Download App
37.5% Let Go (Omegaverse) / Chapter 18: Sleepover

Chapter 18: Sleepover

"Lenny jangan pergi."

Dengan hati-hati aku melepaskan pelukan Nuri di kakiku. Aku kemudian berjongkok. Wajah mungil itu memerah karena menangis. Dengan pelan aku mengusap air mata yang kini sedang bercucuran.

"Jangan sedih, besok Lenny ke sini lagi. Lenny janji." Ku kecup kening Nuri lembut.

Tidak tega memang meninggalkan Nuri. Tapi aku sedang butuh waktu untuk berpikir dan menata hatiku.

Aku pun berdiri. Mengatur posisi ranselku agar nyaman di pikul. Nuri kini sedang medekap kedua kaki daddynya sambil merengek meminta laki-laki itu untuk menghentikanku. Eckart kemudian menggendong Nuri, mencoba menenangkan bocah kecil lucu itu dari tangisannya.

"Jangan mendekatiku." Ujarku menghentikan Eckart sebelum dia mendekat.

"Lennox, aku tahu aku salah, aku minta maaf dan-." Ujarnya

Aku mengeleng, "Tolong beri aku waktu."

"Lenny.." Panggil Nuri sambil masih terisak.

Aku yang ingin memeluk bocah mungil itu mengurungkan niatku. Aku menatapnya dengan perasaan yang tidak bisa kulukiskan.

"Aku pergi dan tolong jangan mengantarku keluar."

Aku menyelesaikan kata-kataku dan pergi berlalu meninggalkan mereka berdua disana.

Sebenarnya hatiku sakit melihat reaksi Nuri tadi. Tapi, kalimat Eckart di halaman belakang tadi sungguh menyakiti hatiku. Mungkin aku terlalu emosional karena beberapa hal tak terduga terjadi padaku, tapi kalaupun tidak, aku tetap pasti akan tersinggung.

Aku memang omega, tapi aku tidak murahan. Aku bukan omega yang membukakan kedua kakiku demi merasakan nikmatnya penis kekar para alpha brengsek di luar sana. Aku tidak seperti itu.

Setelah keluar dari rumah Raymond langsung menyambutku. Dia tidak bertanya apapun, tidak juga berbicara. Selama perjalanan menuju apartemen Raymond kami berdua hanya diam.

Bahkan sampai saat sekarang aku duduk termenung di depan televisi, aku belum menjelaskan apapun pada Raymond. Aku yakin kepalanya sudah dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Tapi dia tidak bertanya apapun dan tidak juga melakukan apapun agar aku membuka mulutku dan berbicara.

"Makanlah." Ujar Raymond sambil meletakkan dua porsi katsudon di atas meja tepat di depanku.

Raymond kemudian duduk di sebelahku. Aku yang sejak tadi mengikuti gerak-geriknya tidak memberikan komentar apa-apa. Raymond menoleh ke arahku.

"....."

"Apa?" Tanyanya.

"Apa aku murahan?" Tanyaku.

"Siapa yang bilang kamu murahan?" Wajahnya terlihat kesal.

"Tidak, cuma tanya." Aku mengalihkan pandanganku.

Tanganku menangkup mangkuk besar yang berisikan nasi, chicken katsu, telur dan pelengkap lainnya, meletakkannya di atas pahaku dan kemudian meraih sumpit yang juga di letakkan di atas meja.

"Ayo makan, aku lapar."

Raymond hanya menghela nafas. Tidak berkomentar apa-apa. Tidak juga memaksaku untuk berbicara lebih lanjut.

Kami makan dalam keheningan. Hanya terdengar suara renyah kulit pembungkus katsu yang di gigit dengan kasar, dentingan sumpit stainless yang beradu dengan mangkuk serta suara televisi yang masih menyala.

Raymond selesai lebih dulu. Dia bangkit sambil membawa mangkuk kosongnya dan tak lama kembali dengan satu gelas air putih di tangan kirinya dan sekaleng bir di tangan kanannya.

Gelas berisi air di letakkan di atas meja. "Untukmu." Ujarnya.

"Terima kasih." Aku berterima kasih dan kembali melanjutkan makanku.

Mangkukku kini sudah kosong, aku memegang mangkukku dengan satu tangan dan tangan satunya lagi meraih gelas yang tadi di letakkan di atas meja. Aku menenggak habis air dingin itu tanpa bersisa, seperti musafir yang belum minum seharian.

Raymond mengambil mangkuk beserta gelas kosongku tadi dari tanganku. Aku yang ingin protes terdiam setelah melihat tatapannya yang dingin. Aku tidak tahu kenapa Raymond menatapku seperti itu.

Raymond meninggalkanku sendiri. Aku kemudian meringkuk, memeluk kedua lututku dan menenggelamkan kepalaku di sana. Telingaku menjadi lebih sensitif karena aku tidak dapat melihat sekitarku. Suara dentingan alat dapur yang beradu serta kucuran air menandakan Raymond sedang beres-beres disana.

Seperti orang tidak tahu diri memang, minta dijemput, diberikan tempat tinggal, diberi makan juga, bahkan alat makanpun dicuci oleh orang lain.

Suara dentingan yang tadi ramai kini sudah berhenti sepenuhnya. Kucuran air itupun berhenti. Langkah kaki yang santai terdengar mendekat.

"Kapan mau bicara?" Tanya Raymond yang kemudian kembali duduk di sampingku.

Aku menoleh ke arahnya. "Apa aku murahan?" Tanyaku lagi.

Raymond menggeram, "Siapa yang bilang kamu murahan?"

"Bukan siapa-siapa. Jawab saja, ya atau tidak."

"Tidak, kamu tidak murahan sama sekali." Jawabnya dengan nada kesal. "Dan katakan, siapa yang bilang kamu murahan?"

"Tidak ada. Aku hanya bertanya saja."

Raymond mendengus kesal, "Ayolah, aku bukan mengenalmu satu dua hari saja."

"Tapi janji dulu."

"Apa?"

"Janji ya?"

"Janji apa dulu?"

"Jangan marah, jangan emosi dan jangan menyalahkan siapapun. Janji?" Aku mengulurkan salah satu tanganku sambil mengacungkan jari kelingkingku.

Raymond yang seperti terpaksa itu menautkan jari kelingkingnya. "Iya, iya."

"Tidak terlihat tulus sama sekali." Aku menggembungkan pipiku kesal.

"Iya janji. Tidak marah, tidak emosi dan tidak akan menyalahkan siapapun. Puas?"

Aku pun tertawa melihat tingkah laku Raymond dan melepas tautan jari kelingking tadi.

"Karena kamu sudah janji, jadi aku akan mengatakan yang sebenarnya."

"Cepatlah, kamu bisa membuatku mati penasaran."

Aku membaringkan kepalaku di atas kedua lututku yang masih kutekuk dan kupeluk, menoleh ke samping agar aku bisa menatap raut wajah Raymond yang kini sangat menggemaskan. Aku selalu senang melihat wajah penasaran itu.

"Aku bertengkar dengan Eckart dan dia menyebutku omega murahan."

Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Emosiku tidak stabil tapi entah kenapa kalimat itu terdengar sangat normal, bahkan terkesan dingin.

Raymond yang tadinya bersandar pada sofa kini duduk dengan tegak sambil menghadap ke arahku. Matanya terbelalak dan mulutnya sedikit terbuka. Seperti tidak percaya dengan apa yang aku katakan.

"...."

"....?"

"Kamu bercanda kan?" Tanyanya.

"Tidak, untuk apa aku bercanda."

"Eckart sialan." Umpatnya.

Tangannya mengepal, rahangnya mengeras, aku tahu Raymond sedang menahan emosinya.

Kupeluk tubuh Raymond secara tiba-tiba hingga membuatnya terjatuh kebelakang dan kini membuat posisiku berada tepat di atasnya. Aku memegang dada Raymond lembut sambil mendongak menatap wajah marah Raymond.

"Jangan marah tadi kan sudah janji, lagi pula aku sudah tidak apa-apa."

Raymond menatapku dengan tatapan tidak percaya, "Bohong, tidak apa-apa, selalu seperti itu."

"Jangan buat aku bad mood." Ujarku sambil kemudian menggembungkan kedua pipiku.

Raymond menghela nafas, "Iya, iya, maaf. Jadi sekarang mau apa?"

"....?" Aku menatapnya bingung.

"Ya, mau apa biar tidak bad mood lagi?"

"Nonton, ayo kita movie marathon." Ujarku dengan nada riang. Namun, sedetik kemudian aku teringat Raymond pasti ada kerjaan malam ini, mengingat sebelum menjemputku dia sedang di restonya.

"... Tidak jadi, aku mau tidur saja." Ujarku lemas.

Aku tadinya ingin melepas pelukanku kini di tarik kembali ke dalam rangkulan Raymond.

"Kenapa tidak jadi dan malah tidur? Ayo kita movie marathon."

Aku kembali mendongak dan menatap wajahnya, "Kamu pasti ada kerjaan di resto dan-"

Raymond mencubit pipiku gemas. "Aku pemiliknya jadi aku boleh tidak bekerja kapan saja aku mau."


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C18
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login