Malam itu, suasana makan malam pun menjadi canggung. Kedua orang tua Yumeji merasa tidak bisa menghibur dirinya. Dia masih tampak depresi tapi, dia tetap makan dengan nafsu yang sama.
Ibunya enggan untuk menanyakan keadaannya.
Tapi, ayahnya yang sudah selesai makan duluan, memulai pembicaraan dengan pertama-tama dia memuji masakan sang ibu yang enak seperti biasa, "Hiyaaa~ kamu masakanmu memang tak terkalahkan, sayang. Membuatku jadi betah di rumah terus, terlebih lagi kamu istri yang cekatan~" dia mengatakannya sambil mengedipkan salah satu matanya pada wanita yang duduk di dekatnya.
"E-eh! Kamu bisa saja, aku kan memasak sesuai yang aku bisa." Ucap sang ibu dengan nada lembutnya.
Kemudian mereka berdua tertawa kecil bersama ....
"Hei, Yumeji, bagaimana rasanya masakan ibumu?" sapa sang ayah dengan sangat perhatian
"U-um," Yumeji langsung meresponsnya sambil menganggukkan kepala dan memasang senyum lembutnya walau itu terlihat dipaksakan, "Enak banget, kok."
"Etto, kamu tidak apa-apa? Dari tadi kamu tampak lesu, kenapa? Sakit kah?" tanya sang ayah dengan sangat perhatian kemudian dia menyilangkan tangannya untuk bersedakap.
"Hah~" dia menghela napasnya sebelum melanjutkan perkataannya lagi.
"...." Yumeji terlihat ragu untuk menjawabnya. Bukannya dia tidak mau menjawab tapi, dia bingung bagaimana cara menceritakan semua ini? Dia juga tidak ingin menjawab 'Sakit' karena itu akan membohongi dirinya di depan orang tuanya.
"Kalau kau punya masalah, ceritakanlah. Kita adalah keluarga, dan kita akan menceritakannya bersama. Tapi, kalau kau yang bermasalah maka, kami juga akan menasehatimu dengan tegas, karena kami adalah orang tuamu yang ingin membuat anaknya ke jalan yang baik dan benar." Jelasnya dengan sungguh-sungguh.
Mendengar sang ayah yang mengatakan hal seperti itu, hati Yumeji tergerak dan dia mulai membuka sedikit mulutnya untuk menjawabnya tapi, ekspresi depresinya itu sepertinya tidak bisa disembunyikan lagi.
"Jika aku berkata dengan jujur, apa kalian tidak akan menghukumku?" tanya Yumeji memastikan dengan tertunduk murung.
"Tentu saja, aku lihat dulu apa yang mengganggu pikiranmu saat ini. Alangkah baiknya kau ceritakan pada kami, kau terlihat sangat terbebani, nak." Ucap sang ayah dengan perasaan khawatir, dan dia berharap perkataannya itu tidak terlalu membebaninya juga.
"...."
"Sayang~" ucap sang ibu lirih yang tengah berbisik pada lelaki yang ingin memastikan sesuatu ke anaknya ini.
"...."
"Jyaaa, kalau begitu ... apa jika aku mengatakan yang sejujurnya, kalian akan percaya?" tanya Yumeji serius yang kini mulai mengangkat wajahnya kemudian fokus pada wajah mereka berdua.
"...." Ibunya mencoba ingin menjawabnya 'Percaya' karena dia tahu walaupun anaknya ini manja dan pemalas, Yumeji hampir tidak pernah berbohong.
"Aku lihat dulu!" beda dengan sang ayah yang penuh pertimbangan, "Ceritakanlah!" setidaknya dia ingin melihat wajah anaknya kembali ceria.
Lalu ....
Yumeji akan menceritakan semua kejadian itu, dia meminta untuk ayah dan ibunya supaya tidak berkomentar terlebih dulu saat bercerita agar ceritanya tidak terjeda. Dia kemudian juga menjelaskan karena baru ingat kalau dia telah bermimpi yang sama persis seperti kejadian yang dia alami saat ini.
Tentu saja saat Yumeji sudah menceritakan semua itu, hingga menceritakan perasaan ketakutannya yang menghantui dirinya saat ini membuat orang tuanya bergeming dan bertanya-tanya, 'Bagaimana mimpi bisa menjadi nyata ...?' dan mereka berpikir, andaikan dia di posisi anaknya yang mengalami mimpi itu mungkin mereka berdua sudah depresi setengah mati.
Yumeji ternyata sabar juga!!
"...."
****
"Sudah, hanya itu yang aku ceritakan. Jujur saja setelah makan malam aku sangat mengantuk tapi, aku takut bermimpi yang bisa menjadi kenyataan lagi. Jika itu mimpi yang baik, aku sangat bersyukur tapi, bagaimana jika itu mimpi yang buruk hingga memimpikan kematian seseorang ...?" gumam Yumeji yang masih tertunduk murung dengan nada lesunya.
Kemudian, ibunya mencoba mendekap Yumeji, "Kalau begitu bagaimana jika kamu tidur bersama ibu untuk malam ini?" tanyanya memastikan. Dia lega kalau Yumeji ternyata tidak marah padanya, dan dia masih belum sepenuhnya yakin kalau anaknya memiliki mimpi yang penuh ketepatan seperti itu. Tapi, dia yakin, Yumeji tidak sedang berkhayal ....
Yumeji akhirnya menyetujui ajakan sang ibu untuk tidur bersama.
Kini mereka berganti kamar, jika biasanya sang ibu tidur bersama ayahnya, maka kini sang ibu tidur bersama Yumeji. Ayahnya mengalah dan bilang lebih baik dirinya tidur di sofa. Walaupun jika di kamar anaknya jauh lebih baik tapi, dia memilih tidur di sofa, dia sopan sekali untuk tidak menginjak kamar anaknya yang sudah puber ini meskipun sifat kemanjaannya yang seperti anak kecil masih ada.
Sang ibu menyuruh Yumeji untuk tidur lebih dulu di kamarnya. Sementara dia hendak membereskan piring dan mandi ... (*Ya, hanya sang ibu yang belum mandi).
Yumeji pun segera masuk kamarnya sesuai perintah, walau bagaimana pun dia adalah anak yang penurut. Dan tidak lupa dia mengucapkan 'Oyasumi' kepada ayahnya.
"Oyasumi," Ayahnya pun meresponsnya sambil tersenyum lembut.
*Oyasumi = Selamat beristirahat
....
Perlahan saat Yumeji tidur dan hampir terlelap, hujan agak reda di malam hari. Sementara sang ayah masih belum tidur, dia malah membuka online-shop di ponselnya.
Saat wanita yang serba bisa itu baru selesai mandi dengan mengenakan baju handunya, dia menghampiri suaminya sebentar sebelum masuk kamarnya, "Sedang apa? Kok belum tidur?"
"Oh, ini." Dia memperlihatkan sesuatu yang sedang dicari di ponselnya.
"Smarthphone?"
"Ya, untuk Yumeji. Aku akan membelikannya yang baru." Ujarnya dengan serius.
"Hei sayang, apa kamu mempercayai semua perkataan anak itu?" tanya sang wanita itu yang tampak meragukan putrinya.
"Eh, memangnya kenapa? Aku sangat mempercayainya, aku akan menjaga anak itu, dan kalau bisa aku ingin melindungi anak itu!" ucapnya dengan sungguh-sungguh.
Sebenarnya kasih sayang mereka berdua begitu besar pada putri tunggalnya ini.
*Untung ayahnya itu juga sangat perhatian padanya.
Sebelum mereka berdua benar-benar tidur, mereka juga mendiskusikan masa depan anaknya, dan demi mengantisipasi hal buruk lagi, sang ayah menyuruh sang ibu untuk membawa Yumeji ke klinik atau memeriksakan dirinya ke dokter psikolog pagi harinya.
Sang ibu pun setuju, dan dia tidak berlama-lama mengobrol malam ini dengan sang ayah karena sudah janji untuk menemani tidur putrinya.
Dia berharap, 'Semoga tidak terjadi apa-apa dengan putri kami satu-satunya ini.'
________
To be Continued