"Kau butuh uang cepat dalam jumlah besar, tapi kau tak mau menjual tubuhmu?" dengus Silla geli.
Silla adalah teman kerjanya di salah satu klub malam. Namun, tak seperti Silla yang sudah biasa menerima tawaran pelanggan klub malam untuk tidur bersama, Jeanna hanya bekerja sebagai waitress.
"Aku benar-benar akan melakukan apa pun, Sil," ucap Jeanna putus asa. "Bahkan aku bisa menjual nyawaku asal aku bisa mendapatkan uang itu."
Silla mengangkat alis. "Kau bilang, uang itu untuk anak dari ayah tirimu, kan? Kenapa kau berusaha sekeras ini untuk orang yang bahkan tidak sedarah denganmu?"
Jeanna menunduk. Ia hanya ingin bebas dari ayah tirinya. Ayah tirinya berkata, jika Jeanna bisa memberikan uang satu milyar pada ayah tirinya, maka ayah tirinya akan menganggap semua utang Jeanna lunas dan Jeanna bisa pergi.
Silla menghela napas. "Sebenarnya, kemarin aku sempat mendapat tawaran. Mereka butuh seorang gadis bodoh yang bisa dibeli dengan uang untuk menjaga kerahasiaan dan bersedia mempertaruhkan nyawa."
Mata Jeanna melebar antusias. "Benarkah? Siapa orang itu? Mereka benar-benar tidak menuntut tubuhku, kan?"
Silla mendengus geli. "Tapi, kau kan, tidak bodoh. Kau bahkan mendapat beasiswa untuk kuliahmu, kan? Karena itu, kau terpaksa bekerja di tempat seperti ini agar bisa mendapatkan uang banyak meski hanya bekerja di malam hari agar kuliahmu tak terganggu. Apa aku salah?"
Jeanna menelan ludah. "Aku … bisa menjadi orang bodoh. Aku bisa menjadi apa pun, selama aku tidak harus menjual tubuhku. Kumohon … bantulah aku."
Silla menatap Jeanna, tampak menimbang-nimbang. "Tapi, jika kau sampai kehilangan nyawamu, aku tidak akan bertanggung jawab."
Jeanna mengangguk.
"Lalu, bagaimana dengan kuliahmu?" tanya Silla.
"Aku bisa mengajukan cuti untuk pekerjaan itu, dan aku akan melanjutkan kuliah begitu aku mendapatkan jumlah uang yang kubutuhkan," terang Jeanna.
Silla mendengus geli. "Kau pikir, itu adalah pekerjaan yang bisa kau lepaskan jika kau menginginkannya? Kau hanya bisa pergi jika mereka membiarkanmu pergi. Apa kau siap untuk itu, Jeanna?"
Jeanna tertegun. Ia kembali teringat ayah tirinya, istri ayah tirinya, dan anak dari ayah tirinya yang sakit parah. Selama ini, Jeanna harus bekerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Selama dua puluh empat jam, nyaris tanpa istirahat, Jeanna selalu bekerja. Satu-satunya waktu istirahatnya adalah ketika ia sekolah. Bahkan saat ini pun, selain di klub malam, Jeanna juga bekerja part time di warung dekat kampusnya.
Jeanna ingin segera terbebas dari keluarga itu, lalu mencari adiknya. Adik kandungnya yang menghilang tak lama setelah mamanya meninggal. Berkali-kali ia mencoba kabur, tapi ayah tirinya selalu bisa menemukannya dengan melaporkan Jeanna hilang ke kantor polisi. Bahkan, ayah tirinya pernah melaporkan Jeanna sebagai pencuri hingga Jeanna harus mendekam di penjara selama beberapa hari hingga ayah tirinya mencabut laporannya.
Jeanna … tak pernah bisa bebas dari ayah tirinya, juga istri ayah tirinya yang licik itu. Mereka selalu punya cara untuk menemukan Jeanna, ke mana pun Jeanna pergi, dan memenjarakan Jeanna kembali di kurungan mereka.
Maka, menjawab pertanyaan Silla tadi, Jeanna berkata, "Ya, aku siap."
Selama Jeanna bisa terbebas dari keluarga ayah tirinya dan bisa mencari adiknya.
***
Jeanna terkesiap kaget ketika tiba-tiba tubuhnya ditarik berdiri, lalu kemeja katunnya ditarik hingga terbuka, kancingnya terlepas paksa. Jeanna refleks menutupkan kedua tangan ke dadanya. Jeanna menatap pria di depannya itu dengan panik, sementara pria itu menatap menyusuri tubuh Jeanna.
"Aku tidak menerima pekerjaan ini untuk hal sepert ini, Tuan," Jeanna memberanikan diri berbicara.
Pria itu mengangkat tatapan dan menatap wajah Jeanna. "Aku juga tidak membutuhkanmu untuk hal seperti yang kau pikirkan," ucapnya. "Aku hanya memastikan kau tidak memasang penyadap di balik pakaianmu."
Jeanna mengerutkan kening mendengar alasan itu. Namun, ia kembali terkesiap tatkala kemejanya kembali ditarik menutup, tapi kancingnya sudah tak bisa dikancingkan. Mengejutkan Jeanna, pria itu melepas jas mahal yang dipakainya dan melemparkannya ke tubuh Jeanna.
"Besok pagi jam tujuh tepat kau harus sudah di kantor. Aku akan mengirim alamatnya ke nomormu," ucap pria itu sembari berjalan melewati Jeanna.
Sementara, Jeanna masih mematung di tempatnya, terlalu terkejut dengan apa yang terjadi barusan.
Apa-apaan … pria bernama Rain itu?
***