Download App
66.66% Mate for Hire / Chapter 14: Bab 14: Priority

Chapter 14: Bab 14: Priority

Suasana sibuk dan lalu-lalang masih terjadi di sekitar. Entah berapa lama Hana tidak sadarkan diri, karena begitu membuka mata dirinya sudah berada di rumah sakit dengan selang infus yang terpasang di tangannya. Hana masih ingat apa yang terjadi sebelumnya, bahkan rasa sesaknya masih terasa.

"Mas Ares," ucap Hana pelan, melihat Ares yang duduk tertunduk di sisi ranjangnya.

"Kamu sudah sadar, Hana?" tanya Ares.

Hana hanya mengangguk pelan, yang sukses membuat Ares bisa bernapas lega. Di tempat lain, Ganendra masih berlutut di hadapan ibu dan juga adik Hana. Biar bagaimanapun, semua kekacauan ini berasal darinya.

"Saya mau meminta maaf kepada kalian," ucapnya pelan. "Saya yang mengirim semua bunga dan hadiah ini ke mari. Maaf karena bertindak tiba-tiba seperti ini, dan membuat kekacauan."

Ganendra memohon dengan tulus, sementara dua orang di hadapannya justru menatapnya heran. Penampilan Ganendra bahkan sudah kacau sekarang. Kemejanya sudah mencuat ke mana-mana. Setelah berlari menggendong Hana, Ganendra sudah tidak peduli pada apa pun lagi. Buatnya, keselamatan Hana adalah yang utama.

"Di mana Hana?" tanya ibu pelan.

"Hana ada–"

"Pergi ke mana dia?!"

Belum sempat Ganendra menjelaskan kondisi Hana, ibunya sudah histeris duluan. Di sampingnya, Dirga memeluk ibunya dan mencoba menenangkannya.

"Ibu, tenang dulu," ucap Dirga pelan.

"Kakakmu ke mana, Dirga?" ucap sang Ibu, seraya kembali terisak. "Sudah banyak yang dia korbankan, tapi ibu malah buat dia makin menderita."

"Enggak, bukan salah Ibu."

"Ibu nggak pernah memberikan hal yang baik untuk Hana, ibu cuma menuntutnya dengan banyak hal. Ibu nggak pernah membantu tapi malah menyakiti dia," lanjutnya, masih sambil terisak.

"Ibu udah, jangan nangis lagi," ucap Dirga lagi.

Di hadapan mereka, Ganendra hanya bisa mematung, tidak tahu harus berbuat apa. Hingga satu pertanyaan meluncur dari mulut Dirga dan sukses membuat Ganendra kebingungan.

"Anda siapa sebenarnya? Ngapain Anda bawa hadiah sebanyak ini buat kakak saya?"

"Saya ... saya atasannya," jawab Ganendra. "Saya memberi semua hadiah ini, karena saya memiliki perasaan pada Hana. Saya mencintai dia."

"Apa?" Dirga yang terkejut mendengar ucapan Ganendra, refleks menatapnya tajam.

"Tapi Hana nggak pernah balas mencintai saya," ucap Ganendra. "Jadi tujuan saya datang ke sini, untuk meluruskan semuanya dan mengatakan pada kalian kalau Hana nggak berbohong, dia memang sudah berhenti jadi pacar sewaan."

Di tempatnya, Dirga kembali dibuat bungkam. Sementara dalam pelukannya, sang ibu semakin terisak. Untuk beberapa saat, tak ada suara yang mengisi ruangan kecuali isak tangis yang terdengar samar. Hingga Dirga kembali bersuara.

"Anda tahu di mana Kak Hana?" tanya Dirga kemudian.

"Saya akan mengantarnya nanti," jawab Ganendra. Tadinya ia mengatakan kalau Hana ada di unit gawat darurat, namun tidak jadi karena takut kondisi ibu Hana semakin memburuk kalau mendengarnya.

Dirga mengangguk paham, sebelum kemudian Ganendra pamit. Belum ada beberapa langkah keluar dari rumah Hana, Ganendra sudah mengeluarkan ponsel dan menghubungi Ares. Tak perlu menunggu lama, Ares sudah menjawab panggilannya.

"Gimana keadaan Hana, Res?" tanya Ganendra, bahkan sebelum Ares mengatakan apa pun.

"Sudah siuman. Dia hanya kelelahan, setelah cairan infusnya habis, dia sudah bisa pulang," jelas Ares.

Terdengar helaan napas Ganendra yang begitu lega mendengar bahwa Hana baik-baik saja. Karena sungguh, kalau ada sesuatu yang terjadi pada Hana, Ganendra tidak akan memaafkan dirinya sendiri.

"Syukurlah," ucap Ganendra. "Nanti tolong kamu yang antar pulang, Res."

"Loh, kamu nggak mau ketemu Hana dulu?"

"Mendengar dia baik-baik aja sekarang sudah lebih dari cukup. Saya nggak mau lagi menjadi alasan dia menderita."

Ares yang sengaja menggunakan speaker pada ponselnya, membuat Hana mau tak mau mendengar ucapan itu keluar dari mulut Ganendra. Entah kenapa, ada rasa lega di hatinya, namun di sudut hatinya yang lain juga merasa tercubit. Tapi kenapa baru sekarang Ganendra memedulikan perasaannya? Kenapa baru sekarang lelaki itu mendahulukan dirinya?

"Urusan di sana sudah beres?" tanya Ares lagi. Sementara Hana masih belum bicara dan mendengarkan percakapan kedua orang itu.

"Sudah. Tolong kamu kirim orang untuk membereskan sampah di sini, saya nggak mau keadaan Hana jadi buruk lagi karena melihat ini semua."

"Kamu nggak perlu sampai berbuat sejauh itu, Ndra." Ares yang mulai khawatir dengan tindak tanduk Ganendra mendadak waswas. Pasalnya, ucapan Ganendra tidak pernah main-main. Semua yang keluar dari mulut Ganendra adalah mutlak dan wajib terlaksana. Namun, kali ini dia menyerah lagi. Entah apa yang akan lelaki itu korbankan, mungkin waktu yang berharga atau justru perasaannya sendiri.

"Saya harus." Ganendra berucap tegas. "Hana adalah prioritas saya. Saya akan melakukan apa saja buat dia, termasuk pergi sejauh mungkin kalau itu memang yang terbaik buat Hana. Saya nggak mau melihat orang yang saya cintai terluka apalagi menderita karena saya."

"Iya, aku paham." Ares mengangguk pelan. "Habis ini kamu ke mana? Langsung pulang?"

"Masih ada yang harus saya selesaikan di kantor. Tolong kamu antar Hana pulang, Res. Pastikan dia sampai ke rumah dengan selamat dan bertemu dengan keluarganya." Ganendra diam sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. "Dan juga, jangan bilang Hana kalau saya bertemu keluarganya. Jangan sebut nama saya di depan dia dan jangan bilang saya yang minta kamu antar dia pulang. Saya nggak mau dia merasa terbebani."

Refleks, Ares menatap Hana yang kini sudah memasang ekspresi kaget. Sementara itu, tanpa persetujuan Ares, Ganendra sudah menutup panggilan. Di tempatnya, Hana hanya bisa terpaku. Lagi-lagi, seluruh tubuhnya terasa membeku. Harusnya ia lega mendengar semua ucapan Ganendra barusan, harusnya ia bersorak bahagia. Namun, kenapa yang ia rasakan justru sebaliknya. Ada perasaan nyeri di sudut hatinya, dan itu sangat mengganjal.

***

Seperti yang diperintahkan Ganendra, Ares mengantar Hana sampai di rumah dengan selamat, meski ia hanya mengantarnya sampai depan rumah. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu dengan keluarga Hana. Biar bagaimanapun, semua kekacauan ini juga ada campur tangan darinya, dan hal itu cukup membuat Ares merasa sangat bersalah.

"Sekali lagi, saya minta maaf, Hana." Ares tertunduk dalam ketika mengucapkannya.

"Ini bukan salah Mas Ares," jawab Hana pelan.

"Ya sudah, kamu masuk dan istirahat. Kalau besok kondisimu masih kurang baik, nggak perlu datang ke restoran. Biar saya yang bicara sama Pak Rahmat."

"Baik, Mas Ares. Makasih." Hana mengangguk.

Setelahnya Ares pamit dan meninggalkan Hana sendiri dengan perasaan yang tidak bisa ia deskripsikan. Separuh hatinya merasa lega, namun sisi lainnya juga merasa bersalah. Terlebih setelah mendengar ucapan Ganendra saat menelepon Ares tadi. Hana tahu, kalau lelaki itu benar-benar tulus mencintainya, hanya saja dirinya tetap merasa tidak pantas.

Hana masih merenung di depan pintu, sampai kemudian Dirga keluar sembari memakai jaket.

"Kakak dari mana?! Baru aja aku mau keluar cari Kakak," ucapnya. "Ibu khawatir banget sama Kakak."

"Gimana keadaan Ibu? Apa perlu kita bawa ke rumah sakit?" tanya Hana yang jadi semakin cemas.

"Ibu baik-baik aja, dia mau bicara sama Kakak."

Hana mengangguk pelan, kemudian bergegas masuk untuk menemui ibunya. Ia menarik napas, kemudian mengembuskannya perlahan. Entah mengapa, perih di pipinya malah terasa lagi. Tapi Hana tidak ingin melarikan diri.

***


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C14
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login