Mata Tiara membulat sempurna saat mendengar suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya, dengan cepat Tiara bangun dari posisinya.
"Ada apa ya, Kak?" tanya Tiara.
"Saya ganggu kamu kah?" tanya Zaidan memastikan.
"Ng-nggak kok, Kak. Kebetulan aku emang udah bangun," jawab Tiara beralasan.
"Saya hanya mengingatkan kalau hari ini acara maulid," terang Zaidan.
Tiara menepuk dahinya dan melupakan acara tersebut, dalam pikirannya merutuki tentang lupanya hal itu.
"Iya, Kak. Aku nggak lupa kok. Nanti jam sebelas kan?" tanya Taira memastikan.
"Kalau kamu datang jam segitu, bisa dipastikan sudah setengah acara," jelas Zaidan.
"Maksudnya?" tanya Tiara bingung.
"Jam sepuluh, Dek," jawab Zaidan.
Tiara merasa terkejut dengan panggilan yang diucapkan oleh Zaidan, dirinya memastikan kalau pendengarannya tidak salah mendengar.
"Halo, Tiara," panggil Zaidan karena tidak ada jawaban.
"Iya, Kak. Maaf tadi cuma bingung aja, telinga aku takut salah," balas Tiara terus terang.
"Salah kenapa?" tanya Zaidan bingung.
"Tadi Kak Zaidan manggil aku apa? Dek?" Tiara balik bertanya untuk memastikan.
Zaidan pun menjelaskan kalau pendengaran Tiara tidak salah, bahkan Zaidan menjelaskan panggilan barunya itu kepada Tiara. Zidan ingin mengenal lebih dekat Tiara dan dia meminta izin kedepannya untuk memanggil Tiara dengan sebutan itu. Bagaikan di tengah-tengah bunga nan indah, Tiara menyetujuinya tanpa penolakan.
"Terima kasih, kamu sudah mengizinkannya. Kalau begitu sudah dulu ya, saya mau siap-siap berangkat ke Majelis," ucap Zaidan, "Assalamualaikum."
"Iya, Kak. Waalaikumsalam."
"Apa benar dia suka sama gue?" tanya Tiara pada dirinya sendiri.
"Kalau itu semua benar, berarti perasaan gue terbalaskan dong!" ucapnya lagi penuh keyakinan.
"Terus kalau dia tiba-tiba menyatakan perasaannya apa gue harus langsung terima?" tanyanya penuh keyakinan.
Tiara berperang dengan kata-katanya sendiri, dia bertanya dia juga yang menjawab pertanyaan itu sendiri.
Tok…
Tok…
Tok…
"Iya, MA," saut Tiara.
"Ya ampun ini Anak, belum siap-siap," ucap Sartika membuka pintu kamar Tiara.
Tiara hanya terkekeh dan menjawab, "Iya, Ma. Ini aku mau mandi kok."
Setelah selesai mandi, Tiara sibuk memperhatikan pakaian yang ada di dalam lemarinya. Dia memegang satu per satu pakaian dan mengeluarkan juga mencobanya di depan cermin, berpose bak model profesional.
"Kenapa gue bingung pake baju ya," gumam Tiara yang melihat gamis berjejer diatas ranjangnya.
Ceklek…
"Ya Tuhan, kamu belum rapi juga?" serang Sartika saat membuka pintu kamar Tiara.
"Nah kebetulan, Mama sini deh. Bantuin milih aku gamis yang bagus dan cantik, kira-kira mana yang bagus aku pakai hari ini," jawab Tiara sambil menggandeng tangan Sartika memperlihatkan gamis-gamisnya.
"Kamu mau tampil cantik didepan Zaidan?" selidik Sartika.
"Ng-nggak kok, Ma. Lagian memang nggak boleh aku tanya beginian," jawab Tiara mengelak.
"Bukannya nggak boleh, tapi tumben. Ok deh, karena anak Mama mau tampil cantik, lebih baik pakai gamis warna kalem tapi elegan," jelas Sartika sambil menunjuk gamis berwarna dusty pink dengan mute di bagian pinggang juga pergelangan tangan lengkap dengan jilbabnya.
Tiara langsung memeluk sang mama karena mendapatkan jawaban dari rasa bingungnya sendiri.
"Mama sudah menunggu dari tadi, mau Papa antar?" tawar Hermawan melihat Tiara keluar dari kamarnya.
"Nggak usah, Pa. Kita naik motor kan, Ma?"
"Iya, Pa. Kita naik motor aja, Papa lanjutin kerjaan aja," jawab Sartika.
"Ya sudah, kalau begitu hati-hati. Ingat Tiara, jangan nyalip-nyalip, santai aja bawa motornya," pesan Hermawan.
"Siap Bos," jawab Tiara sambil membungkukan badannya seperti mendapat perintah dari atasan.
"Tuh kan, sudah ramai. Kamu sih dandannya kelamaan," ucap Sartika turun dari motor dan melihat majelis yang sudah ramai orang.
"Tadi kan kata Papa kita nggak boleh ngebut, Ma. Lagian acaranya belum dimulai kok," jawab Tiara.
Tiara dan Sartika pun masuk ke dalam Majelis, mereka duduk di belakang karena datang belakangan. Acara demi acara berjalan dengan lancar.
"Baik, kita lanjut ke acara selanjutnya yaitu pembacaan ayat suci Al-Quran yang akan dibacakan oleh Zaidan Fadilah," ucap sang pembawa acara.
Lantunan ayat suci yang dibacakan oleh Zaidan membuat semua orang yang hadir mendengarkan dengan kagum.
"Bagus banget suaranya ya, kira-kira siapa ya yang jadi istrinya nanti," bisik seorang gadis pada teman disampingnya.
"Iya ya, penasaran deh, tipe cewek idamannya seperti apa?" timpal gadis lainnya.
Tiara yang mendengar bisikan dua gadis di depannya menjadi senyum-senyum sendiri, mungkin ada rasa percaya diri dalam dirinya. Tiba saatnya di akhir acara, semua orang yang hadir membaca doa yang dipimpin oleh salah satu ustadz di pesantren tersebut.
"Assalamualaikum," salam Ratih menghampiri Sartika yang masih duduk, "saya kira kalian tidak datang."
"Mana mungkin kami tidak datang, kami datang belakangan karena anak saya bingung memilih pakaiannya," jawab Sartika terus terang.
"Mama apaan sih," balas Tiara merasa malu.
"Memangnya kenapa bingung?" tanya Ratih penasaran.
"Biasa lah, Bu. Namanya anak muda ingin tampil cantik," jawab Sartika.
"Memang seperti itu lah anak muda, terlebih ada sosok yang ingin dilihat."
'Heran deh, nih ibu-ibu senang banget bikin gue malu,' batin Tiara memperhatikan dua wanita yang sedang bertukar cerita sambil tertawa.
"Assalamualaikum," salam Zaidan.
"Waalaikumsalam."
"Putra Ibu juga nggak kalah tampan loh," puji Sartika melihat Zaidan datang, "tadi saya lihat Tiara juga tertegun saat Zaidan membaca ayat suci tadi."
"Terima kasih atas pujiannya, Bu," jawab Zaidan.
Tiara hanya bisa diam tanpa menjawab satu kata pun, matanya sibuk memperhatikan penampilan Zaidan memakai kaos dengan dipadu dengan setelan jas berwarna hitam, tidak lupa peci bertengger indah diatas kepalanya menambah ketampanan seorang Zaidan.
"Masya Allah, begitu indah ciptaan-Mu," kata Tiara dalam hati.
"Bagaimana kalau kita berbesan, Bu?" tanya Ratih.
Uhuk… Uhuk..
Tiara tersedak, tiba-tiba mendengar pertanyaan dari Ratih.
"Ibu bikin kaget aja deh, lagian kan Tiara masih sekolah. Masa berbicara seperti itu," balas Zaidan.
Sebenarnya Zaidan merasa senang dengan pertanyaan sang ibu, tapi dia juga malu karena ibunya berbicara lebih dulu.
"Iya benar kata Zaidan, anak saya masih sekolah. Kami belum ada pikiran seperti itu," jawab Sartika sopan.
"Saya hanya berbicara, sepertinya mereka saling menyukai. Saya hanya mencegah hal-hal yang dikhawatirkan saja," jelas Ratih.
"Apa yang harus dikhawatirkan, Bu. Kami tidak mempunyai hubungan khusus seperti itu, jadi Ibu tidak perlu khawatir," balas Zaidan meluruskan pikiran sang ibu.
"Jadi kamu belum menyatakan perasaan pada Tiara? Bukannya tadi malam kamu bertanya pendapat Ibu tentang Tiara?"
Rona merah muncul di wajah Tiara mendengar penuturan dari Ratih. Bagaimana bisa mereka mengatakan hal seperti itu dengan mudahnya. Sartika pun merasa bingung sendiri, ibu dan anak di depannya kini membicarakan tentang perasaan terhadap putrinya.