Vincent menerobos masuk kamar itu. Dia terkejut melihat dua manusia tidur berpelukan dengan kondisi tanpa busana. Mendadak, dia merasa jengah. Tetapi ketika dia akan menutup pintu, Damar terbangun.
"Oh, Vincent!"
Vincent melengos,"Kutunggu di luar!"
Damar menemui Vincent yang sedang minum bir kaleng di ruang tamu. Mereka duduk berseberangan namun tegang. Damar menjadi gugup, dia merasa malu karena dipergoki sahabatnya telah bercinta dengan Citra.
"Maaf Vin, aku..." Damar menggaruk-garuk kepala.
Vincent meremas kaleng birnya dengan marah,"Aku suruh kau menjemput dan menjaganya, Dam. Bukan menidurinya!"
"Eh," Damar tercekat. "Semua terjadi begitu saja."
"Otakmu saja yang kotor!"
"Vin..."
"Kan kamu tahu itu cewek lagi ada problem? Kok ditambahin sih masalahnya?"
"Iya, aku..."
"Dan dia masih perawan tadinya, Dam. Dia bukan cewek-cewek murahan yang pernah kau bawa ke rumah ini!"
Damar menghela nafas berat. Dia tak mampu membantah, seprai sudah bernoda merah dua hari lalu. Citra menangis kesakitan. Tetapi ujungnya malah ketagihan, sehingga mereka terus bermesraan sampai dipergoki Vincent.
"Aku benar-benar mencintainya, Vin. Aku pasti akan bertanggung jawab."
"Kawini dia!"
"Vin!" Citra berteriak, dia berdiri dengan tubuh dibalut selimut. Damar panik dan segera mendekatinya, tetapi Citra malah menepisnya. Dia malah mendekati Vincent dengan berurai air mata. "Aku minta maaf, Vin..."
Vincent menggeleng,"Aku tak melarangmu mau bercinta sampai mati dengan Damar. Aku cuma khawatir ini jadi masalah baru. Belum kelar masalah si lesbian Kencana, malah nambah masalah baru."
"Aku tahu," Citra tertunduk lesu."Tetapi ini semacam pelarian dari rasa sakit."
"Pelarian?" Vincent tertawa lirih."Kau hanya lepas dari kandang singa, terus nyasar masuk mulut buaya!"
"Kau pernah bilang, jika aku lebih cocok bersama Damar!"
"Ya, bukan berarti sampai sejauh ini. Tidur berdua! Kalau hamil gimana?"
Citra mengangkat bahu,"Paling kawin, beres kan?"
"Tapi kau masih sekolah, bodoh!".
"Jangan bertingkah menjadi papaku, ya Vin! Bapakku saja tak peduli."
"Bagaimana dengan mama kamu?"
"Dia sibuk mau ke Amerika!" Teriak Citra, sebelum berbalik untuk masuk kamar, di mana di depan pintunya ada Damar yang sedang menyalakan rokok.
Vincent mengernyitkan dahi, "Dia masih kelas sebelas, Dam! Asal kau tahu, aku menyesal telah membuat kalian bersatu lagi. Kepikiran aja jika masa depannya bakal suram karenamu!"
Damar menghembuskan asap rokok, lalu menutup pintu kamar saat Citra sibuk memakai celana dalam. Lalu dengan tenang, dia memberi kode pada Vincent untuk bicara di luar. Meski masih marah, pemuda itu tidak menolak.
Taman, menjadi tempat pilihan Damar. Lokasi di mana mereka sering minum sambil ngobrol santai. Di meja taman ada kursi dan meja yang di atasnya ada lima kaleng bir.
"Aku tahu kau peduli, Dam. Tetapi jangan sampai masuk ke area pribadi kami," tegas Damar sembari membuka kaleng bir. "Setidaknya bisa kau ingat, bahwa ide untuk kembali bersamanya adalah berawal darimu."
"Butuh ada yang di salahkan ya," sindir Vincent sinis. "Hanya karena sebuah candaan, kau merasa aku harus bertanggung jawab. Otakmu hilang? Konyol sekali."
"Bukan begitu. Aku cuma berharap, kau dapat berusaha untuk mengerti."
"Kalau urusan sekolah, aku tidak bisa mengerti. Kau jahat sekali merusak anak SMA, lho..."
"Tidak merusak. Kami saling suka, tak ada paksaan!"
Vincent tak bicara, dia bangkit dan meninggalkan Damar dengan marah. Saat kembali ke rumah, dia melihat maminya sedang menghidangkan sop kacang merah kesukaannya di atas meja. Wanita tua itu tersenyum, dan mengajak anaknya untuk makan sore.
"Tapi aku tidak berselera Mami," keluh Vincent, saat duduk di meja makan.
"Kenapa?" Tanya wanita itu, sembari duduk di hadapan anaknya."Apa yang mengganggu pikiranmu, sayang?"
Vincent mendengus kesal,"Mami, si Citra tinggal sekarang sama Damar di rumah sebelah. Dia kehilangan keperawanannya, dan pasti juga bakal tidak beres sekolahnya."
Maminya Vincent menghembuskan nafasnya,"Biarkan saja, dia tak bisa diurus. Anak gadis nakal korban perceraian orangtua. Citra bukan tanggung jawab kita, anak itu urusan orangtuanya!"
"Aku hanya kasihan padanya."
"Kamu sudah menasehatinya pasti, jadi sekarang saatnya untuk diam."
"Tapi, Mi..."
Mami Vincent tak menanggapi, dia menyendok nasi ke piring di depannya untuk dimakan dengan sup kacang merah dan ayam goreng. Melihat itu, Vincent jadi ikut makan.
***
Ken bengong. Kamar kost-nya udah kosong. Tak ada lagi Citra di sana, bahkan baju-baju gadis itu. Empat hari terkapar sakit usai dihajar Papanya, Ken nekat kabur mencari Citra. Tetapi dia malah terluka.
"Sudah dijemput sama Mas Damar yang artis ganteng itu," kata Murni, tetangga kost-nya. "Dulu dengar-dengar gosip di TV, Damar pernah bilang kalau cinta sejatinya bernama Citra. Berarti mereka balikan dong?"
Ken tak menyahut, dia langsung pergi. Dia merasa, sudah hilang kesempatan untuk kembali memiliki Citra. Pasti Citra trauma, dan Damar menggunakan kesempatan itu.
Lalu Ken menuju sekolah Citra. Teman-temannya mengatakan, bahwa gadis itu sudah berhari-hari tidak bersekolah.
Dengan lesu, Ken mencoba mencari Citra di rumah lamanya yang telah dibeli Damar. Tanpa kesulitan, dia masuk ke rumah itu. Halamannya sepi, pintu depannya tidak terkunci. Ruang tamu juga sepi. Hanya ada suara-suara aneh di dalam kamar, yang membuat jantung Ken rasa tak karuan.
Ken mengintip, dari kamar yang sedikit terbuka itu, dan dia nyaris berteriak marah. Namun akhirnya, dia hanya bergerak mundur dengan air mata mengalir di pipi. Lalu bergegas pergi dari rumah itu.
Sepanjang jalan, Ken hanya mampu berteriak dan menangis. Dia merasa sangat kecewa pada Citra. Baru empat hari berpisah, dan gadis itu sudah bercinta dengan seorang pria!
Ini bukan soal setia atau tidak setia. Sungguh dia merasa, bahwa kekasihnya itu adalah seorang biseksual pendusta. Dia bukan lesbian sejati. Tetapi wanita yang bertingkah seperti babi. Mau betina, mau jantan, semua dinikmati. Nafsunya ke segala arah.
Padahal, Ken merasa sangat mencintai gadis itu, meski dia bukan yang pertama. Meski di sisi lain, dia juga merasa bersalah karena sering berbohong pada Citra, semata agar dia bisa mempertahankan gadis itu.
"Kok cewek kamu mau sama si Damar? Karena cowok itu terkenal?" Tanya Androda, lesbian yang ditemuinya di klub malam. Mereka cukup dekat dan sering berbagi cerita soal kekasih masing-masing.
"Mantan pacarnya sih," sahut Ken lirih. "Mungkin cinta lama belum usai."
"Bukan lesbian ternyata."
"Biseksual."
"Gila ya, laki-perempuan hantam."
"Pusing aku!"
Androda tertawa,"Alah, lupakan! Cewek banyak, gue sodorin barang baru. Mau?"
Ken tak menjawab, tetapi matanya mengikuti arah telunjuk Androda. Di bawah keremangan lampu disko, Ken melihat seorang gadis muda yang lincah bergoyang. Dia seperti ular yang sedang kelebihan energi.
"Rose!" Katanya genit, saat sudah duduk satu meja dengan Ken. "Kudengar, kau sedang putus cinta? Apa kau butuh sedikit hiburan? Kebetulan, rumahku kosong, keluargaku sedang liburan!"
Ken tersenyum, dia merasa Rose sedang berusaha merayunya dengan cara yang konyol. Namun Ken tak menolak, dia merasa memang sangat butuh untuk dihibur.