Hujan guntur mengguyur sebuah desa di Pulau Laut kala senja itu. Awan gelap mendekap langit tanpa memberi sedikit ruang untuk cahaya menyelusup masuk. Sesosok perempuan basah kuyup sedang berjalan sepanjang jalan beraspal yang licin dan berkelok di sepanjang bibir pantai di lembah pegunungan Bamega.
Ekspresi perempuan itu datar. Dia tak menghiraukan badannya yang basah kuyup dan kotor oleh pasir pantai. Bibirnya menggigil kedinginan. Kakinya hanya beralas sandal jepit warna hijau dengan bekas pasir pantai yang mulai luruh terkena air hujan.
Dia berjalan tanpa menghiraukan sekitar. Ketika di belokan jalan, tanpa ia sadari sesosok bayang muncul dari semak-semak memeluk, dan membekapnya dari belakang. Perempuan itu meronta, tapi tenaganya kalah kuat dengan dekapan sosok laki-laki yang menyeretnya masuk ke dalam rimbunan hutan. Senyap.
***
Seorang laki-laki berkaos kuning, celana jeans selutut, bersepatu karet berjalan menyusuri jalan setapak ke arah hutan di kaki gunung. Dia membawa sebuah Mandau (parang) dan karet berwarna hitam dari bekas ban sepeda motor yang dipotong memajang.
Hujan deras yang mengguyur Pulau Laut sejak sore kemarin berlangsung sampai malam. Bisa dipastikan sungai di gunung banjir membuat aliran air dari gunung ke desa akan berhenti total, karena pipa pecah atau mampet tersumbat sampah. Laki-laki itu bertugas sebagai penjaga dan perawat saluran air.
Masyarakat sudah membayarnya dua puluh ribu per bulan per kepala rumah tangga, jika ada masalah dan tak segera di selesaikan, bisa-bisa dia kena komplain. Sehari dua hari mungkin masih ada air sediaan, dia tak bisa berleha-leha, sedangkan penduduk desa tak memiliki air sekedar untuk membasuh setelah buang air. Mencuci baju mungkin masih bisa ke sungai, tapi tak semua orang sanggup demikian.
Laki-laki berkumis tipis itu memeriksa setiap jengkal pipa besar yang ada di atas tanah. Sudah setengah kilo ke atas gunung dia tak menemukan masalah pada pipa. Sambil sesekali mandaunya menebas semak-semak yang tumbuh tinggi menutupi jalannya.
Dia sudah terbiasa dengan lingkungan hutan di desa itu. Babi, monyet, ular dia tak takut. Apalagi jika musim durian datang, dia dan penduduk sudah terbiasa bermalam di tengah hutan menunggu durian jatuh. Sambil memanen buah-buah hasil hutan yang lain seperti Binjai, Langsat, Kapul (manggis kulit kuning), Ramania dan sebagainya.
Saat ini hutan masih alami, terkadang ada rasa khawatir juga dalam hatinya jika hutan-hutan itu kelak ditebang dan diganti dengan perkebunan sawit atau malah dijadikan tambang. Apa yang akan diwariskan pada anak cucunya jika semua habis dijarah tangan-tangan manusia yang rakus. Sudah saatnya manusia sadar diri, hutan adalah ibu kita. Dari rahimnya kita mendapatkan air dan oksigen untuk bernapas anugerah Ilahi yang patut kita syukuri dan kita jagai.
Tak seperti biasanya si Penjaga Air mendengar suara anjing-anjing hutan menggonggong bersahutan. Insting laki-laki itu merasa ada yang tak beres. Dia mendengar dengan seksama asal suara gonggongan yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Dia berjalan dengan langkah lebar menuju ke Utara, dia urung melanjutkan naik terus ke atas gunung. Si Penjaga Air melihat empat ekor anjing menggonggong pada semak belukar yang ada di hadapan mereka.
"Huuush ... huuush ...!" usir laki-laki itu dengan mengibas-ngibaskan mandaunya pada sekawanan anjing yang menggeram ke arah semak belukar.
Melihat ada manusia yang datang, anjing-anjing itu lari terbirit-birit. Dengan penuh kewaspadaan dan rasa penasaran, si Penjaga Air mendekati semak belukar. Dia terkejut demi melihat penampakan kaki di tanah. Dia mendekati sosok itu, dan nyata di depannya mayat seorang perempuan berkerudung dengan kondisi yang mengenaskan. Badannya basah kuyup dengan baju yang sudah tak menutupi auratnya dengan benar. Laki-laki itu gemetaran, baru kali ini dia melihat mayat manusia.
"Mayaaaat ... mayaaat!" teriaknya langsung lari tunggang langgang turun gunung untuk mengabarkan hasil penemuannya.
***
Di rumah Kepala Desa ramai orang berdatangan. Polisi, petugas medis, dan beberapa warga yang mengevakuasi mayat perempuan datang dari arah gunung menuju rumah Kepala Desa. Teriak histeris terdengar dari dalam rumah begitu mayat perempuan itu dibawa masuk, dan diletakkan di ruang tamu.
"Anakku ... anakku ...," teriak istri Kepala Desa meratapi anak gadisnya sudah terbujur kaku. Dia memeluk jenazah itu dan mengucap sumpah serapah akan mencari si Pembunuh.
Kepala Desa mengerutkan dahinya, dia lebih tegar di banding istrinya. Dia duduk di samping jenazah anak gadisnya.
"Pak, jenazah akan kami bawa ke rumah sakit untuk diotopsi. Bapak ikut kami juga ke sana," terang seorang polisi.
"Baik, Pak, tapi izinkan saya mengatakan sesuatu terlebih dahulu untuk warga saya," ucap Kepala Desa.
Polisi itu mengangguk, mempersilakan.
"Baik, dengarkan wahai para warga sekalian. Saya ikhlaskan anak gadis saya. Saya minta pada pelaku untuk datang meminta maaf pada kami. Kami tunggu kedatangannya selama tiga hari!" terang Kepala Desa kepada warganya.
Semua orang kasak kusuk membicarakan hal itu. Mereka juga penasaran siapa pelakunya. Di sudut teras seorang laki-laki terlihat cemas, lalu berjalan pergi menjauh dari rumah Kepala Desa.
***
Tiga orang laki-laki sedang duduk-duduk di depan sebuah warung nasi kuning. Mereka sedang asyik bermain gitar dan bernyanyi. Warung itu terbuat dari kayu di pinggir jalan dekat dengan laut. Angin laut semilir membawa kenikmatan tersendiri untuk mereka bersantai di luar rumah menghilangkan rasa gerah. Acil (Bibi) pemilik warung sedang santai menonton televisi, karena tak ada yang minta dilayani makan. Seorang laki-laki dengan raut cemas terlihat berjalan cepat-cepat ke arah mereka.
"Eh Bro, tuh si Salim datang," ucap salah seorang dari mereka yang melihat duluan laki-laki yang disebut Salim itu.
Mereka berhenti main gitar lalu melihat ke arah Salim yang sedang berjalan tergesa-gesa. Salim tidak berkata apa-apa, dia langsung mendekat pada laki-laki yang berkaos oblong bercelana katun selutut. Salim membisikkan sesuatu ke telinga laki-laki itu. Alis si kaos Oblong hanya mengerut mendengar yang diucapkan Salim. Lalu mencebikkan bibirnya. Salim pun selesai berbisik dan melihat reaksi si Kaos Oblong. Dua orang kawannya yang ada di situ merasa penasaran.
"Biarkan saja," ucap si Kaos Oblong.
"Ada apa, Di?" tanya salah satu temannya yang berambut gondrong.
"Tak ada apa-apa." Jawab si Kaos Oblong, "Lanjuuut!" pintanya dengan santai pada kawannya agar memetik gitar lagi.
***
Magrib baru saja berlalu. Bulan purnama sempurna menggantung di langit menerangi sebuah rumah yang terbuat dari kayu. Anjing melolong di kejauhan menandakan ada sesuatu yang dilihat atau bisa jadi ajakan kawin pada sang Betina. Bayang-bayang pohon kelapa yang banyak tumbuh di sekitaran rumah kayu membentuk sosok-sosok kelam yang terayun-ayun di terpa angin malam.
Adi, si Kaos Oblong, berbaring di tempat tidurnya. Dia memandangi sebuah foto di tangannya. Foto seorang gadis, anak Kepala Desa yang dicintainya. Wajah Adi terlihat sedih pada awalnya, lalu tiba-tiba matanya nyalang penuh amarah. Disobeknya foto itu menjadi remahan kecil lalu dibuang begitu saja ke lantai kayu.
"Kau memang pantas dihukum Masniah, kau memang pantas mati!" teriak Adi pada remahan foto gadis yang bernama Masniah itu.
Adi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia sedih dan marah. Dia ingat saat Masniah menolak cintanya dengan kasar dan makian di tepi pantai waktu itu. Adi merasa sakit hati. Dia dan Salim membuat sebuah rencana balas dendam saat berangkat ke hutan untuk menjaga durian runtuh.
Sial bagi Masniah senja itu, dia ditinggal kawannya pulang duluan, sehingga harus pulang jalan kaki, dan kehujanan setelah jalan-jalan ke pantai. Takdir Allah tergariskan atas diri Masniah, Adi dan Salim menyergap Masniah dan menyeretnya ke dalam hutan lalu diperkosa bergantian.
Saat Masniah tidak sadarkan diri, Adi memeriksa kondisi Masniah yang masih hidup. Adi dan Salim meninggalkan gadis itu sendirian tergeletak di tanah. Adi tak tahu bagaimana Masniah bisa mati di tempat yang jaraknya satu bukit dari tempat mereka melakukan perbuatan bejat. Apakah Masniah bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya ke jurang? Entahlah. Adi tak melakukan pembunuhan.
"Adi ...."
Sebuah bisik halus terdengar di telinganya dari arah dinding kayu di belakangnya. Adi menoleh. Matanya terbelalak. Badannya gemetaran melihat sosok Masniah yang cantik menggunakan baju khas perempuan dayak terlihat berjalan menembus tembok. Gadis itu tersenyum, di tangannya membawa sebuah Mandau (Parang) yang terhunus. Masniah membelalakkan matanya lalu,
Craaak!
Mandau itu sudah berlumuran darah Adi. Sosok Masniah tersenyum lalu pergi menghilang ke arah tembok. Adi jatuh tergeletak di lantai kayu. Badannya tak berdarah, hanya segaris bilur biru panjang membekas di dadanya.
Di saat yang sama, di rumah Kepala Desa. Ayah Masniah sedang berada di kamar melakukan ritual Parang Maya. Sebuah sesajen lengkap dengan semangkok beras, sekapur sirih, dan yang lainnya terletak dalam sebuah nampan besar. Sebuah kepala anjing terletak di dekat nampan. Ayah Masniah membaca mantera dan memukulkan mayang kelapa ke atas kepala anjing. Satu nyawa berhasil di tuntaskan.
Sudah tiga hari Ayah Masniah menunggu sang pelaku datang minta maaf, tapi tak ada satupun yang datang. Dia mencoba bersabar dan melakukan ritual mencari pelaku secara gaib. Dia mendapatkan nama Adi dan Salim. Sudah menjadi prinsip ayah Masniah, jika tak mau diganggu, maka jangan mengganggu. Mata balas mata, nyawa balas nyawa.
Di saat ayah Masniah melakukan ritual selanjutnya untuk mengambil nyawa Salim, pintu kamar dicoba dibuka dengan paksa.
"Abah ... Abah hentikan semua ... hentikan, Bah," teriak suara laki-laki mencoba membuka paksa pintu. Lalu...
Braaaak!
Pintu berhasil di buka. Kakak laki-laki Masniah berjalan masuk ke dalam kamar, dan melempar sesaji di depan ayahnya. Ayahnya pun menghentikan membaca mantera dan mendelik marah.
"Apa yang kau lakukan Mashadi?" teriak ayah Masniah.
"Hentikan ... bertobatlah, Bah, kalau tidak semua akan berbalik ke Abah. Hasil otopsi menyatakan Masniah meninggal karena jatuh dari ketinggian, bukan karena di bunuh oleh Salim dan Adi seperti yang Abah katakan," terang Mashadi kakak Masniah.
Ayah Masniah terkejut wajahnya masih tak percaya dengan segala ucapan anak laki-lakinya.
"Tapi, tidakkah mereka berdua yang sudah melakukan tindakan tak bermoral terhadap adikmu?" tanya ayah Masniah beretorika, "Sekali Mandau keluar dari sarungnya, maka dia harus dimandikan dengan darah," lanjut ayah Masniah.
Mashadi menghela nafas.
"Oleh karena itu Bah, seharusnya Abah jangan gegabah. Apalagi sampai melakukan ritual semacam ini. Sudahlah, Bah. Kita akhiri semuanya. Kita serahkan semua pada yang berwajib. Mereka pasti akan menangkap Salim dan Adi," pinta Mashadi dengan nada sabar menasehati ayahnya.
Ayah Masniah menundukkan kepala. Hatinya masih belum terima, tapi dia juga gegabah dengan memperturutkan dendam dan amarahnya karena kematian anak gadisnya. Air matanya berlinang lalu ditutup kedua tangannya ke wajahnya. Mashadi memeluk ayahnya. Malam terang bulan purnama, semilir angin berdesir membawa semua kepekatan masa. Lesatan parang maya berakhir tanpa rasa kecewa. Dendam sirna. Duhai, andai terurai maaf yang tiada terkira. Takkan pergi nyawa sia-sia.