Sudah empat bulan sejak aku mengetahui kehamilanku. Kondisiku semakin membaik, aku tidak pernah mual lagi. Cuma sekarang aku jadi semakin banyak makan dan semakin cepat lapar. Aku juga semakin sering menginginkan makan ini-itu. Lebih parah lagi, kadang keinginan itu datang ketika sudah larut malam.
Karena semakin meningkatnya permintaan aneh dariku, akhirnya Raymond memutuskan untuk mengisi penuh kulkasnya dengan berbagai macam bahan makanan. Bahkan kabinet dapur juga penuh terisi dengan bahan makanan yang bersifat kering. Jadi, ketika aku ingin makan sesuatu, Raymond tinggal memasaknya saja. Dan hebatnya lagi, stok ini seperti tidak berkurang sama sekali. Aku sampai curiga apakah kulkas dan cabinet di penthouse ini infinite?
Selain perubahan pada diriku, kebiasaan Raymond juga mulai berubah. Sejak morning sicknessku pergi jauh, biasanya dia berangkat menjelang siang hari, pulang sebentar untuk memasakkan makan malam dan pergi lagi, pulang-pulang sudah larut malam. Kini setiap hari dia berangkat sekitar pukul delapan pagi, pulang sebelum makan malam dan tidak kembali lagi.
Ngomong-ngomong soal Raymond, setelah pembicaraan tentang siapa anak bayi yang ada di perutku waktu itu, baik aku maupun Raymond sudah tidak pernah membahasnya lagi. Kami sepakat untuk tidak membahasnya hingga mereka lahir.
"Hey Lennox." Panggil Lyra ynag membuyarkan lamunanku.
"Hmm."
"Check up nanti ditemani Mama?"
Aku menoleh dan kemudian menggelengkan kepalaku, "Raymond, aku pergi dengannya."
Percaya atau tidak, ini pertama kalinya Raymond menawarkan diri untuk menemaniku check up. Biasanya dia selalu bilang, sibuk atau sedang banyak pekerjaan.
"Waah, ditemani suami ternyata." Goda Lyra.
"Jangan menggodaku. Dan Raymond juga bukan suamiku."
Hari ini Lyra mengunjungiku dan menemaniku agar tidak kesepian. Berada di penthouse sebesar ini sendirian sangatlah tidak menyenangkan. Jadi orang-orang terdekatku secara bergantian mengunjungiku.
Kadang Mama, kadang Louise kalau dia tidak sibuk dengan kuliahnya, Lyra juga sesekali datang menemaniku kalau sedang tidak sibuk mengurus butiknya. Kadang Nuri juga datang kesini, Eckart menitipkannya padaku saat yang menjaganya sedang berhalangan. Tapi ada saatnya mereka semua tidak bisa datang dan itu membuatku merasa kesepian.
"Setelah keponakanku lahir, menikahlah dengan Raymond."
"Entahlah, aku belum memikirkan sampai pernikahan."
"Hmmm.."
"Masih ada sekitar tiga bulan lagi untuk memikirkannya."
"Dia sudah menandaimu?" Tanya Lyra.
Aku menggeleng, "Belum. Aku yang me-"
"Raymond sialan." Potong Lyra.
Aku melemparkan bantal kecil yang sejak tadi aku peluk dan tepat mengenai wajah Lyra. "Jangan mengumpat, anak-anakku bisa mendengarnya." Ujarku kesal.
"Tapi dia benar-benar breng- ah, shi-"
"Aku yang memintanya. Bisa kamu bayangkan bagaimana perasaannya jika ternyata anak yang aku kandung ternyata bukan anaknya?" Ucapku memotong kalimat Lyra sebelum dia mengumpat lagi.
"Tapi sepertinya dia tidak masalah dengan siapa ayah dari anak-anak itu dan aku rasa dia menyayangimu."
"Bukan hanya masalah siapa yang jadi ayahnya Kak. Aku tidak ingin ditandai karena bekas itu akan selalu ada, hingga aku ataupun dia mati. Tidak ada alpha yang mau menerima omega yang sudah ditandai. Aku lebih baik seperti ini, tanpa tanda hingga aku nanti menemukan alpha yang mau menerimaku dan juga anakku. Dan lagi, bagaimana jika dia bertemu dengan fated pairnya?"
Setelah aku menyelesaikan kalimatku, Lyra langsung memelukku erat. Dadaku terasa penuh dengan emosi yang tidak dapatku luapkan. Sesak dan juga menyakitkan. Ingin rasanya aku menangis tapi hari-hariku saat ini terlalu membahagiakan untuk ditangisi.
Drrtt... Drrtt...
Terdengar getar ponsel diikuti dengan alunan lagu kesukaanku.
"Ponselmu." Ujar Lyra sambil melepaskan pelukannya.
"Ah, iya." Aku beranjak dari sofa tempat aku duduk untuk mengambil ponselku di meja makan.
Memang tidak jauh dari area ruang keluarga, tapi tetap saja. Aku harus mengeluarkan usaha untuk berjalan ke sana.
Ah menyebalkan, aku berjalan semakin lambat. Karena diusia kandunganku saat ini aku semakin sering merasakan sakit pada area pinggangku. Terutama setelah duduk berlama-lama di sofa seperti tadi.
Selain sakit pinggang, perutku juga sudah membesar dan rasanya semakin berat saja. Kata orang-orang ini hal yang wajar, karena aku sekarang sedang membawa dua nyawa dalam perutku, aku sedang hamil anak kembar.
"Hallo."
"Aku sebentar lagi sampai, minta tolong Lyra untuk mengantarmu ke bawah."Ujar Raymond dari seberang.
"Aku kira kamu yang jemput aku ke atas." Gumamku pelan.
"Kamu bilang apa? Jangan berkumur-kumur seperti itu."
"Tidak apa-apa. Aku siap-siap sekarang."
"Jangan lupa pakai coat yang tebal, syal, topi, dan earmuff. Sarung tangan juga. Bawa juga apel yang sudah aku potong di wadah kecil yang di dalam kulkas. Siapa tau kamu nanti lapar pas sedang menunggu."
"Iya, iya. Cerewet sekali. See you soon."
"See you baby."
Akupun mengakhiri panggilan tersebut. Pipiku entah kenapa memanas dan sepertinya kupu-kupu sedang berterbangan di perutku sambil mengelilingi bayi-bayiku di dalam sana.
"Cieee.. Yang check up sama papanya para bayi." Goda Lyra yang ternyata sejak tadi sedang mengamatiku.
"Siapa yang papa?" Tanyaku sambil malu-malu.
"Ahahaha..." Lyra hanya tertawa.
Aku meninggalkan Lyra yang masih tertawa dengan perasaan malu. Aku entah kenapa merasa seperti anak remaja yang baru saja tertangkap basah telah menghubungi pacarnya.
Tak perlu memakan waktu lama, kini aku sudah memakai coat coklat tebal, syal berwarna hitam, earmuff dengan bulu-bulu lembut yang berwarna senada dengan coatku. Tidak lupa juga membawa sarung tangan yang ku selipkan di kantong terluar coatku. Aku tidak memakai topi, karena buat apa, aku kan sudah pakai earmuff. Aku juga mengenakan winter boots berwarna hitam.
Tidak lupa juga membawa tote bag putih yang sudah aku isi dengan sebotol air putih dan juga wadah kecil berisi potongan apel.
Aku akhirnya keluar dari gedung setinggi lima belas lantai yang menjadi tempatku bernaung saat ini. Gedungnya tidak mewah dan tidak juga berada di pusat kota. Tapi aku aku merasa nyaman tinggal disini.
Bersama dengan Lyra, kami berjalan beriringan menuju area pakir. Raymond sebenarnya memaksaku untuk menunggu di depan gedung saja, tapi aku ingin sesekali mengantar siapapun itu, pulang hingga parkiran. Hitung-hitung olahraga juga.
Aku bisa melihat Raymond berdiri sambil bersandar di mobilnya dan sepertinya dia juga melihatku. Raymond kemudian berlari mendekat.
Raymond kemudian memelukku dan mengecup bibirku. "Aku bilang tunggu di depan saja. Hari ini dingin sekali."
"Ehem.." Lyra berdeham.
Aku melepaskan pelukan Raymond dan memukul dadanya manja, "Malu, di lihat Lyra."
Raymond tertawa, "Aku lupa, ternyata ada nyamuk di sini."
"Dan nyamuk ini yang menemani kucing kesayanganmu ini seharian. Berterima kasihlah padaku." Jawab Lyra acuh.
"Ya, ya, ya, terima kasih kakak ipar." Ucap Raymond dengan nada malasnya.
"Sudah, sudah, aku mau pulang dulu, kalian hati-hatilah di jalan. Tolong jaga adikku dan jadilah adik ipar yang baik."
Lyra pun pergi setelah berpamitan. Meninggalkan aku dan Raymond yang masih berdiri dan tak berpindah sama sekali.
"Nah, ayo kita juga berangkat." Ucap Raymond sambil menggenggam tangan kananku dan kemudian dimasukkan ke kantong coatnya yang sama tebalnya dengan punyaku. Rasanya hangat sekali, baik itu genggaman Raymond maupun di dalam hatiku.
Kami berjalan beriringan, Raymond mengimbangi langkahku yang lamban. Bukan keinginanku berjalan lamban seperti ini. Ingat, aku sedang hamil dan pergerakanku menjadi lamban sekali.
"Ray." Panggilku lembut.
"Mmn, ada apa?"
Aku menoleh ke arah Raymond dan sedikit mendongak agar dapat melihat wajahnya. Entah kenapa wajah Raymond semakin hari, semakin terlihat tampan. Kulitnya putih, hidungnya mancung, matanya berwarna abu-abu tua, garis wajahnya tegas. Dan pipinya kini sedang memerah karena cuaca yang dingin.
"Terima kasih." Ucapku tulus.
Raymond menoleh ke arahku dengan sedikit menunduk dan aku pun menghentikan langkahku. Mau tak mau Raymond juga ikut berhenti. Dengan sedikit berjinjit, aku mendaratkan ciuman singkat di bibirnya.
"I-i think i love you." Bisikku.