4) Tersambar petir
.
Hujan yang semula sempat reda, kembali mengguyur. Derasnya menghujam tubuh Gladis yang seolah terkunci.
Angin ribut disertai petir yang menggelegar tidak membuat gadis itu bisa beranjak dari tempatnya.
Dalam hatinya, Gladis mencoba merafalkan semua doa yang dia bisa.
Sampai akhirnya, jeddarr!!! Seberkas petir menyambar tubuh Gladis. Sontak saja tubuhnya menggelepar ke tanah.
Sayup-sayup, Gladis melihat banyak sosok berkulit pucat yang menghampiri tubuh tak berdayanya.
"Tuhan … apakah aku akan mati?" batin Gladis. Seiring dengan hal itu, kesadarannya tenggelam, jatuh ke dasar dimensi lain yang sulit ditafsirkan nalar.
"Di mana, aku?" Tak berselang lama, Gladis mendapati dirinya baik-baik saja. Tubuhnya bisa kembali bergerak dengan leluasa.
Lingkungan sekitarnya, jauh berbeda dengan tempat yang semula dia jajaki.
Hiruk pikuk sebuah peradaban di masa lampau terpampang jelas di mata Gladis.
Dia beberapa kali menampar dirinya sendiri, memastikan semua bukanlah sekedar mimpi.
Hampir di setiap sudut tempat itu, terdapat obor sebagai sumber pencahayaan.
Nampaknya, tengah ada sebuah ritual atau perayaan.
"Gue di mana?" Lagi-lagi, Gladis hanya bisa bergumam.
Dia melangkahkan kakinya, berusaha mencari tahu kebenaran. Orang-orang berbaju aneh berlalu lalang, seolah tidak mempedulikan kehadirannya.
Gladis menggigit bibir bagian bawah, dia berpikir tidak ada salahnya mencoba berinteraksi dengan mereka.
"Permisi, halo!" Gladis melambai-lambaikan tangannya di depan wajah seorang wanita berbaju kebaya.
Rambut wanita itu disanggul, khas seperti kebanyakan para sinden yang tengah manggung.
Gladis mengerutkan kening. "Mereka semua kayaknya gak bisa liat gue," gerutunya.
Dia berkacak pinggang, lalu sadar bahwa ada sesuatu yang hilang.
"Astaga!" Setelah meraba-raba punggungnya. Dia baru sadar, bahwa carrier yang dia gendong tidak ada di tempatnya.
Gladis semakin kebingungan. Sampai, rombongan yang diarak oleh sekelompok lelaki bertelanjang dada membelah jalanan.
Orang-orang langsung berlarian ke pinggir jalan. Seketika, jalanan berpasir yang tadinya padat merayap, menjadi lenggang.
"Yang mulia Ndoro tiba!!" teriak salah satu lelaki yang di tangannya terdapat tombak.
Seketika semua orang yang ada di sana membungkuk memberi hormat.
Gladis menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali.
Cahaya yang terbatas, membuat Gladis tidak bisa melihat wajah orang-orang dengan jelas.
Entah di dunia mana dia terjebak.
Merasa tak ada seorang pun yang dapat melihat kehadirannya, Gladis dengan leluasa berjalan menuju kereta kencana.
"Siapa penguasa di zaman ini?!"
Baru saja ia bertanya-tanya, sesosok wanita anggun berbaju kebaya dengan bawahan kain berwarna coklat, turun dari kereta.
Gladis secara spontan menutup mulut dengan kedua tangan. Matanya terbelalak melihat wajah wanita yang kini berada tepat di depannya.
Wanita itu, sempat tersenyum ke arah Gladis. Entah dia bisa melihat kehadirannya atau tidak. Yang jelas, Gladis merasa dirinya sudah kehilangan kewarasan.
"Gila! Ini mimpi apa? Kenapa wanita itu wajahnya mirip gue?" Gladis mencecar dirinya sendiri.
Saking terkejutnya, dia bahkan tidak menghindar begitu orang-orang asing itu mulai kembali memenuhi jalanan.
Tubuh Gladis bisa ditembus begitu saja oleh mereka semua.
Terlanjur frustasi dengan keadaan, Gladis akhirna memilih untuk melihat apa yang membuat mereka semua saling bersorak menuju suatu tempat.
Tiba di sebuah lapangan yang cukup luas, orang-orang berwajah natural dengan pakaian zaman dulu itu melingkar.
Di tengah lapang, terdapat sebuah batu besar berbentuk persegi panjang. Di sekelilingnya, terdapat berbagai macam sesajen.
Gladis memicingkan kedua matanya, di salah satu piring besar berbentuk bundar, dia dapat melihat sebuah tengkorak kepala manusia teronggok.
Wanita yang Gladis terka sebagai orang terpandang di sana--yang wajahnya persis dengan Gladis, naik ke atas batu besar itu.
Disusul, seorang wanita tua yang sudah bungkuk, berjalan dipapah oleh dua orang lelaki menuju tengah lapang.
Angin kencang tiba-tiba bertiup seolah mengelilingi lapangan itu. Obor yang semula menyala terang, dengan cepat padam.
Gladis tidak bisa menahan rasa takut. Sekujur tubuhnya meremang. Aura dingin benar-benar merasuk hingga tulang.
Suasana tiba-tiba hening. Tak ada satupun manusia yang bersuara. Di tengah keheningan, tiga ketukan yang terdengar seperti suara Kentungan terdengar nyaring.
Sebuah bola api menyambar dari langit. Gladis hampir terperanjat.
Bola api tersebut masuk ke dalam tengkorak manusia yang ada di tengah sesajen.
"Yang mulia Nyai Gendis sudah terpilih sebagai penguasa keraton. Hidup yang mulia!!" Suara melengking nenek tua itu menggema. Disusul suara sorak menggelu-elukan nama Nyai Gendis.
Orang-orang itupun langsung menghambur menuju sesajen.
Pandangan Gladis tertuju lurus pada sosok wanita bernama nyai Gendis yang dengan bangga memamerkan senyum menawannya.
Tanpa Gladis kira, Nyai Gendis mengarahkan pandangan ke arahnya. Senyum lebar tersungging dari wanita itu.
"Anakku, kau sudah datang." Tiba-tiba, suara seorang wanita berbisik tepat di lubang telinga Gladis.
Dia langsung terperanjat dan menoleh ke sekeliling. Anehnya, tak ada seorang pun yang ada di dekatnya. Semua orang saling berebut sesajen yang mengelilingi batu besar itu.
Gladis yakin, dia tidak salah dengar. Mendapati Nyai Gendis yang masih menatap lurus ke arahnya, Gladis baru sadar. Mungkin saja, suara itu adalah suara Nyai Gendis.
Seiring dengan senyum mengembang yang perlahan sirna dari wajah ayu Nyai Gendis, sosok Gladis pun mulai menghilang seperti debu yang terbawa angin.
Gladis masih terbelenggu dalam tanda tanya yang sulit dia enyahkan. Sampai akhirnya, suara kawan-kawannya saling memburu di telinga.
"Gladis! Gladis sadar!"
"Gladis, bangun! Apa yang terjadi sama, Lo?"
Suara yang sangat familiar di telinga Gladis semakin terdengar nyaring. Diikuti dengan guncangan yang memaksa kesadaran Gladis untuk kembali ke raganya.
"Ahhh!!" Gladis berteriak, tubuhnya bangkit begitu saja. Seolah, dia baru saja terbangun dari mimpi buruknya.
"Gladis!!" pekik Ines dan Sabrina secara bersamaan.
Dua gadis itu langsung memeluk Gladis dengan erat.
Gladis masih linglung. Tatapannya kosong.
"Gladis!" suara yang mendayu kembali menyergap rungu gadis itu.
Gladis tersentak. Dia yakin itu suara Edwin. Gladis langsung mencari sosok kawannya itu.
"Edwin?!" panggil Gladis, begitu lelaki yang dia kira sudah tiada itu terlihat berdiri tak jauh dari tempatnya terduduk.
Faris menepuk pundak Gladis. Seiring dengan itu, sosok Edwin yang baru saja Gladis lihat lenyap begitu saja.
"Kita bakal cari Edwin sama Zio, kamu harus tenang," ucap Faris.
Gladis menggeleng-gelengkan kepala. Dia berusaha bangkit, lalu, dia sadar bahwa sekarang ini, dirinya tengah berada di atas sebuah batu besar.
Gladis kembali terhenyak. Hal tersebut tentu saja membuat Faris, Ines dan Sabrina saling menatap.
"Kenapa gue bisa di sini?" tanya Gladis sambil beranjak turun.
Sekali lagi dia memastikan bahwa batu itu benar-benar sama persis dengan apa yang dia lihat di tengah kerumunan orang-orang aneh itu.
Ines dan Sabrina mencoba menenangkan Gladis.
"Gladis, tenang. Kita semua tahu bahwa gak ada yang masuk akal tentang keadaan kita sekarang. Tapi, sebaiknya kita fokus buat cari jalan keluar dulu," jelas Sabrina.
Tentu saja semua keganjilan yang terjadi membuat mereka semua mau tak mau harus dapat menerima keadaan.
Rupanya, Ines, Faris dan Sabrina telah bertemu sekitar dua hari yang lalu. Di mana, mereka bertiga mencoba mencari tiga orang kawan yang lainnya.
Beruntungnya, mereka berhasil menemukan Gladis di atas batu besar itu.
Begitu banyak hal yang ingin Gladis utarakan. Tentang mimpi aneh yang terasa begitu nyata. Sayangnya, dia tidak memiliki banyak waktu untuk saat ini.
Karena yang terpenting, mereka semua harus segera keluar dari sana.
"Kalian yakin, kita udah berhari-hari terjebak di hutan ini?" Gladis membuka pembicaraan setelah sebelumnya mengunci mulut rapat-rapat.
Faris tidak langsung menjawab. Dia malah menyodorkan jam yang melingkar di tangannya.
"Kaki gue sama dua temen cewek Lo udah lecet karena jalan gak berhenti-henti. Stok makanan yang Ines bawa juga udah habis. Sedangkan, waktu di tengah hutan ini, gak pernah maju." Faris menjelaskan panjang lebar.
Dari sana, Gladis semakin percaya bahwa mereka semua memang tidak berada di dunia manusia.
"Emm, Gladis. Kenapa jaket Lo kayak kebakar gitu?" Ragu-ragu Sabrina bertanya.
"Gue kesambar petir!"