Tawa Arthur menggelegar di ruang bawah tanah, Reneee terhuyung, ia jatuh ke lantai dengan rasa sakit di kepalanya.
Wanita itu memejamkan matanya erat-erat, berusaha mengendalikan diri.
"Kedatanganmu kemari hanya sebuah kesia-siaan!" Arthur menegakkan tubuh dan kedua tangannya yang berubah itu terlihat semakin membesar, menyabet dinding ruang bawah tanah sehingga bebatuan yang menjadi pondasi dinding berjatuhan. "Kau mendengar itu, Renee? Sia-sia!"
Renee menutup kedua telinga dan ia meringkuk, giginya gemerutuk. Ia tidak tahu apakah ini semua karena terpengaruh perkataan Arthur hingga ia merasa sangat terguncang, atau karena ini adalah perasaannya sendiri.
Mata Arthur berkilat-kilat, kedua kakinya menghentak ke lantai, di detik berikutnya ia melesat menyerang Renee.
"Hah!"
PRANG!
Dentingan pedang terdengar nyaring.
Renee tersentak, ia langsung mendongak, seseorang melesat dari belakangnya dan mengayunkan pedang melawan Arthur.
"Jangan dengarkan dia, Renee!"
Orang itu adalah Dylan, laki-laki itu dengan lihai memutar pedangnya menyabet kaki Arthur.
Laki-laki berambut pirang ikut mengayunkan tangan ke arah Dylan dan mereka berdua berguling.
"Kakak! Kau baik-baik saja?" Joy berlari dengan tubuh kecilnya melintasi reruntuhan batu, raut wajahnya terlihat sangat khawatir.
"Joy …."
Renee menahan napasnya, matanya masih tidak fokus, bingung dengan kehadiran mendadak Joy dan Dylan, gadis kecil itu mengabaikan Dylan yang bertarung dengan Arthur dan menyentuh wajah Renee.
"Kakak, sadarlah!" Joy menepuk kedua pipi Renee, ia sudah mendengar seberapa jahat orang yang ditemui Renee kali ini dari Dylan.
Tidak hanya jahat, tapi berbahaya!
"Kakak, sadarlah!"
"Joy?"
Renee mengedipkan matanya, kemudian ia mengalihkan pandangan ke arah Dylan yang sedang bertarung dengan Arthur, wanita itu langsung bangkit dan cahaya jingga melesat menyerang Arthur.
BRAK!
Arthur terhempas ke dinding, Renee langsung berlari mendekati Dylan bersama Joy.
"Jangan mendengarkannya!" Dylan memegang pedang dengan kedua tangannya. "Dia adalah orang yang ahli mempengaruhi orang lain."
Arthur masih bersandar di dinding, tiba-tiba tertawa, kedua bahunya bergetar dan dinding yang ada di belakangnya retak, meluruhkan pasir-pasir yang merekat di dinding.
"Kenapa? Bukankah apa yang aku katakan itu fakta?" Arthur mengangkat dagunya, meski ia tidka berdiri, ia masih bisa menampilkan kesombongan yang tidak dapat ditandingi oleh siapa pun. "Bayi itu pada akhirnya mati bersama Ibunya dan kau tahu apa yang lebih lucu? Meski mereka mati, Leo tetap mencintainya."
Dylan berdiri di depan Renee, ia melirik wanita itu dan mengibaskan tangannya.
"Jangan dengarkan dia, Renee." Dylan bergumam dengan suara rendah, sorot matanya terlihat sedih dan ia terlihat sekuat mungkin menahan air matanya yang bisa tumpah kapan saja.
"Dylan …." Renee ingin mengatakan sesuatu, tapi Joy langsung memegang tangannya dan menggelengkan kepala.
Sejak awal Renee ada di sini demi emas yang diberikan sang Ratu, ia tidak datang untuk jatuh cinta pada Leo. Ia juga tidak datang untuk mengasihani perasaannya yang kandas karena ucapan dari mulut Arthur.
"Jangan khawatir, aku tidak akan mendengarkannya lagi."
Dylan menundukkan kepalanya dan menjilat sudut bibirnya. "Terima kasih."
Mata abu-abu laki-laki itu berkaca-kaca, seakan ia tidak siap menumpahkan semua beban yang selama ini bersarang di dalam di dadanya.
"Aku berterima kasih padamu, sangat." Dylan memutar pedangnya dan ia menarik napas. "Tapi perlu kau ketahui satu hal Renee."
Renee menatap Dylan dengan lekat, ia tidak pernah melihat sisi laki-laki ini yang begitu lemah, berbeda dengan Leo yang selalu diam dan terkesan acuh dengan keadaan sekitarnya.
"Leo dan Karren, mereka tidak pernah saling mencintai." Dylan menarik napas dalam-dalam, lalu ia tersenyum pahit menatap Arthur yang perlahan mulai bangkit. "Tapi itu ... aku."
Renee tertegun, suara Dylan sangat pelan sehingga Arthur yang ada di depan sana tidak mendengarnya, Joy yang tidak mengerti apa yang terjadi hanya memeluk tongkat kayu dengan erat, matanya melihat Arthur, Dylan dan Renee secara bergantian.
Renee membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu, tapi ia terlalu bingung harus mengatakan hal apa.
Hal rumit apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka semua?
"Berhenti bisik-bisik." Arthur yang kembali ke wujud manusia menggerakkan tangannya dengan gerakan memutar. "Orang yang ada di sampingmu itu hanyalah anjing Marquis."
"Diam!"
Renee menghentakkan kakinya dengan marah, ia tidak tahu sudah berapa kali ia mengatakan hal ini pada Arthur, cahaya jingga langsung menyerbu menyerang laki-laki itu.
Renee langsung melesat dengan pedang di tanganya, Dylan tidak tinggal diam, ia menyerang laki-laki itu dari sisi lain sehingga mereka mengayunkan pedang secara bersamaan.
PRANG!
Arthur menyeringai, tangannya mengeras dan menangkap kedua pedang secara bersamaan, dalam satu kali tarikan ia menarik kedua orang itu agar bertabrakan.
"Arthur, sejak dulu aku tidak pernah suka denganmu!" Dylan melepas pedang yang ia pegang dan menendang perut Arthur. Renee ikut melemparkan cahaya jingga ke wajah Arthur.
Arthur yang mendapat serangan mendadak dari dua orang itu terhuyung, cahaya jingga tidak pernah berhenti menyerang, kali ini sasarannya adalah mata biru Arthur.
PRASH!
Renee menerobos di antara cahaya jingga yang meledak di wajah Arthur, ia menghunuskan pedang ke perut laki-laki itu.
"Renee, awas!" Dylan berseru, ia menghalau tangan Arthur yang ingin mencakar Renee dengan pedang yang baru saja ia ambil, gerakan Arthur tertahan.
"Menyebalkan sekali berurusan denganmu." Renee mengatupkan bibirnya rapat-rapat, cahaya jingga menerjang tubuh Arthur, laki-laki itu lagi-lagi terhempas.
BRAKH!
Dinding yang selalu menjadi sasaran tidak bisa lagi bertahan, retakan kecil perlahan-lahan mulai berjatuhan ke bawah, Arthur menggeram, cahaya jingga yang mengenai tubuhnya tidak main-main, membuat tubuhnya sakit di mana-mana.
Renee terengah-engah, begitu pula dengan Dylan.
"Jangan taanyakan sekarang, biarkan aku bernapas."
Laki-laki bermata abu-abu itu tidak berniat untuk menjelaskan lebih lanjut perkataannya tadi. Mungkin ia perlu menyiapkan mentalnya untuk mengatakan semua hal yang terjadi.
Dylan mengangkat tangannya, ia mengusap pelipisnya yang basah.
Arthur terlihat kesusahan bangkit, Renee dan Dylan saling berpandangan.
"Apa kau memiliki pikiran yang sama denganku?" tanya Rene sambil mengusap ujung pedangnya, Joy yang hanya diam melihat semuanya menelan ludah, apakah ia akan melihat sesuatu yang mengerikan selanjutnya?
"Ya, tolong." Dylan mengulas senyuman sinis pada Arthur.
Mata Renee berkilat-kilat, seakan-akan ada api yang menyala-nyala di sana, cahaya jingga berputar di sekitar Arthur, seperti cincin bola api yang lama-lama semakin merapat.
Arthur menatap Dylan dengan penuh kebencian. Hanya sesaat sebelum akhirnya tatapan itu menjadi tatapan yang sinis.
"Kyah!"
Joy yang sedari tadi ada di belakang mereka berdua tiba-tiba menjerit. "Kakak. Tolong aku!"
Renee dan Dylan langsung berbalik, melihat Joy yang terangkat di udara dengan ekor ular yang melilit lehernya, wajah gadis kecil itu berubah menjadi biru dan matanya melotot.
"Joy!"
Hanya satu orang yang bisa memunculkan ular di waktu seperti ini.
Ivana.
Wanita itu muncul dengan senyuman lebar di wajahnya, bagian bawah tubuhnya tidak lagi berupa kaki manusia, tapi ekor ular yang kini menjerat leher sang gadis kecil.
"Hai, Renee … merindukanku?"
Maaf, hari ini Lady Renee update telat ಥ‿ಥ