Keadaan Mansion keluarga Emmanuel sangat berantakan, tidak ada cahaya yang berpendar di malam itu, semuanya gelap gulita, seperti tempat yang tidak berpenghuni. Angin berhembus dengan pelan, menggoyangkan ranting dan dedaunan dari pohon yang tumbuh di sekeliling, sesekali terdengar suara ketukan dari ranting yang menabrak kaca jendela.
Selebihnya, tidak ada suara manusia yang mengobrol, tidak ada cahaya.
Seseorang melangkah sambil memegang busur panah di tangannya, matanya menatap lurus ke sebuah ruangan yang isinya sangat berantakan, rak berisi buku dan beberapa dokumen penting berserakan di lantai, sofa yang biasanya ditempati kini telah patah menjadi dua terkena sabetan pedang, lalu ada pecahan kaca dan robekan kertas di lantai.
Ivana menggenggam erat busur panah di tangannya, wajahnya menjadi mengerut, menahan amarah hingga urat-urat yang ada di lehernya itu mengencang.
"Ivana …." Seseorang bergumam di dlaam kegelapan, suaranya berat dan diikuti dengan desahan rendah. "Kenapa harus seperti ini?"
"Maafkan saya," sahut Ivana dengan napas tertahan, ia menundukkan kepalanya menatap noda darah yang telah mengering di atas karpet. "Saya lalai kali ini karena meremehkan Renee."
"Itu sudah seharusnya."
Ivana tidak mengangkat wajahnya, ia tetap terpaku pada karpet di bawah kakinya, busur panah yang ia pegang dengan erat itu mungkin bisa patah kapan saja.
"Maafkan saya."
Seseorang di dlaam kegelapan itu tidak menyahut selama beberapa saat, seakan tengah menimbang apakah yang harus ia lakukan pada Ivana saat ini.
"Saya akan membereskan kekacauan ini," kata Ivana lagi seakan ia tengah merapati apa yang terjadi, jari-jemarinya gemetar tanpa henti. "Saya akan membuat semuanya kembali seperti sebelumnya."
"Apa kau pikir … aku bodoh?" Suara dari kegelapan itu terdengar mengejek. "Bagaimana bisa memperbaiki sesuatu yang sudah rusak, Ivana?"
Ivana menjatuhkan dirinya, ia berlutut pada seseorang yang entah siapa di dalam kegelapan, busur panah yang ia pegang erat itu terlepas.
"Saya yakin, saya bisa."
Kemudian terdengar tawa melengking di kegelapan, diikuti dengan suara kursi yang berderit nyaring, orang itu tiba-tiba saja bangkit.
"Renee, aku ingin Renee," kata orang itu dengan suara sepatu yang mengetuk di atas lantai. "Aku tidak suka melihatnya ada di sekitar Leo, lenyapkan dia."
Ivana diam, pikirannya sekarang sangat rumit.
"Ataukah kau takut, Ivana?" tanya orang yang ada di dalam kegelapan itu, sosoknya masih tidak terlihat dengan jelas, seakan-akan ada kabut yang melindunginya. Bahkan untuk suaranya pun, tidak jelas, apakah ia seorang wanita atau seorang laki-laki.
Ivana mengepalkan kedua tangannya di atas lutut, bibirnya terkatup dengan rapat. Apa yang ada di pikirannya saat ini terasa sulit, ia tidak bisa membuat keputusan, kepalanya mengalami rasa sakit yang luar biasa dan jantungnya tidak berhenti berdebar dengan kencang.
"Ivana?" Orang yang ada di dalam kegelapan itu melangkah mendekati Ivana yang terus menundukkan kepalanya dalam-dalam, tangannya terulur menyentuh wajah sang Pelayan. "Aku tahu kau tidak takut, aku tahu kau bisa melakukannya, kan?"
Ivana tidak berani menatap, ia mati-matian mempertahankan pandangannya ke arah karpet, bahkan saat dagunya diangkat dengan perlahan untuk menatap, ia lebih memilih untuk memejamkan matanya dengan erat.
Orang itu menghela napas dengan kasar, tangannya yang memegang dagu Ivana mengencang hingga kukunya menembus ke pipi Ivana.
"Apa kau sekarang belajar untuk mengkhianati aku? Demi siapa itu? Leo?"
"Tidak … tidak …." Ivana membantah dengan terbata-bata, tangan yang memegang dagunya tiba-tiba saja terlepas, wanita paruh baya itu terjatuh ke lantai dengan getir. "Aku yakin aku bisa mengembalikan semuanya seperti asal."
Orang yang menjadi lawan bicara Ivana itu mendengkus dengan kasar, kemudian ia melangkahkan kakinya menjauh dari Ivana menuju sudut yang paling gelap di ruang kerja milik sang Marquis, duduk dengan kursi yang berderit kencang.
"Aku bilang … lenyapkan wanita itu, mudah bukan? Kau sudah melakukan hal ini berkali-kali, mengapa kau bersikap sok suci?"
Ivana mengatupkan bibirnya rapat-rapa, kepalanya masih terasa pusing dan menyakitkan, belum lagi ia harus merasakan bagaimana rasanya tulang-tulang rusuknya yang seakan-akan tengah ditarik.
Ivana tidak bisa fokus dengan apa yang dikatakan oleh sosok yang kini duduk di kursi yang biasanya diduduki sang Marquis, pikirannya kacau, campur aduk, antara rasa sakit, ego dan logikanya yang bertahap mulai memudar.
"Ivana …."
Ivana mengepalkan kedua tangannya di atas karpet, ia mulai pusing dan merasakan pandangannya mulai kabur, tangannya yang mengepal itu perlahan mulai terbuka dan kukunya memanjang dan warna kulitnya mulai berubah menjadi hitam.
"Ivana, jangan kecewakan aku." Orang yang duduk di kursi itu bergumam dengan suara yang rendah, tapi di setiap ia membuka mulutnya, ada tekanan yang luar biasa dirasakan Ivana sehingga ia harus mengerang dengan suara tertahan.
"Leo, miliku. Tahu?"
Mata Ivana perlahan-lahan berubah menjadi hitam pekat seperti gelapnya langit di malam hari, tangannya memanjang dan puluhan ekor ular keluar dari balik roknya, mendesis dan merayap naik ke atas bahunya.
Orang yang duduk itu melihat perubahan Ivana, ia terkekeh dengan geli, seolah-olah apa yang ia lihat di depannya ini adalah sebuah lelucon. Ia kemudian menegakkan tubuhnya, meletakkan tangannya di atas meja sang Marquis yang berantakan.
Ular memanjat naik ke atas meja, mendekati tangan orang itu dan mematuknya dalam, hanay sebentar sebelum ular itu kembali ke arah Ivana yang masih mengerang dan melingkari lehernya.
"Pergilah, Ivana." Orang itu melambaikan tangannya, berdiri dengan tegak. "Lakukan apa yang aku pinta sebelum aku murka dan kau harus kehilangan apa yang kau jaga selama ini."
Orang itu tertawa, lalu melangkah menjauh di tengah kegelapan, tidak ada yang tahu ia ke mana dan apa yang ia lakukan, suasananya di dalam Mansion sesaat menjadi sunyi, tidak ada lagi angin yang menggoyangkan dedaunan, ranting yang mengetuk kaca atau tetesan air.
Sangat sunyi, sampai-sampai Ivana bisa mendengar detak jantungnya sendiri di telinganya.
Wanita paruh baya itu bertahap menjadi tenang, dengan rambutnya yang basah dan acak-acakan ia bangkit, matanya yang hitam itu menatap lurus ke kursi yang telah kosong, tangannya yang panjang itu menggaruk karpet hingga meninggalkan bekas guratan yang panjang.
Ivana teringat kedatangan Renee pertama kali di tempat ini, ia juga ingat bagaimana Renee yang mengancamnya dengan pedang pendek pemberian sang Ratu.
Wanita itu adalah ancaman.
Ia tidak bisa dibiarkan terlalu lama lagi, Renee adalah ancaman yang sangat serius bagi Ivana.
"Renee … Renee … kau membuatku kesusahan seperti ini," gumam Ivana dengan kening yang bertaut dalam, napasnya masih belum stabil dan kadang ia harus mendengkus dengan kasar. "Kau tidak akan aku lepaskan, aku janji itu."