Download App
86.11% MENGEJAR CINTA MAS-MAS / Chapter 93: MCMM 92

Chapter 93: MCMM 92

Jangan menjanjikan apa yang tak mungkin diwujudkan....

⭐⭐⭐⭐

Happy Reading ❤

"Dys, makasih banget ya elo mau direpotin," ucap Intan sambil memeluk bahu Gladys. "Sorry soal Salma. Tadi mas Haidar sudah cerita ke gue."

"Iya nggak papa, Ntan. Gue cuma nggak mau Salma mengharapkan sesuatu yang nggak mungkin terjadi. Elo tau kan gimana dia kalau kita nggak bisa menepati janji."

"Iya, gue masih ingat gimana kecewanya Salma waktu mas Haidar mendadak membatalkan rencana berkunjung ke kebun binatang spring kemarin," sahut Intan sambil mempersiapkan bahan-bahan membuat sambal. "Tapi Dys, kenapa nggak mungkin?"

"Ya jelas nggak mungkinlah. Banyu kan sudah punya istri. Catat Ntan, ISTRI," balas Gladys seraya mengangkat ayam yang sudah selesai diungkep. "Gue nggak mau menjadi orang ketiga. Gue tahu bagaimana sakitnya ditinggalkan. Gue nggak mau wanita lain mengalami hal itu karena gue."

"Memangnya dia beneran sudah menikah?" tanya Intan penasaran. "Elo sudah tanya? Elo lihat ada cincin di jarinya?"

"Ya gue belum nanyalah. Ngapain juga gue kepo. Kalau urusan cincin, nggak semua pria memakai cincin nikah."

"Kalau dia belum menikah, dia kan bisa menjadi pendamping mommy-nya Salma. Jadi keinginan anak gue bisa terwujud."

"Pleade deh, siapa juga yang mau menikah sama dia. Ih, amit-amit."

"Sebagai sahabat gue akan mendoakan yang terbaik buat elo, Dys."

"Ya tapi jangan menjadikan gue pelakor dong. Lagipula gue nggak mau jadi istri kedua. Gue nggak bisa menjalani poligami. Apalagi kalau gue yang menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka."

"Kita lihat saja nanti. Kita nggak pernah tahu apa rencana Allah untuk hidup kita. Siapa tahu kalian memang berjodoh dan akan bersatu," ucap Intan santai sambil mengedipkan sebelah matanya untuk menggoda Gladys.

"Ntan, berapa orang sih tamunya mas Haidar? Kok banyak amat masaknya?" tanya Gladys sekaligus mengalihkan pembicaraan.

"Gue nggak tahu pasti. Pokoknya mas Haidar cuma nyuruh masak yang banyak. Mungkin ada beberapa orang tamunya."

"Ntan, ini semua sudah siap. Untuk dessert sudah gue siapkan di kulkas. Nanti elo tinggal potong-potong saja."

"Elo mau kemana? Memangnya nanti elo nggak ikut makan malam bareng?"

"Gue di kamar saja deh. Gue mau melanjutkan baca novel yang baru terbit. Lagipula gue nggak kenal sama teman-teman mas Haidar. Takut mengganggu acara kalian."

"Jangan gitu dong Dys. Kan gue mau mengenalkan siapa koki yang menyiapkan ini semua. Mas Haidar juga sudah mempersiapkan meja panjang di halaman belakang. Ayolah, pasti seru acaranya," bujuk Intan. "Siapa tahu ada yang cocok di hati lo."

"Lihat nanti saja deh. Kalau gue nggak ketiduran, gue ikutan," balas Gladys. "Sekarang gue mau mandi dulu. Salma mana?"

"Tadi habis mandi dia bobo. Belum bangun kayaknya. Biar mas Haidar yang nanti bangunin dia."

"Biar gue aja yang bangunin dia setelah gue selesai mandi. Sekalian gue mau ajak dia beli es krim. Tadi siang belum jadi beli karena dia keburu ngambek."

"Kan nanti mau ada tamu. Masa elo dan Salma malah pergi? Terus siapa yang bantuin gue menghidangkan makanan?" pinta Intan dengan wajah memelas. Wajah yang ia tahu pasti takkan bisa ditolak oleh Gladys. "Elo tau kan, mas Haidar akan cemas kalau gue kecapekan."

"Huh, elo memang paling jago kalau urusan bujuk membujuk," omel Gladys. "Oke, oke. Gue nanti keluar sebentar saja dengan Salma. Sebelum tamu kalian datang, gue sudah sampai lagi di rumah. Kalaupun telat pasti nggak akan lama."

"Beneran ya. Masih banyak yang harus dikerjakan lho."

"Tenang saja. Ayam tinggal digoreng sebentar. Lalu untuk pasta, saos sudah siap, nanti kita tinggal rebus pastanya. Ntan, nggak papa menunya campur-campur begini?"

"Nggak papa. Siapa tahu tamu yang lain maunya makan spaghetti," sahut Intan sambil mulai membuat sambal. "Kalau gitu sekarang elo buruan mandi dan bangunin Salma. Biar nggak kemalaman baliknya."

"Iya.. iyaaa... siap boss. Gue bingung, mas Haidar kok betah banget ya sama elo yang bossy begini. Padahal setahu gue di tempat kerjanya, jabatan dia lumayan tinggi kan."

"Itulah uniknya pernikahan. Ada saat dia menjadi boss tapi ada saatnya istri yang menjadi boss. Makanya buruan nikah."

"Gue mandi dulu ya Ntan." Gladys langsung ngeloyor masuk ke kamar sebelum Intan mulai membahas masalah pernikahan lagi.

⭐⭐⭐⭐

"Mommy, why we're in hurry?" tanya Salma heran. Biasanya kalau pergi membeli es krim, Gladys akan mengajaknya makan di taman.

"Your ummi and abi are waiting for us. There are a few guests will come to our house. You have to be a good girl for tonight, because ummi and I have to prepared the diner."

"Hmm.. okay mommy. Promise me, you're going to read a book before I sleep."

"Okay, I will do it later."

Sesampainya di depan rumah belum terlihat mobil lain yang terparkir. Alhamdulillah tamunya belum sampai, bisik hati Gladys lega. Aku masih bisa menyiapkan makan malam. Setidaknya Intan tak perlu melakukannya sendiri.

"Salma, you're playing with abi while we're cooking for a diner. Okay dear?" Intan membawa Salma kepada Haidar yang sedang duduk menontom acara televisi.

"Ntan, tamunya datang jam berapa? Kok jam segini belum datang? Padahal gue sudah buru-buru ajak Salma pulang."

"Nggak tau tuh. Sebentar lagi mungkin." Tak lama terdengar suara bel pintu berbunyi.

"Dys, tolong bukain pintu dong! Aku dan Salma sedang menyiapkan cemilan untuk tamu." Haidar meminta Gladys membuka pintu.

"Okay. Takes your time mas. Plating-nya yang rapi ya biar menarik perhatian."

Gladys buru-buru berjalan ke pintu karena bel kembali berbunyi. Nggak sabaran banget sih tamunya mas Haidar, omel Gladys dalam hati.

"Selamat... ma... lam?!" sapa Gladys saat membuka pintu.

"Assalaamu'alaykum princess." Di sini, di depan pintu rumahnya berdirilah pria itu. Pria yang pernah dicintai sekaligus dibencinya. Apakah benar aku membencinya? Pikiran dan hati Gladys sibuk berdiskusi.

"Kak Adis!" Terdengar suara lain menyusul salam yang Banyu ucapkan "Assalaamu'alaykum kak."

"Ai... dan? Aidan?! Kok kamu..."

"Assalaamu'alaykum nak Adis," terdengar suara lembut menyapa Gladys.

"Wa'alaykumussalaam... i.. bu? Ibu? Aidan?" Gladys terlihat bingung memandang para tamu yang berdiri di hadapannya. Ia mengucek matanya seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Diiiyyss.... tamunya disuruh masuk dong," Terdengar suara Haidar memanggil dari dalam.

"I-iya mas. Silahkan masuk," Gladys mempersilahkan para tamu masuk. Setelah masuk, Aminah langsung menarik Gladys ke dalam pelukannya.

"Ya ampun nak Adis kemana saja? Ibu dan adik-adikmu bingung karena kamu tiba-tiba menghilang. Ibu nggak menyangka bisa bertemu kamu kembali disini, di negeri orang." Air mata Aminah langsung berderai saat ia memeluk erat tubuh Gladys. Selama ini ia begitu merindukan gadis ini. Gadis manja yang telah mencuri hati seluruh anggota keluarganya.

"Bu...." Gladys tak sanggup melanjutkan ucapannya. Ia pun begitu merindukan Aminah, Aidan dan Nabila. Ia balas memeluk erat tubuh Aminah. "Maafkan Gladys karena menghilang begitu saja. Maafkan Gladys bu."

"Kamu nggak bersalah nak. Ibu yang seharusnya minta maaf karena tak mampu mendidik anak ibu menjadi pria yang baik." Kembali mereka berdua berpelukan dalam tangis.

"Mommy...." Tiba-tiba suara Salma memutus adegan sedih di antara keduanya.

"Dys, ini anakmu?" tanya Aminah di sela isaknya. Aminah menoleh kepada Salma dan tersenyum sambil menghapus sisa-sisa air matanya. "Hai anak manis, sini sama eyang."

"Bu, Salma tidak bisa bahasa Indonesia," bisik Banyu. Gladys langsung mengangkat Salma ke dalam gendongannya.

"Salma, say hello to grandma and uncle Aidan. They are my friends." Salma langsung tersenyum kepada Aminah dan Aidan. Senyumnya semakin lebar saat beradu pandang dengan Banyu. Matanya berbinar senang.

"Dys, tamunya disuruh duduk dulu dong," ucap Haidar yang dari tadi terdiam melihat adegan pertemuan tadi. Ia tak menyangka reuni ini mengharukan. Ia tak tahu kalau hubungan Gladys dengan keluarga Banyu sangat dekat. Intan sepertinya lupa menceritakan hal tersebut.

"Iya mas. Gladys lupa," jawab Gladys seraya mengajak mereka duduk di ruang tamu.

"Nak Adis, ini suami.. mu?" tanya Aminah ragu setelah mereka semua duduk.

"Bu-bukan bu. Dia abinya Salma," jawab Gladys tergagap.

"Kamu mommynya, dia abinya. Berarti mas ini suami kak Adis kan?" tanya Aidan penasaran. "Nggak mungkin kan kalian tidak me..."

"Kami memang tidak menikah," jawab Haidar.

"Astaghfirullah... Nak Adis, apakah kamu trauma? Ibu nggak menyangka kamu akan mengambil jalan seperti ini. Apakah orang tuamu tahu mengenai hal ini?"

"Bu, mas Haidar ini suami saya," jelas Intan yang muncul dari dapur sambil membawa minuman hangat. Semua mata memperhatikan wanita cantik yang sedang hamil itu.

"Lho, mbak Intan siapanya kak Adis?" tanya Sita yang sedari tadi diam di saja. "Kalian saling mengenal? Kakak ingat aku kan? Aku Sita, kak. Adiknya kak Fathin."

"Kamu Sita anaknya ustadz Arman?" Sita mengangguk.

"Sayang, dia ini yang Gladys bilang istrinya Banyu," bisik Haidar.

"Lho, kamu istrinya Banyu? Ya Allah, dunia ini sempit banget ya."

Semua orang saling pandang. Raut wajah heran terlihat disana sini.

"Ntan, lo kenal dia?" tanya Gladys perlahan. "Dia ini yang waktu itu bertemu di rumah sakit."

"Iya, Sita ini anak guru ngaji aku. Kebetulan saat kuliah dulu aku pernah ikut halaqoh yang diadakan oleh ustadz Arman dan istrinya. Bahkan kakaknya Sita, kak Fathin, teman kuliah mbak Galih."

"Maaf, Sita ini istri Aidan. Bukan istri mas Banyu," potong Aidan. "Kami sudah menikah selama satu setengah tahun."

"Apa?! Kamu sudah menikah?" tanya Gladys tak percaya. Ia menatap lekat wanita bercadar yang duduk di samping Aidan.

"Iya kak Adis. Sita bukan istri mas Banyu. Sita istri Aidan. Kakak lupa ya sama Sita?"

"Masyaa Allah.. kamu Sita tantenya Zahra?" seru Gladys tak percaya. "Aidan sudah menikah? Kamu sekarang tinggal disini?"

"Iya kak. Sita dan Aidan tinggal di London. Aidan sedang kuliah kuliner disini," jawab Aidan sambil memeluk bahu Sita. "Sekarang Sita sedang hamil tujuh bulan. Makanya ibu ikut kesini saat mas Banyu hendak bertemu dengan partner bisnisnya."

"Waah, kamu hebat ya Dan. Di usia semuda ini berani menikah. Nggak seperti seseorang yang aku kenal. Kak Adis salut sama kamu, Dan." Gladys menepuk bahu Aidan seraya melirik seseorang. Yang dilirik hanya senyum-senyum.

"Tunggu dulu nak Adis. Kalau dia ini bukan suamimu sementara Salma adalah anakmu dan dia adalah abinya, sementara nak Intan ini adalah istri abinya Salma. Apa itu artinya kamu ... simpanan atau istri kedua dia?" tanya Aminah bingung sambil menatap Gladys, Intan dan Haidar bergantian.

"Bu, Haidar ini suaminya Intan. Salma anak mereka, bukan anak Gladys. Mereka tinggal bersama disini karena ini rumah Gladys. Haidar saat ini sedang mengerjakan thesisnya. Gladys dan Salma memiki hubungan yang cukup istimewa karena sejak Salma masih bayi hingga kini, Gladys ikut mengurusnya." Banyu menjelaskan. Mata Gladys membulat mendengar ucapan Banyu. Darimana dia tahu semua itu. Gladys menatap Intan curiga.

"Itu sebabnya Salma memanggil Gladys mommy dan memanggil saya ummi," jelas Intan tanpa mempedulikan tatapan tajam Gladys yang terarah kepadanya.

"Jadi sudah clear semuanya. Gladys belum menikah demikian juga Banyu," ucap Haidar. "Berarti ada kemungkinan kalian berdua bisa..."

"Nggak! Nggak ada kemungkinan apapun di antara kami berdua!" potong Gladys sebelum Haidar menyelesaikan ucapannya. "Jadi semua ini sudah direncanakan? Siapa otak dibalik semua ini?"

Tak ada yang menjawab, hanya Intan yang tersenyum penuh kemenangan. Gladys menatap Intan gemas. Awas lihat saja nanti kalau para tamu ini sudah pulang, batin Gladys.

"Buat ibu apa yang akan terjadi di masa depan adalah rahasia Allah. Yang pasti ibu dan Aidan sangat bahagia bisa bertemu kamu lagi." Aminah mengelus punggung Gladys dengan penuh rasa sayang. "Ibu senang kamu dalam keadaan sehat, terlihat lebih dewasa dan pastinya tambah cantik. Apalagi sekarang kamu sudah benar-benar menutup auratmu."

"Maafkan Adis karena nggak pernah memberi kabar kepada ibu dan adik-adik. Maaf juga Adis baru tahu kalau om Pram sudah nggak ada," ucap Gladys dengan suara tercekat menahan kesedihannya saat mengingat Pramudya.

"Biar tidak berlarut-larut sedihnya gimana kalau kita sekarang makan malam dulu. Sambil makan malam nanti bisa dilanjutkan obrolan kita," potong Intan sebelum semuanya larut dalam kesedihan akibat mengingat Pramudya.

Entah disengaja atau tidak, Banyu dan Gladys malam itu duduk bersisian. Saat Gladys hendak protes Intan langsung menggelengkan kepala.

"Lo tau kan mas Haidar kalau makan pasti minta dilayani oleh istrinya? Dan gue yakin elo pasti nggak mau disuruh melayani mas Haidar."

"Tapi, Ntan... Oke, oke.. gue nggak akan protes lagi," ucap Gladys kesal sambil membalas tatapan galak Intan. Memang sudah melawan bumil, batin Intan.

"Wah, sepertinya enak-enak semua nih," komentar Aidan saat melihat makanan yang terhidang di meja. "Aidan sudah lama nggak makan sayur lodeh, karena sejak Sita hamil dia nggak suka makanan bersantan. Melihat berbagai hidangan ini membuat Aidan merasa ada di rumah kita. Kak Intan pasti jago memasak nih."

"Wah, kayaknya aku harus belajar memasak ayam goreng seperti ini deh. Kelihatannya Aidan sangat suka makanan yang terhidang. Kak, boleh kan Sita belajar masak sama kak Intan?"

"Iya makanannya enak-enak semua," puji Aminah. "Apalagi kuenya. Wah, nak Intan hebat ya dalam kondisi hamil masih mau repot. Sama seperti menantu saya yang cantik ini. Walau sudah hamil 7 bulan tapi nggak bisa diam."

"Masakannya pas di lidahku. Memang nggak salah nih Haidar pilih istri. Jago memanjakan perut," tambah Banyu sambil mengangguk-angguk. "Pantas saja pertama bertemu aku nggak mengenali dia, karena badannya jadi lebih subur sejak menikah."

"Ah ibu bisa saja. Saya hanya jadi sous chef dan membuat sambal saja," jawab Intan malu. "Mas Banyu juga memujinya jangan berlebihan dong. Jadi malu nih."

"Wah, kalau begitu berarti nak Haidar yang jago masak ya?"

Intan dan Haidar saling berpandangan sambil tersenyum lalu keduanya menggeleng. Melihat hal itu semua mata memandang ke satu orang yang sedang asyik mengobrol dengan Salma.

"Ah, yang benar? Kak Intan dan mas Haidar nggak bercanda kan?" tanya Aidan tak percaya. "Mana mungkin kak Adis... ah, Aidan nggak percaya."

"Ini semua nak Adis yang masak?" Kali ini Aminah yang bertanya langsung kepada Gladys. Banyu menoleh ke arah Gladys. Ia pun penasaran.

"Ah, cuma masakan sederhana saja bu. Masakan rumahan," jawab Gladys sambil menunduk malu. "Saya belum sepandai ibu dan Aidan memasaknya."

"Masyaa Allah... Alhamdulillah. Kamu sudah cantik, rendah hati pandai memasak pula," puji Aminah. "Sungguh rugi pria bodoh yang sudah melepasmu."

Banyu yang merasa tersindir hanya sanggup menggaruk kepalanya yang tak gatal. Memang benar apa yang diucapkan ibunya, ia memang bodoh sudah melepaskan gadis yang kini duduk di sampingnya.

⭐⭐⭐⭐


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C93
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login