© WebNovel
“Baik, jadi rangkuman untuk presentasi hari ini yang pertama, pembangunan adalah usaha yang secara sadar dan tersusun untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Kedua, beberapa tujuan pembangunan nasional antara lain yaitu memenuhi kebutuhan material, kesejahteraan mental yang meliputi pendidikan dan kesehatan, lalu ketentraman fisik dan rohaniah serta masyarakat yang berkeadilan sosial. Terakhir, evaluasi pembangunan nasional berguna untuk mengetahui seberapa jauh pembangunan telah dilaksanakan dan bagaimana hasilnya diukur dengan sasaran yang ingin dicapai. Sekian dari kelompok kami, mungkin teman-teman ada yang mau bertanya?”
Sejenak, kelas hening. “Ayo, dari kelompok lain, apakah ada pertanyaan?” kali ini dosen pengampu yang menawarkan tanya jawab. Tetap, kelas masih hening. “Oke, karena waktu sudah mau selesai, tolong rangkumannya ditambahkan di power point kalian, dan kirim ulang email ke Saya. Catat juga, siapa saja anggota kelompok yang hadir saat presentasi. Saya akan membedakan nilainya. Jadi, ada dua tambahan ya slide presentasinya. Mengerti?”
“Mengerti, Pak.”
“Bagus. Sudah absen semua? Kalau belum, silahkan. Oke, presentasi boleh ditutup,” ujar pak dosen.
“Baik, terima kasih untuk perhatian teman-teman semua, kurang lebihnya mohon maaf, dan selamat siang.”
Terdengar suara tepukan tangan ketika satu kelompok baru saja selesai melakukan presentasi. Lima menit setelah dosen menutup mata kuliah, seorang gadis mengeluarkan handphone dari dalam tas.
“Nin, gak keluar?” tanya seorang teman.
Gadis itu menggeleng. “Nanti, duluan aja. Thank you ya kerja sama buat presentasi tadi. Oiya, tolong jangan lupa untuk tambahan slide lo kerjain ya. Kalau udah, let me know.”
“Iya, habis makan gue langsung kirim ya Nin, ke dosennya. Nanti gue bakal kirim email ke kalian juga. Jangan lupa dilihat. Gue juga terima kasih ke elo. Yaudah, bye, Nina, gue duluan ya!” seru teman Nina dengan nada semangat karena akan melancong ke kantin.
“Iya, thank you so much ya, take care,” balasnya dengan senyum. Setelah kelas sepi, Nina memasukan beberapa buku ke dalam tas. Bertepatan dengan itu, tangan satunya dengan lincah mengetik nomor yang sudah sangat dia hapal dan menelpon.
“Halo,” ujar suara di ujung telepon.
“Hai, Cit! Udah selesai kelas belum? Laper nih gue! Kantin mau?”
“Shila kemana? Hmm… Boleh, tapi samperin gue ke kelas dong. Males nih jalan sendirian, banyak cowok.”
Nina mentautkan alis walaupun tahu teman akrabnya itu tidak melihatnya. “Gak masuk. Entah kemana. Yah, aneh deh. Makanya jangan jadi anak teknik, udah jelas populasinya diembat cowok.”
“Hehehe, maaf. Kesini ya, Nin. Bye!”
Sambungan terputus sebelah pihak. “Ish! Citra, gak sopan,” Nina bermonolog. Ia menghela napas. Setelah meyakinkan diri tidak ada barang yang tertinggal, Nina akhirnya menjemput Citra di fakultas teknik.
Nina PoV
Gue berjalan agak cepat ketika tak sengaja mendengar ada dua orang cowok yang sedang duduk di koridor fakultas teknik dan mereka menyebutkan jenis kelamin gue. Sejujurnya yang bikin kesal kalau masuk kandang singa semacam tempat ini, pasti banyak catcalling dan pelecehan verbal. Gue akhirnya segera menelpon Citra sambil terus berjalan cepat.
“Angkat, angkat!” Gue agak sedikit emosi karena lalai sendiri gak bertanya dimana kelas Citra, sekarang malah kesusahan. Gue berusaha menormalkan langkah supaya terkesan baik-baik saja. Sejenak, gue menengok ke belakang dan melihat hal yang sesungguhnya tidak diharapkan. Dibelakang gue sudah ada sekitar enam sampai tujuh cowok dalam jarak kurang dari satu meter! Gue susah payah menelan ludah dan menghadap mereka.
“Kalian ngikutin gue?” tanya gue dengan nada dibuat santai. Emang cowok-cowok sialan! Masa mereka ada yang pura-pura menggaruk-garuk tembok, tiba-tiba duduk di lantai dan membuka buku, bahkan berlagak latihan baris-berbaris. Ketahuan banget kan bohongnya? Argh! Sabar, Nin! Hanya itu yang gue bilang dalam hati, dari gue, buat gue.
Gue kembali berbalik badan dan berjalan. “Cit, please. Dimana sih?!”
“Halo?”
Akhirnya!
“Dimana?”
“Kelas.”
Demi penghuni Bikini Buttom! “Lantai dan ruangan?” sahut gue cepat.
“Oh, ngomong dong dari tadi.”
“Hurry up!”
“Sabar… Tarik napas, buang. Tarik… buang.”
“Lo gak sebutin sekarang, hubungan pertemanan kita putus!” kejar gue.
“Eits! Iya, maaf. Hehehe. Lantai empat ruang empat ratus dua.”
Sambungan telepon gue matikan langsung setelah mendapat jawaban. Balas dendam, siapa suruh tadi ngelakuin hal itu ke gue?
“Nin, lo anaknya penyanyi Tante Sandyakala ya?”
OH MY GOD! Gue sempet lupa lagi dikejar sama beberapa cowok, yang dapat dipastikan jumlah mereka lebih banyak sekarang.
Gue mencoba membalas dengan senyum serta anggukan.
“Berarti bisa nyanyi dong? Nyanyi dikit boleh kali,” sekarang pertanyaan datang dari sayap kanan.
Gue hanya menggeleng dengan tetap menjunjung keramahan budaya Indonesia.
“Kenapa? Suara lo gak sebagus Ibu lo ya?”
Tiga orang sudah berada di depan gue dan jalan dalam keadaan mundur. “Jangan depan gue, nanti lo jatuh,” gue mencoba memberi tahu, tapi kayaknya salah deh. Karena…
“Wah, perhatian banget. Mau juga dong, Nin. Nih gue jalan di samping lo,” goda another man.
Males, gue gak tahu lagi cowok yang mana, yang jelas sekarang gue gak sengaja terkepung. Jarak tangga sebetulnya dikit lagi, hanya saja butuh waktu lebih untuk mencapai kesana.
Gue berhenti. Pengin deh gue sumpel mulut mereka semua. Tapi, tangan gue hanya dua. “Gue permisi ya, mau keatas,”
“Mau kemana, Nin? Sini gue anterin!”
“Jangan sama dia, Neng. Sama Abang aja sini.”
“Nanti abis ke atas, makan bareng yuk, Nin,”
Gue menggaruk tengkuk yang tidak gatal, saking bingungnya.
“Gatel ya, Nin? Ke salon yuk, gue bayarin!”
Gue pasrah, mata gue udah memanas, menahan tangis.
“Ngapain sih?” ada sebuah suara yang mencoba melerai kepungan ini.
“Ada cewek, Grad. Sini, modelan elo nih!” seru seseorang yang teman yang dekat dengan Nina.
Gue memicingkan mata ketika menerka siapa lagi cowok itu. Satu… dua… tiga… Gue menghela napas, gue gak kenal dia. Gatau deh bakalan terjadi apa lagi sehabis ini. Cowok itu sepertinya agak punya kuasa, terlihat beberapa temen cowok yang lain malahan ngasih dia jalan buat lewat mendekati gue. Oh! Ada dua kacung? Babu? Yang nempel kayak perangko di belakangnya juga.
Cowok itu ngeliatin gue dari atas sampai bawah. Meneliti, menyelidik terus senyum miring. What the fuck?! Ngeselin banget. Sabar, Nina!
“Cewek kayak gini mana bisa jadi tipe gue?! Kalian tuh gimana sih? Udah sana, biarin dia lewat.”
Gue mentautkan alis. Apa dia bilang?! Fine. Ini ibarat dua sisi magnet, ada plus ada minus, tapi karena gue kuliah di jurusan administrasi publik, gue gak mungkin menjelaskan ini panjang lebar.
Seperti tersengat listrik, bukannya marah, tapi gue malah berusaha menerobos kerumunan, secepatnya berjalan menuju tangga. Sekilas, hanya sekilas, namun gue memastikan dia mendengar, gue mengucapkan terima kasih dalam bahasa asing dan saat itu juga, dia tersenyum singkat.
“Ke sini tuh perjuangan banget. Sadis ya anak-anak teknik,” Nina langsung mengucapkan kata-kata itu.
“Lo diapain?” tanya Citra.
“Di kerubungin, terus catcalling. Ah, besok-besok gue gak mau lagi deh ke fakultas lo. Sedih gue.”
Citra mentautkan alis. “Terus, lo kok bisa selamat?”
Nina menaikan satu bahunya cuek. “Ada yang nolong, tapi ya gitu… Kayak ngeledekin gue. Cuma ya syukur deh, gue masih bisa sampe disini.”
“Siapa? Siapa? Utang budi lo sama dia tuh,” ledek Citra.
“Gatau nama. Tapi tadi ada yang manggil dia dengan sebutan ‘Grad’. Grad apa? Graduation? Hahaha,” hanya Nina yang tertawa, Citra malah terpaku. “Kenapa lo, Cit? Udah yuk, kantin. Laper nih. Satu jam lagi gue masih ada kelas.”
Citra mengangguk dan mengikuti langkah Nina dengan otak yang masih berpikir keras. “Gradien tumben mau ngelepasin dan membantu gitu. Jangan-jangan…,”
“Apa sih, Cit?! Udah yuk, kita tuh hidup di dunia nyata, bukan novel, gue yakin, pertolongan dia tadi gak ada maksud khusus.”
“Bagi lo! Ah! Yaudah yuk. Makan, makan, makan!” teriak Citra kesenangan.