Download App
10.41% Let Go (Omegaverse) / Chapter 5: Jealousy

Chapter 5: Jealousy

"Kamu dimana sih? Lama bener."

"Bentar lagi nyampe, sabar dong."

"Aku udah nunggu lama di luar, dingin tau."

"Lagian, siapa suruh nunggu di luar... Oh aku udah liat kamu."

Tutt.. Tutt...

Sambungan telpon terputus seiring dengan kedatangan mobil hitam tepan di depanku. Kaca mobil di turunkan dan aku bisa melihat wajah kesal Raymond. "Buruan naik."

Aku membuka pintu mobil dan masuk dengan perasaan yang sama kesalnya dengan Raymond. Bam..! Aku menutup pintu mobil dengan kesal juga supaya Raymond tahu aku kesal karena harus berdiri lama di luar dan kedinginan.

"Hey! Yang harusnya kesel itu aku. Kamu tau gak ini jam berapa?"

Aku tidak peduli dengan perkataan Raymond, aku justru fokus menggunakan sabuk pengaman demi keamanan dalam berkendara.

"Kamu gak denger kan aku bilang apa?"

"Denger, denger, ayo kita jalan." Ujarku acuh.

Raymond menjalankan mobilnya. Setelah beberapa menit, Raymond menoleh ke arahku sebentar dan kemudian kembali melihat ke depan. Raymond mendekatkan tangan kanannya ke dahiku, dia mengecek suhu tubuhku sebentar dan menarik tangannya lagi.

"Sepertinya kamu masih belum normal, aku juga masih bisa nyium feromonmu walau agak samar."

Aku meraba dahiku sendiri, "Hmmm... Sepertinya kamu benar."

"Lagian tiba-tiba gitu sih? Kan belum jadwalnya?"

"Aku kecapean kali, soalnya beberapa hari ini kan aku sibuk tuh sama kerjaanku. Aku ga cukup tidur pas malem, jadi-" Aku menghentikan kalimatku.

Tunggu, ada yang tidak beres, "Kok kamu bisa tau sih jadwal heatku?"

"Kamu pikir udah berapa lama aku nolongin kamu, hah? Aku nandain jadwal heat kamu buat jaga-jaga."

"What? Kamu nandain jadwalku? Kamu kan bukan pacar aku Ray?"

"Aku memang bukan pacar kamu, but we do have sex, over and over again whenever you get that damn heat."

"Damn!"

"Udahlah, ga usah di bahas, So, sampe kapan kamu bakal tinggal disana?"

"Gak tau." Jawabku kesal.

Raymond menghela nafas, "Jadi kita mau kemana nih?"

"Terserah."

"Hmmmm... Kalau gitu kita ke tempatku aja ya?"

"Kan aku bilang terserah." Jawabku tidak peduli. Aku benar-benar tidak peduli Raymond membawaku kemana, aku sudah bersyukur malam ini tidak perlu tidur di kamarku.

"Apa kita perlu beli kondom dulu?" Ujar Raymond menggodaku.

Aku menghela nafas, "Kita gak akan having sex, lagian besok pagi-pagi banget aku harus langsung pulang dan aku gak mau Eckart marah karena nyium feromon kamu di badanku." Jawabku asal.

Raymond tiba-tiba menghentikan mobilnya. "Kamu bilang apa?!" Raymond setengah berteriak.

Aku menoleh, "Kamu gila apa ngerem tiba-tiba." Ujarku marah.

Melihat reaksiku, Raymond menjalankan mobilnya kembali dan kemudian berhenti untuk menepi. Kenapa sih semua orang membuatku emosi hari ini? Pikirku.

Setelah mobil benar-benar berhenti, Raymond mengubah posisi duduknya dan sekarang dia sedang menghadap ke arahku.

"Coba jelaskan maksud kalimat kamu tadi?"

Aku menoleh, "Yang mana?" Ujarku dengan nada kesal.

"Gak usah pura-pura bego, kalimat yang tadi, yang kamu gak mau Eckart marah karena nyium feromonku di badan kamu dan juga sejak kapan kamu peduli sama alpha lain nyium feromonku di badan kamu?"

"Aku peduli sejak Eckart marah karena bau feromonmu ada di setiap sudut di rumahnya."

"HAH?!" Raymond tidak percaya dengan perkataanku. "Dia marah?"

"Ya, dia marah bahkan sampe gak bisa atur emosinya dan ngeluarin feromon yang hampir ngebuat aku mabuk."

Raymond menghela nafas panjang, "Aku kira dia udah berubah."

"Maksud kamu? Berubah gimana?"

"Kamu ingatkan tadi siang aku nanya ke kamu, kamu yakin mau ngelakuin itu di rumah dia, terus kan kamu jawab iya. Aku kira kamu udah tau Eckart gak suka ada feromon alpha lain."

Aku yang mendadak jadi orang idiot sejagat raya cuma bisa terdiam. Bodoh sekali, pikirku. "Tapi, bukannya kalian sepupu ya? Kan harusnya gak keganggu sama feromon sesama kerabat?"

Raymond menepuk jidatnya, "Lennox Selim, i told you before that we aren't blood-related. He's my uncle's stepson."

Dan seperti tersadarkan oleh perkataan Raymond, seluruh kejadian hari ini terulang kembali di kepalaku dan benar, Raymond menanyakan itu padaku berkali-kali via telpon sebelum dia datang menolongku dengan "heat" ku yang datang tiba-tiba. Aku juga ingat kapan hari Raymond pernah bercerita tentang Eckart kepadaku.

Tapi kenapa? Kenapa aku melewatkan hal penting seperti itu. This damn heat!

Aku menatap lurus kedepan sambil mengatur emosiku. Aku tidak percaya dengan diriku sendiri.

"Ayo, kita cari tempat makan fast food aja." Raymond menjalankan kembali mobilnya.

Setelah sekian lama mengitari jalanan yang sudah sepi, akhirnya kami berhenti di salah satu resoran fast food ternama yang tak jauh dari sekolah Nuri.

Sebelum keluar dari mobil. Raymond mendekatkan tubuhnya padaku. Wajah kami semakin dekat dan dengan lembut Raymond memagut bibirku. Aku yang dengan kondisi belum stabil membalas ciuman hangat Raymond dengan senang hati.

Namun, sebelum semuanya berakhir ke suatu yang yang diinginkan, Raymond menyudahi ciuman hangat kami dan kembali ke posisi semula. Sedangkan aku, terpaku dengan nafas terengah-engah.

"Maaf." Suara Raymond memecahkan kesunyian, "Aku masih bisa mencium feromonmu, jadi aku menutupinya dengan feromonku."

Setelah berkata seperti itu, Raymond bergegas keluar dari mobilnya, meninggalkanku sendiri dengan keadaan yang masih belum stabil sama sekali.

Tak lama kemudian aku keluar dari mobil dan menyusul Raymond.

Kami sudah berdiam di sini selama satu jam setengah hanya dengan memesan dua burger, dua cola dan tiga porsi french fries.

Ponsel yang kuletakkan di atas meja tempat kami duduk sekarang berdering. Aku melirik nama yang tertera pada layar ponselku. Dan sepertinya Raymond juga melakukan hal yang sama.

"Angkatlah." Ujar Raymond ketus.

Akupun mengangkat panggilan itu.

"Hallo."

Sapaanku disambut dengan kalimat yang tidak menyenangkan. Aku melirik Raymond.

"Aku di luar bersama Raymond."

"..."

"Baiklah. Aku lagi di fast food dekat pom bensin. Tidak jauh dari sekolah Nuri."

"..."

"Iya, yang di perempatan itu."

"...."

"Oke."

Panggilan terputus. Aku menghela nafas berat.

Raymond menatapku, menuntut penjelasan dariku. Akupun menjelaskan padanya secara singkat. Intinya Eckart akan menjemputku sekarang juga dan aku menyanggupinya mengingat pertengkaran yang baru saja terjadi. Aku tidak ingin memperkeruh keadaan. Akan sangat canggung sekali jika dua orang dewasa yang tinggal satu atap saling memendam amarah.

Tak butuh waktu lama, Eckart sudah memasuki restoran fast food tempat kami berdiam sekarang. Setelah mengedarkan pandangan keselilingnya, kedua mata kami bertemu.

Dengan langkah cepat Eckart berjalan ke arahku dan aku yang menyadari gelagat tidak menyenangkan Eckart, aku langsung berdiri dan berpamitan pada Raymond, tidak lupa juga mengucapkan terima kasih atas traktirannya.

Namun, Raymond malah ikut berdiri dan kemudian mengecup bibirku cepat. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya.

"Hati-hati." Ujarnya lembut.

Aku yang masih mencerna kejadian barusan merasakan tanganku di tarik paksa. Dan tanpa basa-basi Eckart menyeretku keluar dan meninggalkan Raymond sendiri.

Aku mengikuti langkah kakinya yang besar dengan kesusahan. Bahkan, cengkraman pada pergelangan tanganku ini mulai terasa sakit. Aku tahu, Eckart sekarang sedang marah, tapi kenapa? Kenapa Eckart semarah ini?


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C5
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login