Download App
57.14% My Journey In This Universe Of Magic / Chapter 4: Understand The Unreasonable Things

Chapter 4: Understand The Unreasonable Things

"Anna ... Anna." Mengalihkan pandangan ke segala arah, mencoba mencari sosok gadis itu. Setelah berlari dan menerima tatapan tidak menyenangkan dari semua mata yang melihatku di kantin, serta menerima sedikit nasihat karena tidak sengaja menabrak pria, aku akan memanggilnya begitu karena dia sama sekali tidak terlihat seumuran denganku, menabraknya dan membuat gelas kopinya terjatuh. Hal baiknya adalah aku dan rotinya tidak mengalami hal buruk, masih tetap seperti sedia kala, dan hal buruknya adalah kopi pria itu tumpah, sebagian mengenai kemeja putih yang ia kenakan, membuat noda yang terlihat seperti kubangan di bagian dada bajunya, dan noda yang terlihat seperti sebuah aliran sungai pada celananya. Dan aku hanya mampu diam saat dinasihati, mungkin sebenarnya aku dimarahi, Cuma aku akan menganggap itu sebagai nasihat karena itu memang salahku. Setelahnya, dengan sedikit uang aku punya, dengan inisiatif tinggi aku mencoba untuk mengganti kopi yang baru saja aku tumpahkan secara tidak sengaja namun uang tersebut ditolak olehnya. Walaupun aku tahu ini tidaklah baik, tetapi aku cukup senang dan sedari awal memang berharap agar pria itu tidak menerima inisiatif yang bahkan aku sendiri terpaksa melakukannya sebagai bentuk permintaan maaf, karena jika ia ambil, maka aku tidak lagi memiliki uang untuk hari ini. Dengan sedikit membungkuk dan mengucap maaf, yang dibalas dengan hal serupa oleh pria itu, aku pun melanjutkan kegiatan lariku untuk segera bertemu dengan Anna.

Jangan tinggalkan aku, Anna. Aku akan segera sampai.

Dengan sedikit tenaga yang tersisa, aku kembali mencari, kali ini hanya berjalan tanpa berlari karena tenagaku benar-benar sudah habis. "Anna ... Anna." Tetap saja, tidak ada tanda dia akan muncul, atau mungkin dia sedang melakukan semacam lelucon? Tidak, walaupun dia memang menjengkelkan, tetapi aku tidak yakin dia akan membuat lelucon kali ini. Hal yang paling mungkin adalah dia mencoba untuk menjauh karena kesal dengan apa yang terjadi, tetapi kalau benar begitu, apa artinya aku akan kehilangan dia, dalma arti yang sebenarnya? Tidak, aku tidak ingin hal itu terjadi.

"Anna ... Anna." Tidak. Aku tidak kuat kalau terus mencarinya seperti ini. Tak jauh di hadapanku, sebuah bangku hitam terlihat mengundangku untuk duduk di atasnya yang sedang kosong. Seolah mengucap datanglah berulang kali, aku pun tertarik dengan undangannya, mendekat dan dengan segera mendudukkan tubuhku di atasnya. Aku letakkan roti yang kubeli di tepi bangku. Sangat nyaman, seandainya Anna ada di sini. Mungkin, jika itu tidak terjadi, kami bisa memakan roti yang kami beli dan mengobrol tentang hal lain yang membuat kami semakin dekat. Pikiran tentang seandainya, atau jika Anna merasuk ke dalam pikiranku layaknya virus yang ingin merusak setiap sel di otakku. Semakin aku mencoba untuk tidak memikirkannya, pikiran seperti itu semakin sering muncul.

Anna. Maafkan aku.

Tanpa kusadari, mataku terpejam menikmati kenyamanan yang diberikan bangku hitam ini. Sepoi angin yang melewati tubuhku berulang kali semakin memberatkan mataku untuk terbuka. Aku rasakan rambutku yang terombang-ambing mengikuti gerak angin, terasa sanat menyegarkan ketika setiap ruas rambutku seperti dibelai olehnya. Sebuah perasaan yang sangat cocok untuk sedikit menenangkan tubuh dan juga pikiran yang sedang berkecamuk tiada henti. "Rasanya, aku ingin tidur. Tetapi Anna belum kutemukan. Dia dimana? Bukankah dia seharusnya menungguku di depan kantin seperti apa yang dia katakan?"

Aku sangat mengantuk.

Anna.

Apa kau memang semarah itu denganku?

Aku hanya bisa merenung dengan mata terpejam. Sangat berlainan dengan apa yang seharusnya terjadi, sebelumnya aku merasa seperti dapat tertidur ketika suasana sangat memadai untuk sedikit mengambil isirahat dengan menutup mata, menikmati relaksasi yang diberikan oleh alam, namun yang ku dapat dalam memejamkan mata adalah pikiran yang tidak menyenangkan. Berharap menemukan sedikit rasa penyesalan agar bisa meminta maaf kepada Anna, namun yang datang hanyalah perasaan bingung dengan apa yang terjadi. Sepertinya aku akan menarik kembali pikiranku yang mengatakan kalau saat ini aku sedang dilanda perasaan yang sangat cocok untuk menenagkan tubuh dan pikiran yang berkecamuk. Tidak, hal sebenarnya adalah aku yang semakin dijerat tali rasa bersalah kepada Anna. Apakah aku masih harus meminta maaf? Tentu saja, aku harus melakukannya. Tetapi mengapa aku harus? Karena paman roti yang menyuruhku? Aku rasa tidak. Lantas apa, yang membuatku sampai berlarian seperti orang bodoh, bahkan menabrak seorang pria dengan segelas kopi miliknya? Aku ... masih harus membuat pikiranku menerima bahwa aku haruslah meminta maaf walaupun aku tidak yakin apakah aku memang yang bersalah di sini.

Jangan menolak dirimu yang ingin meminta maaf.

Seolah datang untuk memberikan jawaban atas kegundahan yang sedang kurasakan, kata-kata paman roti tersebut bernaung di kepalaku seperti saat pertama aku melihat roti keju meleleh miliknya. Mungkin paman itu benar, aku akan meminta maaf. Kali ini,tidak ada lagi keraguan yang kurasakan. Semua sudah jelas sekarang, bukti bahwa perasaanku sangat berantakan saat Anna meninggalkanku adalah fakta bahwa Anna menjadi seseorang yang penting, bahkan jika dia tidak ingin berbicara padaku, setidaknya biarkan aku melihat wajahnya. Kehadirannya adalah yang kuperlukan, dan interaksi adalah pelengkap dari kehadirannya.

"Ternyata begitu ... pantas saja." Aku mengepalkan tangan, menutup mataku dan membawanya ke dalam rengkuhan dada. Hangat menyelimuti kedua tanganku, yang entah bagaimana membuatku semakin larut dalam gundahnya hati.

"Ini?" Beberapa tetes air terlihat mencipta menjadi sebuah bulir air pada kepalan tanganku. Semakin lama semakin banyak yang terlihat, terisak adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisiku saat ini. Seperti itukah besarnya dampak dari kehadiran Anna yang baru saja aku kenal kurang dari sehari? Aku tidak bisa menjelaskannya, ini sangat tidak masuk ke dalam logika perasaan manapun.

"Aku ... aku tidak mengerti. Mengapa hanya karenanya aku sampai seperti ini? Mengapa ... mengapa?" Aku menangis. Di siang hari yang terik, dengan suasana yang sangat cocok untuk bercanda dan mengobrol untuk mengakrabkan diri, aku hanya terduduk di bangku hitam ini, melampiaskan semua emosi yang kurasakan tentang apa yang terjadi. "Anna ... maafkan aku." Aku usap sedikit, tidak, banyak sekali tangis yang keluar dari mataku. Apaakah pakaianku kotor? Aku tidak tahu. Apakah aku malu ketika menyadari beberapa orang melihatku menangis pada siang hari yang sangat cantik ini? Tidak. Aku tidak akan menggunakan egoku kali ini. Aku, Kina Harasawa, menangisi kepergian seseorang yang baru saja aku temui. Mungkin bagi yang melihat, atau mendengar ceritaku akan tertawa, siapa orang bodoh yang menangisi seseorang, yang bahkan baru saja ditemuinya belum lama ini, dalam arti yang sebenarnya adalah kurang dari sehari. Tetapi, entah bagaimana atau apa yang ia lakukan padaku, gadis itu, Anna Hashimata, membuatku merasa kehilangan yang begitu dalam. Rasanya seperti saat itu, saat di mana aku dipaksa meninggalkan nenek yang sudah merawatku sejak lama, atau bahkan ... ibuku.

Bodohnya aku.

Sampai menangis seperti ini dan bisa-bisanya aku berpikir kalau tidak perlu meminta maaf kepada Anna.

Munafik.

Aku benci diriku.

Langit berwarna biru, udara sejuk seakan mengajak aku untuk berdiri, dan bermain bersama mereka, namun yang kurasakan adalah pedih dan kecewa. Langit menjadi gelap dari mataku, udara seakan menjadi berat, sangat mencekat dan tebal membuat bernapas menjadi sangat sulit untuk dilakukan. Aku menatap langit dengan tatapan kosong, berbalut air mata yang masih saja mengalir membasahi pipiku. Bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mengetahui apapun tentang asrama ini, kecuali kantin yang itupun diberitahu oleh Anna. Kemana aku harus mencarinya? Aku yakin dia baik-baik saja tanpaku, tetapi aku yang tidak baik-baik saja tanpanya. "Anna ...."

"Ya?" Siapa? Aku tidak ingin membuka mataku. Tetapi mengapa dia menyahut ketika aku mennyebut Anna? Apakah dia Anna? Atau bukan? Yang jelas, dari suaranya aku bisa menebak bahwa dia adalah seorang gadis, mungkin salah satu peserta ujian sepertiku. Namun, siapapun dia, aku tidak siap kalau harus menatap mata orang lain disaat pikiranku sedang kacau seperti ini, mungkin kalau sekadar mengobrol tidak masalah.

Tetapi mengapa dia menyahut saat aku menyebut nama Anna?

"Kenapa kamu terlihat seperti orang yang menangis seperti itu, Kina?"

Dia Anna. Tetapi, apakah benar dia Anna? Di dunia ini, kita memiliki banyak sekali kembar diri kita, jadi aku tidak bisa menyimpulkan bahwa orang ini adalah Anna. Bisa saja nama depannnya adalah Anna, namun nama belakangnya berlainan. Tidak ada yang tahu, begitupun denganku.

Bagaimana orang ini tahu namaku? Seingatku, selain Anna, aku belum berkenalan dengan siapapun. Ingin sekali aku menebak dan berharap bahwa dia adalah Anna, namun sepertinya bukan karena sedari tadi aku mencarinya dan tidak terlihat di mana-mana. Atau mungkin, dia mengenalku karena apa yang terjadi di ruang ujian sebelumnya? Sepertinya menjadi anak yang sedikit bermasalah tidak terlalu buruk. Setidaknya aku tidak harus mengenalkan diri kepada setiap orang yang akan aku temui dan aku jadikan teman kalau mereka yang menghampiriku terlebih dahulu seperti ini. Walaupun begitu, aku tetap memejamkan mata, menutup kedua mataku yang tertutup dengan lengan kananku, tentu saja untuk menutupi fakta bahwa aku menangis dan orang ini melihatku menangis. Walaupun aku tahu, orang tidak mungkin melupakannya.

"Aku melakukan kesalahan, dan sepertinya ada gadis yang tersakiti karena kesalahanku itu." Aku rasakan bangku yang kududuki sedikit bergetar, mengeluarkan bunyi mengeryit yang cukup menyakiti telinga. Akan aku anggap orang ini akhirnya duduk di sampingku, tetapi aku tetap tidak ingin membuka mataku untuk melihat siapa orang itu. Helaan napas terdengar, sepertinya wanita

"Jadi, apa gadis itu marah kepadamu?" Suaranya semakin jelas, seperti Anna. Atau ini hanya halusinasiku saja? Tidak, bahkan kalaupun yang sekarang berbicara denganku adalah Anna dengan segala tingkahnya yang suka sekali menjahili orang lain, beberapa kali dia melakukannya padaku dan mungkin dia tidak sejahil itu sebenarnya, apabila orang ini adalah Anna maka aku semakin tidak ingin membuka maata untuk melihatnya.

"Aku tidak terlalu yakin, tetapi dia meninggalkanku begitu saja tanpa alasan yang jelas."

"Tanpa alasan yang jelas?"

"Jujur saja aku tidak tahu alasannya, tetapi dia benar-benar pergi. Mungkin saja aku yang salah, tetapi aku juga tidak terlalu mengerti apakah sesuatu yang aku lakukan padanya itu harus ia tanggapi dengan serius sehingga dia marah seperti itu." Helaan napas ringan keluar dari mulutku, membuat bangku mengeluarkan derit kembali. Entah apa yang dilakukan orang ini, tetapi sepertinya dia sedikit mendekat ke arahku.

"Apa kamu merasa bersalah tentang itu?"

"Antara iya dan tidak. Aku tidak bisa memantapkan apa yang ingin aku utarakan padanya jika kami bertemu kembali."

"Kalian pasti bertemu. Tidak akan ada perpisahan tanpa adanya pertemuan, dan perpisahan adalah melihat satu sama lain dan mengucapkan selamat tinggal, bukan meninggalkan tanpa memberikan sebuah kejelasan."

Dia ini ... bijak sekali. Sepertinya tidak mungkin dia adalah salah satu dari peserta sepertiku.

"Apa aku bisa melihat wajahmu, rasanya aku sangat tidak sopan untuk berbicara dengan mata tertutup seperti ini."

"Bukannya kamu sedang menangis?"

"Aku ... aku akan membersihkan diriku terlebih dahulu." Dan dengan begitu, perlahan aku menarik lengan yang menutup kedua mataku, mengusap sisa air mata dan jejak yang dibuatnya pada wajah serta merapikan pakaian yang aku kenakan, lalu duduk dengan posisi yang semestinya ketika sedang diajak berbicara oleh orang lain, tegak dan menatap wajahnya.

Tunggu ... bukan Anna? Jadi dugaanku tentang dia yang mengetahui namaku dari insiden di dalam ruang ujian itu benar?

"Halo, namaku Anna Arina. Salam kenal." Dia mengulurkan tangannya, tentu saja aku mengerti tentang ini, dan mengulurkan tanganku untuk menjabat uluran tangannya. Wajahnya terlihat sangat polos, postur tubuh yang tidak lebih tinggi dariku, rambut pendek berwarna cokelat dengan iris mata kekuningan. Sekilas dia mirip sekali dengan Anna, namun gadis di hadapanku ini tidak memakai kacamata, satu hal penting yang membedakannya dengan Anna Hashimata. Sepertinya akan sangat sulit untuk memanggil mereka apabila sedang bersama, kemungkinan ketika aku memanggil hanya dengan nama depan mereka saja, keduanya akan menoleh dan bisa kubayangkan itu cukup merepotkan.

"Aku, Kina. Kina Harasawa. Kau bisa memanggilku Kina." Senyumnya sangat manis, bibirnya terlihat merah seperti tomat segar, bagus sekali dia merawat tubuhnya pikirku.

"Jadi, Kina, apa kamu sudah selesai menangisnya?" Seharusnya aku yang bertanya lebih dahulu darimana dia bisa mengetahui namaku, dan tentu saja aku ingin membuktikan bahwa dugaanku itu benar.

"Sebelum itu, apa aku boleh bertanya?" Anna hanya mengangguk.

"Bagaimana kau bisa tahu namaku?" Anna hanya bingung sebelum akhirnya tertawa lepas, sangat lepas dan terlihat sangat puas sampai memegangi perutnya seperti apa yang berada di dalamnya ikut menari mendengar pertanyaanku.

"Bagaimana? Kamu lucu sekali, Kina. Tentu saja aku mengetahuimu, sebagai salah satu peserta yang tidak terlihat kebingungan saat mengerjakan ujian, sebagai salah satu peserta yang berani untuk beradu mulut seperti itu dengan Mrs. Amber, kamu cukup terkenal loh, Kina." HAH? AKU SETERKENAL IITU TETAPI TIDAK ADA YANG MAU MENYAPAKU TERLEBIH DAHULU? Orang-orang ini sepertinya memiliki ego yang sangat tinggi untuk menyapa lebih dahulu.

"Aku tidak tahu kalau aku dikenal seperti itu." Gadis itu sedikit bergeser, semakin mendekat ke arahku. Jujur saja kali ini aku tidak terlalu kaget, karena Anna satunya sempat memberikan perlakuan yang sama padaku, jadi aku tidak terlalu terkejut dengan ini. Tetapi, hal yang aku takutkan adalah aku yang disangka sebagai penjahat anak atau semacamnya, maksudku dia terlalu pendek, terlalu kecil untuk masuk ke asrama ini. Aku hanya takut akan muncul pemikiran negatif dari orang yang melihat ini.

"Aku tidak tahu apakah orang lain berpikiran yang sama tentang hal itu, cuma buatku, kamu cukup terkenal." Tunggu, jadi istilah terkenal versinya itu adalah dikenal sekitar setidaknya satu orang? Sepertinya dia mirip dengan Anna yang suka memberikan ucapan ambigu dan tidak tuntas seperti ini.

"Bisa kau jelaskan tentang terkenal itu seperti apa." Aku akan memastikan apakah aku memang terkenal, atau hanya terkenal dalam versi pengertian miliknya.

"Maksudmu tentang arti dari kata terkenal versiku?" Aku mengangguk memberikan respon.

"Bukankah dikennal oleh seseorang itu sudah terkenal?" Dia memiringkan kepala sembari mengatakan itu tanpa nada bersalah, alisnya terangkat sebelah seperti memandang rendah pertanyaan bodohku tentang arti dari katta terkenal yang semua orang pasti mengetahui artinya.

Sudah kuduga, dia ini memang sesuai namanya, dan sifatnya. Apakah semua orang dengan nama Anna selalu sedikit menjengkelkan seperti ini?

"Kalau begitu, sepertinya aku tidak terlalu terkenal di mata siapapun."

"Aku tidak mengerti, namun kita akan segera bertemu kembali." Dia berdiri, merapikan dress terusan berwarna putih yang ia kenakan, lalu berbalik menatapku. Mata kuning itu seperti bersinar lebih terang dibandingkan sebelumnya, membuatku cukup terkana karenanya. "Aku harus pergi, waktuku sudah habis."

"Kalau begitu, aku ucapkan selamat tinggal untukmu, Kina." Dia pun membungkuk, lalu membalik badan menjadi membelakangiku dan berjalan menjauh. Dengan senandung yang dapat kudengar semakin lama semakin samar, kakinya yang terkadang melompat mengikuti senandung irama yang muncul dari mulutnya, membuatnya terlihat seperti anak kecil yang baru saja menerima permen manis. Aku amati dia berjalan menjauh sampai pandangku tidak lagi bisa menangkap keberadaannya.

Jadi sekarang, hanya ada aku, dan bangku ini. Kembali seperti semula, ya.

"KINA." Teriakan itu, kali ini aku yakin sekali.

"KINA." Tidak salah lagi, hanya dia yang akan memanggilku begitu karena menganggapku sedang berhalusinasi atau melamun, seperti apa yang terjadi saat aku mendengar suara organ dimainkan di dalam gedung.

"KINA ... KAMU TIDAK APA-APA KAN KINA." Dia menepuk pundakku, tanpa rasa malu atau sedikit berpikir sebelum bertindak, dia menggoyangkan tubuhku, ke depan dan belakang, ke kanan dan juga kiri seolah aku sedang terkena halusinasi parah atau terkena mantra yang membuatku tidak bisa bergerak. Sepertinya gadis ini benar-benar mengira aku berhalusinasi atau mungkin sudah tidak sadarkan diri di matanya. Padahal aku sedang membuka mata, melihat dirinya di hadapanku saat ini sedang bertingkah konyol dan juga sedikit menganggu. Terlebih lagi kalau dia tahu bahwa semua ini terjadi karena dia yang tiba-tiba saja meninggalkanku di kantin dengan apa yang aku tangkap sebagai amarah atau rasa kecewa, mengatakan akan menungguku di depan kantin namun ternyata dia tidak ada di sana. Tetapi, aku senang. Dia datang, dengan segala kekhawatiran yang dia perlihatkan padaku. Dia ... datang.

"Aku ... tidak ... apa." Dia mencekik leherku, aku tidak bisa bernapas. BODOH, APA KAU INGIN AKU MATI.

"KINA, JAWAB AKU KINA. KENAPA KAMU SEPERTI ORANG KEHILANGAN NYAWA DI SIANG YANG CERAH INI."

"Lepaskan ... lep—."Aku berhasil meraih kedua tangannya dengan tanganku. Anna pun terhenti, begitupun denganku yang akhirnya bisa mengambil napas setelah hampir melihat dunia menjadi sepenuhnya putih. Anna melepas kacamatanya, pertama kali aku melihatnya seharusnya membuatku kagum dan terkesima, namun perasaan yang aku dapatkan adalah perasaan sedih melihat matanya yang terhiasi air mata.

"Anna ... aku ... aku tidak apa. Duduklah, aku ingin berbicara denganmu." Anna hanya berdiri dengan tatapan yang sulit untuk kumengerti. Ada sedikit perasaan lega dan haru dari caranya menatap, namun air matanya menyiratkan kesedihan yang sangat merusak dua hal yang sebelumnya aku sebutkan.

Apa aku berbuat salah, lagi?

"Anna, duduk di sini." Aku menggapai tangannya, menariknya perlahan dan dia pun terduduk di sampingku dengan tatapan mata yang tidak ingin melihatku.

"Pakai kacamatamu, kamu terlihat lebih cantik saat menggunakannya." Anna memalingkan muka, menggunakan kacamatanya kembali, lalu menatapku dengan sedikit dapat kurasakan amarah dan juga kecewa.

Apa ini? Mengapa perasaannya berubah-ubah seperti ini? Sebenarnya apa yang terjadi dengannya?

"Anna? Sebenarnya apa yang ter—." Sangat cepat namun mampu membuatku merasakan nirwana. Tidak kusangka hal seperti ini akan dilakukannya, tidak, bahkan aku tidak menyangka akan merasakan hal seperti ini. Anna, memelukku. Melingkarkan kedua lengannya padaku seperti seekor panda. Dia sangat lucu, aku tidak tahu apakah aku pantas mengatakan ini atau tidak, namun jika apapun itu yang membuatnya mampu untuk melakukan hal ini lagi padaku di masa depan, aku harap apapun itu bisa melakukannya lagi.

"Kina ... maafkan aku."

"Untuk apa, Anna?"

"Aku tidak mengerti. Aku tidak memahami apa yang kamu inginkan sewaktu kita berada di kantin." Jadi begitu, sepertinya kami berdua memang merasa bersalah dalam hal ini. Aku harus, meminta maaf padanya, seperti apa yang disarankan oleh paman roti.

"Tidak apa Anna, seharusnya aku yan—." Dia menggerakkan kepalanya, seolah melakukan penolakan atas kalimat yang baru saja aku katakan.

"Kamu tidak boleh begitu, Kina. Aku yang salah, aku yang tidak memahaminya."Dan inilah yang sulit jika harus meminta maaf kepada perempuan. Mereka tidak ingin kalah, bahkan dalam hal yang salah pun mereka tidak ingin kalah dan lebih memilih untuk membantah, walaupun orang lain melakukan demi kebaikannya. Aku harus apa sekarang? Maksudku, aku juga seorang perempuan, seorang gadis, tetapi aku tidak merepotkan seperti itu. Sepertinya sih ... tidak, aku yakin sekali aku tidak begitu.

"Kalau begitu, kamu memang salah Anna."

"Eh?" Dia mendongak, menatapku dengan tatapan tidak percaya.

Hah? Kenapa dia malah berkata eh? Apa sebenarnya dia mau aku mengatakan kalau dia tidak bersalah, seperti itu? Benar-benar menyulitkan.

"Begini Anna. Aku tidak ingin menyalahkanmu, tetapi karena kamu yang memaksa, maka aku akan menyalahkanmu." Anna hanya terdiam, menatapku dengan tatapan bingung.

"Tetapi, aku juga salah di sini. Anna, aku menyukai hal yang manis. Roti cokelat, roti keju meleleh, bahkan dirimu, aku tidak akan menyangkalnya. Aku menyukainya, aku menyukai hal yang manis. Tetapi, aku cukup kesal karena kamu memberikan rekomendasi yang sudah jelas akan aku pesan, aku menjadi marah padamu."

"K-Kina ... apa yang kamu katakan?" Dia menegakkan tubuhnya, menatapku dengan kedua mati kami saling bertatapan dalam garis lurus.

"Seperti yang aku katakan, Anna. Kamu tidak sepenuhnya salah, dan aku juga tidak sepenuhnya salah. Atau jika kamu mau menyalahkanku sepenuhnya, aku akan terima hal itu."

"BUKAN ITU KINA." Hah? Apalagi sekarang?

"Anna, tunggulah sebentar. Biarkan aku menyelesaikan milikku." Anna tampak sangat merah, wajahnya maksudku. Mungkin karena panas? Wajar saja, sekarang kan siang hari.

"Jadi, aku ingin kamu tahu bahwa—." Anna membungkam mulutku dengan kedua tangannya, dia menundukkan wajahnya seperti menahan malu yang hendak membunuhnya dari dalam.

"Kina ... bodoh. Kamu bodoh sekali, Kina." Anggap saja aku ingin mengatakan, apa yang kamu maksud Anna, tetapi karena mulutku dibungkam oleh tangannya jadi aku tidak bisa mengatakannya. Untung saja ini tidak berlangsung lama, dia langsung melepaskan tangannya yang membungkam mulutku, dan menutup wajahnya dengan kedua tangan itu.

"Anna ... APA YANG KAMU LAKUKAN?"

"Kamu seharusnya menanyakan hal itu kepada dirimu sendiri, Kina." Aku tidak mengerti. Dalam diam, aku mengamati wajahnya yang memerah tertutupi tangan miliknya, dan wajahku yang menunjukkan ekspresi sedang berpikir apa yang menyebabkan Anna seperti ini.

Kalau tidak salah, dia sempat mengatakan aku tidak sadar dengan yang kuucapkan sebelumnya. Memangnya aku mengucapkan apa sampai dia seperti itu?

Aku menyukai hal manis, bahkan dirimu.

"A-Anna ... apa kamu ...?"

"Aku tidak dengar apapun." Aku gugup. SANGAT GUGUP. Bagaimana aku melewati situasi seperti ini? Wajahku sangat panas, memerah seperti tomat adalah hal pertama yang aku pikirkan setelah meraskaan panas pada wajahku seperti ini.

"Aku menyukai hal manis, bahkan dirimu." Aku mengulang kalimat yang sempat kuucapkan, dan lagi, mulutku langsung dibungkam dengan tangan miliknya.

"K-Kina ... jangan melakukan kebodohan yang sama." Dia pun melepaskan tangannya dari membungkam mulutku. Anna hanya berdiri, dengan wajah tertunduk malu. Sementara aku, terduduk menatap tanah dengan wajah yang sama merahnya dengan Anna, atau mungkin lebih merah darinya.

Aku mengambil bungkusan berisi roti yang aku beli, dan mengarahkannya pada Anna walaupun dia tidak melihatnya. "Aku membeli roti, apa kamu mau memakannya denganku, Anna?" Dia tidak memberikan respon jawaban apapun, sampai aku terkejut ketika tangannya menyentuh bungkusan roti itu. "Aku ... aku mau."

Kami tidak menatap satu sama lain, hanya dengan bermodalkan arahan yang aku berikan melalui tanganku, Anna mengikutinya dan berhasil duduk di sampingku. Sekali lagi, kami tidak saling melihat, dan Anna sangat diam karena ini. "Anna ... kamu mau roti rasa apa?"

"Aku ... terserah Kina saja." Aku pun mengambil roti di dalam bungkusan itu tanpa melihatnya, memberikannya pada Anna tanpa aku sadari bahwa—

"Kina, ini roti keju meleleh milikmu." Wajah kami saling menatap, dia yang mencoba untuk memberikan roti itu padaku, dan aku yang menyadari kalau roti itu adalah milikku dan mencoba untuk menukarnya dengan rasa lain yang aku beli dari toko roti paman.

"I-ini rotimu, Kina." Setelahnya, dia kembali memalingkan wajahnya, namun aku mengetahui satu hal. INI TIDAK BAIK UNTUK KESEHATAN MENTALKU. Kami menikmati roti itu, tanpa kami sadari kecanggungan yang sempat terjadi di antara kami mulai memudar seiring roti yang berangsur-angsur kehilangan bentuknya karena kenikmatannya yang mengundang kami untuk memakannya.

"Anna ... maaf. Aku tidak menyadarinya."

"Ti-tidak apa-apa, Kina. Jangan kamu bahas soal itu lagi, ya?" Tentu saja, bahkan ketika dia mengatakan itu, wajahnya menjadi merah kembali. Jika aku terus membicarakannya, kemungkinan dia akan benar-benar berubah menjadi tomat dan aku tidak ingin hal itu terjadi.

"Jadi ... apa ujian yang selanjutnya, Anna?" ucapku seraya memberikan tisu yang ternyata sudah disediakan oleh toko roti milik paman.

"Terimakasih tisunya."

"Kalau aku tidak salah ingat, setelah ini kita ada uji kekuatan untuk melihat seberapa tinggi kelas kita nantinya."

"Uji kekuatan?" Aku tidak siap. Aku benar-benar tidak siap dengan pandangan semua orang yang akan melihatku dengan tatapan aneh karena tidak memiliki kekuatan seperti orang pada umumnya.

"Hausmangarten Monohexia." Aku tidak mengerti apa yang baru dikatakan oleh Anna.

"Hausmangarten Monohexia?"

"Atau dalam kata lain, Pilar Kekuatan Enam Sisi." Dan tetap saja, aku masih tidak mengerti tentang itu, bahkan setelah Anna menggunakan bahasa yang lebih mudah dan seharusnya bisa aku mengerti.

Sepertinya aku dalam bahaya besar.


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C4
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login