Semalaman Jeanna tak bisa tidur nyenyak. Entah kenapa, ia tak bisa berhenti memikirkan tentang Rain. Kenapa? Kenapa pria itu menyelamatkan Jeanna?
Sialnya, karena semalaman tak bisa tidur, Jeanna bangun agak kesiangan. Ia tiba di kantor jam tujuh kurang seperempat. Semoga saja Rain belum tiba di ruangannya. Ketika Jeanna masuk, ruangan itu masih kosong. Jeanna menghela napas lega dan bergegas pergi ke ruang ganti.
Namun, ketika Jeanna membuka pintu, ia mendapati Rain sudah ada di dalam. Kali ini, pria itu sudah memakai kemeja, tapi belum mengancingkannya.
"Pas sekali kau datang," Rain berkata. Pria itu menunjuk kemejanya yang terbuka. "Lakukan pekerjaanmu."
Jeanna melangkah masuk dan menuruti perintah Rain. Tanpa berbicara atau membantah, Jeanna mengancingkan satu-persatu kancing kemeja Rain. Ketika pria itu memasukkan kemejanya ke celana, Jeanna berbalik memunggunginya. Lalu, ia merasakan sebuah kain mendarat di bahunya.
"Pakaikan itu juga," perintah Rain.
Jeanna mengambil selembar kain panjang di bahunya yang ternyata adalah dasi, lalu ia kembali berputar menghadap Rain. Jeanna, meski memakai high heels, harus agak berjinjit untuk mengalungkan dasi itu ke leher Rain. Namun, ujung jari kakinya yang menyerah membuat Jeanna kembali mendarat dan menarik leher Rain dengan dasi yang sudah terkalung di sana, hingga pria itu menunduk ke arah Jeanna.
"Ma-maaf, Pak," ucap Jeanna cepat.
"Kau lebih pendek dari kelihatannya, rupanya," ucap pria itu dengan nada meledek.
Pria itu yang ternyata lebih tinggi dari kelihatannya! Meski, Jeanna tak mengucapkan kata-kata itu langsung pada Rain. Minta dipecat namanya jika dia berani protes tentang tinggi Rain.
Jeanna kembali berjinjit ketika Rain menegakkan lehernya. Ketika Jeanna sedang berkonsentrasi membuat simpul dasi pria itu, Rain tiba-tiba mencondongkan tubuh ke samping, membuat Jeanna oleng dan terdorong ke depan, wajahnya menubruk dada pria itu.
Jeanna langsung menarik wajahnya dan memastikan kemeja Rain tidak kotor karena make up-nya. Untungnya, Jeanna hanya mengenakan make up tipis, jadi hanya ada debu bedak saja di kemeja itu. Jeanna menepuk-nepuk pelan dada Rain hingga noda itu menghilang.
"Apa yang kau lakukan?" geram Rain.
"Ma-maaf, Pak. Karena Pak Rain tiba-tiba bergerak, saya kehilangan keseimbangan dan wajah saya menabrak kemeja Pak Rain. Saya … tak sengaja mengotori kemeja Pak Rain dengan make up saya," jelas Jeanna.
Rain menyipitkan mata. "Mundur."
Jeanna langsung menurut dan mundur meski ia belum menyelesaikan simpul tali dasinya. Lalu, Jeanna bisa melihat tangan Rain yang sudah memegang jas. Sepertinya, tadi pria itu bergerak untuk mengambil jas itu. Namun, pria itu kembali melemparkan jas itu ke etalase kaca di tengah ruangan.
Kemudian, mengejutkan Jeanna, Rain membuka ikatan dasinya yang belum selesai dan melemparnya sembarangan. Setelahnya, pria itu juga membuka kancing kemeja dan menarik lepas kemejanya, lalu membuangnya ke lantai. Melihat itu, Jeanna segera memalingkan wajah.
Namun, didengarnya pria itu memerintah, "Kemari!"
Jeanna menelan ludah dan mendekat pada Rain dengan kepala tertunduk. Detik berikutnya, Jeanna memekik kaget tatkala merasakan tubuhnya melayang. Lalu, Jeanna mendapati dirinya duduk di atas etalase.
"Pa-Pak …" Jeanna menatap Rain panik, tapi karena pria itu masih bertelanjang dada, Jeanna memalingkan wajah. Ia tak tahu harus menatap ke mana sekarang. Ditambah lagi, ia tak bisa tenang karena duduk di kaca etalase.
"Pa-Pak …" panggil Jenna lagi takut-takut. "Bagaimana jika nanti kaca etalasenya pecah?"
"Ini bukan etalase murahan yang kacanya mudah pecah," sengit Rain.
Oke, baiklah. Ini etalase mahal. Haruskah Jeanna merasa terhormat karena bisa duduk di sini? Ketika ia tak tahu kenapa ia didudukkan di sini?
"Ta-tapi … ini saya harus melakukan apa, Pak?" tanya Jeanna panik.
"Lihat aku," perintah Rain dengan suara tenang.
"Tapi … tapi … Pak Rain belum memakai baju," gagap Jeanna.
"Kubilang, lihat aku!" bentak Rain.
Jeanna refleks menunduk dan menatap tepat ke mata Rain. Seketika, Jeanna menahan napas. Tidak. Napasnya seolah tertahan karena intensitas tatapan pria itu. Pria itu seolah menatap Jeanna hingga ke dalam jiwanya. Mata cokelat madu pria itu seolah menghipnotis Jeanna.
Lalu, Jeanna bisa merasakan degup kencang jantungnya. Suara degup jantungnya seolah memenuhi ruangan itu. Apa Rain juga mendengarnya?
Berusaha mengendalikan debar jantungnya, Jeanna memutus kontak mata mereka, tapi kemudian tatapannya turun ke bibir pria itu. Jeanna mengutuk dirinya sendiri ketika tanpa sadar, ia menggigit bibirnya. Tanpa bisa dicegah … Jeanna sudah membayangkan bibir itu menyentuh bibirnya.
Jeanna pasti sudah gila!
***