin sebab gadis itu memilih duduk di bangku dekat pintu masuk. Terpaksa dirinya sembunyi di toilet.

Atmaji mengepalkan tangan, kesal. Sampai kapan harus sembunyi-sembunyi terus? Sepertinya harus secepat mungkin merayu Ndari agar menyetujui Mitha jadi ibu sambungnya.

"Kamu udah pernah makan bakso di sini?" tanya Ndari tiba-tiba.

"Belum sih, baru sekali ini. Kamu?"

"Sama aku juga."

Keduanya dengan lahap menikmati bakso yang dihindangkan, tetapi ada yang tidak beres dengan perut Ndari. Ingin mengeluarkan sesuatu, tetapi tak mungkin membuang angin di sini.

"Eee, bentar ya aku mau ke toilet."

Miko hanya menganggukan, Mitha kaget mengira anak itu membututinya. Bergegas ia masuk ke salah satu toilet, hatinya semakin tak karuan. Mengapa anak itu selalu ada di mana-mana. Tanganya mengepal geram.

Ndari merasa lega setelah mengeluarkan sesuatu yang ditahan cukup lama. Namun, Mitha merasa kelepek-klepek dengan aroma di sekitarnya. 'Sial, jorok banget jadi cewek!'

Di sisi lain, Atmaji yang mengetahui anaknya tidak ada. Tak ingi menghilangkan kesempatan untuk pergi, supaya tidak ketahuan. Namun, Miko yang melihat malah menegurnya.

"Lho, Om ada di sini?"

"Ehh, kamu. Kamu sendirian, Ndari sudah diantar pulang?" Terpaksa Atmaji harus basa-basi dengannya pemuda itu, dengan sok akrab.

"Belum Om, kami masih makan bakso nanti saya antarkan di-"

"Ya sudah, kalo begitu Om duluan," potongnya sembari menepuk bahu Miko.

Setelah membayar, Atmaji buru-buru keluar dan Ndari kembali mendekat ke meja. Masih bingung dan heran mengapa ayah kekasihnya bergalak seperti tadi. Miko jadi penasaran sampai lupa duduk pada bangkunya, pandangannya masih terfokus ke luar.

"Lho, Mik kamu kok berdiri. Lihat apaan?"

"Ohhh enggak papa kok, hehe habisnya kamu lama."

"Emang kalo aku lama kamu mau nyusul ke toilet wanita, enggak 'kan," celetuk Ndari tertawa.

"Heheh ya enggaklah. Ada-ada aja kamu ini," sahut Miko turut tertawa.


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C6
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login