Download App
6.33% LOVE OF DREAM / Chapter 19: KHAWATIR KARENA VIA

Chapter 19: KHAWATIR KARENA VIA

Via baru saja bangun dari tidurnya. Ia menatap langit-langit kamarnya dalam keadaan yang masih setengah sadar itu sembari mengucek kedua matanya. Setelah dirasa telah sadar sepenuhnya, Via terkejut ketika melihat figura foto itu yang telah terpajang kembali di tempatnya seperti semula.

Kening Via mengerut, entah kenapa ia merasa jika tadi ia tertidur dalam keadaan memeluk figura foto itu. Karena penasaran Via pun mendekati kaca lemarinya, lalu duduk dihadapan cermin. Tangan kanannya menggenggam figura foto itu dan melihatnya dengan seksama.

Buliran bening dari kelopak matanya kembali keluar, entah kenapa ketika melihat figura foto itu hatinya menjadi sakit. Tanpa sadar Via meraba dadanya yang kembali berdenyut nyeri, ia berharap jika kejadian tentang Ibunya yang sedang bertengkar dengan seseorang ditelepon itu hanyalah mimpi.

Lalu ia menyimpan kembali figura foto itu ke tempatnya semula. Via menatap cermin dengan seksama, memperhatikan wajahnya yang terlihat menyedihkan. Kedua matanya membengkak karena menangis, hidungnya memerah serta bibirnya yang kering.

Via menggelengkan kepalanya sembari menatap cermin itu dengan keadaan yang masih menangis, ia masih tidak menyangka jika itu hanyalah mimpi. Seketika dirinya menjadi takut, mimpi itu benar-benar mimpi terburuk setelah traumanya dimasa lalu.

Kemudian Via memaksakan bibirnya untuk tersenyum dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanyalah mimpi dan semuanya masih baik-baik saja seperti semula. Via melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 17.00 sore, ia pun bergegas untuk membersihkan tubuhnya yang lengket.

Setelah selesai mandi, Via kini tengah tersenyum sembari menatap cermin itu. Mood Via sudah kembali membaik, ia benar-benar menyangka jika kejadian tadi hanyalah mimpi buruknya.

Berlari menuju pitu kamarnya, membuka dan menutupnya kembali. Setelah itu ia celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang, namun tak juga menemukannya.

Via menghela nafasnya lalu berjalan menghampiri pintu kamar Ibunya, "Ibu," Panggil Via sembari mengetuk pintu kamar Ibunya itu.

Senyum cerah dari bibir Via pun terbit ketika melihat Ibunya. Ia langsung memeluk Ibunya erat, sangat erat. Ibu Via yang kebingungan pun membalas pelukan putrinya itu, lalu mengelus rambut panjang hitam legam yang lurus itu.

Masih bertahan dalam posisi berpelukan, belum ada yang berbicara antara Via dan juga Ibunya itu. Via yang masih memeluk Ibunya erat itu pun merasa takut, pikirannya tertuju pada kejadian itu. Dimana Via mendengar dengan jelas bahwa Ibunya itu bertengkar dengan seseorang.

Kening Ibu Via mengerut, ia merasa pakaiannya basah. Ia pun langsung melepaskan pelukannya itu dan menatap putri semata wayangnya itu dengan intens.

Saat ini dihadapannya Ibu Via melihat Via dengan mata yang membengkak, hidung memerah dan juga keringat yang keluar dipelipisnya. Melihatnya saja ia benar-benar khawatir, sebenarnya apa yang terjadi dengan putrinya itu, pikir Ibu Via.

"Vivi, kenapa nangis? Hm, kenapa? Ayo, sini cerita sama Ibu. Ada yang bikin Vivi sedih? Siapa orangnya? Mana? Sini bilang sama Ibu."

Ibu Via memberikan beberapa pertanyaan, sedangkan Via hanya diam sembari menatap Ibunya itu dengan perasaan takut. Via benar-benar yakin jika itu hanyalah mimpi, ia juga meyakini Ibunya itu tidak pernah marah seperti dalam mimpinya.

Sebagai seorang Ibu, ia merasa cemas luar biasa melihat anaknya seperti ini. Benar-benar bingung karena tak tahu apa yang tengah terjadi dengan Via, anaknya. Akhirnya Ibu Via memilih menunggu Via berhenti menangis lebih dulu, membiarkannya untuk meluapkan perasaannya.

Beberapa menit kemudian, akhirnya Via pun berhenti menangis. Ibu Via yang melihatnya pun tersenyum, lalu mencium kening Via dengan lembut. Kemudian turun ke kedua matanya, lalu hidung dan terakhir dikedua pipinya.

"Udah tenang sekarang?" Tanya Ibu Via lembut dengan kedua tangannya yang sedari tadi menangkup wajah Via.

Via hanya diam dan menjawabnya dengan sekali anggukan. Wajahnya masih murung, tetapi ia berhasil meredakan tangisnya itu.

"Boleh Ibu minta sesuatu sama Vivi?"

"Apa?"

"Cerita sama Ibu,"

"Cerita apa?"

"Kenapa nangis?" Via yang mendengarnya langsung menundukkan kepalanya sembari memainkan kedua tangannya itu.

"M-mimpi." Jawab Via dengan sesenggukan. Ia kemudian menghapus sisa-sisa air matanya itu dengan lembut dan sayang.

Ibu Via dengan sabar menunggu putrinya itu menjelaskannya sendiri. Ia tersenyum melihat Via yang menunduk, "Jangan nunduk ah, Ibu disini bukan dibawah." Peringat Ibu Via dengan lembut.

"M-maafin Via." Ujar Via. Sepertinya saat ini bukan waktu yang tepat bagi Via untuk menjelaskannya. Ia pun membawa Via kedalam pelukannya lagi, mengelus punggungnya dengan lembut, ternyata Via kembali menangis.

Begitu terasa sekali bahwa tubuh Via bergetar, ia yakin jika Via kembali menangis. Seketika pikirannya langsung tertuju pada trauma Via, ia langsung mengerti dan menyangka bahwa Via menangis karena mimpi dimasa lalunya itu.

"Shh, Sayang, udah ya. Jangan nangis lagi, cup... cup..." Ibu Via berusaha menenangkan Via. Hatinya ikut sakit jika melihat Via menangis seperti ini.

"Bagaimana bisa aku pergi nanti malam, jika keadaan putriku saja sedang seperti ini?" Bati Ibu Via sembari memejamkan matanya.

Entah kenapa Ibu Via merasa tubuh Via berat dalam pelukannya itu, ia menjadi khawatir jika terjadi sesuatu pada putrinya. Ia sedikit menundukkan kepala untuk melihat wajah Via. Ternyata Via pingsan, ia pun langsung menggendong Via kembali ke kamarnya.

Dengan perasaan cemas, ia buru-buru membaringkan tubuh Via ke atas tempat tidur miliknya sendiri. Ia mengecek suhu tubuh Via yang sedikit panas, "Ya ampun, Vivi. Kenapa jadi kaya gini?" Ibu Via menitikkan air matanya, ia sudah benar-benar tak bisa menahan kecemasannya lagi.

Tanpa pikir panjang, Ibu Via pun mengetikkan sesuatu pada ponselnya itu, memanggil seorang dokter agar segera datang ke Rumahnya. Ia bahkan sudah tak ingat dengan pertemuannya nanti malam dengan mantan Suaminya itu. 

Baginya, Via adalah yang terpenting dalam hidupnya. Putrinya segala-galanya untuknya, maka dari itu ia tak ingin terjadi sesuatu dengan Vianya itu.

Ibu Via yang tengah duduk ditepi ranjang pun, kini menggenggam tangan kanan Via dengan erat, sesekali menciumnya. Bahkan sedari tadi tak henti-hentinya menangis, tak kuasa melihat wajah pucat Via.

"Putri Ibu, bangun. Vivi itu anak Ibu yang kuat, kamu gak boleh sakit, harus sembuh." Ujar Ibu Via.

Ibu Via menatap pintu kamar Via yang sedari tadi belum ada tanda-tansa kedatangan Dokter yang datang. Ia sudah benar-benar tak sabar, ingin memastikan keadaan Via.

Akhirnya ia pun bernafas lega ketika mendengar suara mobil yang memasuki pekarangan Rumahnya. Ibu Via langsung berlari menuju pintu utama rumah dengan senyum mengembang berharap itu benar-benar Dokter.

Saat pintu dibuka, senyuman itu pun meluntur. Tubuhnya menegang, jantungnya berdegub kencang saat ini. Hatinya yang sesak pun semakin sesak ketika melihat yang ada dihadapannya saat ini.

Ibu Via menggelengkan kepalanya, matanya tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Entah kenapa ia ingin menangis saat ini juga ketika melihatnya.

Dan, saat itu juga Ibu Via langsung menangis histeris.


CREATORS' THOUGHTS
giantystory giantystory

Pagi readers,

Via kasian ya, dia nyangka kalau itu cuma mimpi. Sedangkan Ibu Via menyangka kalau Via kembali bermimpi karena traumanya. Menurut kalian gimana?

next chapter
Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C19
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login