Download App
10.03% Jovaca & Rivaldi / Chapter 28: Kemoterapi

Chapter 28: Kemoterapi

Dering ponsel yang cukup kencang di pagi hari, mengharuskan Jovanca terbangun dari tidur nyenyaknya. Dia meraba-raba meja yang ada tepat di sebelah kasurnya. Dengan kondisi matanya yang masih berat, Jovanca berhasil mengambil ponsel berwarna merah muda kesayangannya. Secara perlahan, Jovanca mendudukkan tubuhnya di atas kasur, kedua matanya seketika membulat saat melihat siapa yang meneleponnya.

Pagi-pagi seperti ini sudah ada yang meneleponnya lagi, karena tidak ingin membuang waktu lebih lama mak Jovanca memutuskan untuk langsung mengangkat sambungan telepon itu. Terdengar suara seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun seperti sedang menangis, siapa lagi jika bukan Sarah. Wanita yang sedang menangisi kondisi Arya.

Kening Jovanca berkerut saat mendengarkan isak tangis Sarah, sebenarnya ada masalah apa? Perasaan Jovanca mulai tidak enak, di hatinya seperti ada gejolak yang membuat dia ingin ikut menangis. Tanpa Jovanca sadari, dari arah luar kamarnya ada Gavin yang diam-diam memperhatikannya. Gavin sebenarnya sudah tahu kabar tentang kondisi Arya saat ini.

"Bunda? Kenapa, bun? Ada masalah apa? Jangan bikin aku panik," tanya Jovanca bertubi-tubi.

"Ayah, semalam kepala bagian belakangnya kena pukul besi panjang. Karena ada maling yang masuk ke rumah tante Arina, bunda takut terjadi sesuatu yang buruk sama ayah."

Tangan Jovanca lemas, dia menjatuhkan ponselnya begitu saja ke lantai. Kedua matanya mulai berkaca-kaca membayangkan bagaimana kondisi Arya saat ini. Perlahan-lahan, cairan bening satu-persatu mulai berjatuhan membasahi kedua pipi Jovanca. Isak tangis pun mulai terdengar, dengan sigap Gavin menghampiri Jovanca dan membawa Jovanca ke dalam dekapan hangatnya.

"Tenang, Vanca. Kita sekarang ke rumah sakit ya? Sekalian kamu juga kemoterapi, oke?" ajak Gavin.

Hanya anggukkan kepala saja yang Jovanca berikan sebagai jawaban. Dia tidak sanggup meski harus menjawab hanya sepatah atau dua patah kata saja. Jovanca tidak mau kehilangan sosok Arya dari dalam hidupnya, meskipun dulu Arya pernah memperlakukannya kasar tapi itu semua demi kebaikan Jovanca juga.

Setelah merasa tenang, Jovanca melepaskan tubuhnya dari dekapan Gavin. Lalu, dia bangkit dari posisi duduknya, mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi untuk melakukan ritual mandi paginya. Waktu yang termakan agar Jovanca dapat menyelesaikan mandi paginya hanya lima belas menit.

"Vanca, aku tunggu kamu di bawah ya! Jangan lama-lama!" teriak Gavin dari lantai bawah.

"Oke!" jawab Jovanca dari kamar mandi, dengan teriakannya pula.

Jovanca sudah selesai melaksanakan ritual mandi paginya, gadis yang memiliki darah campuran Betawi dan Bandung itu segera memakai pakaian sederhananya untuk segera pergi ke rumah sakit. Tadi, Sarah sudah memberi tahu di mana alamat rumah sakit tempat Arya di rawat saat ini.

"Ayo, kita berangkat sekarang!" Jovanca menarik paksa Gavin yang sedang duduk di sofa.

Gavin menggelengkan kepalanya beberapa kali, pusing dengan sikap Jovanca yang selalu tidak sabaran. "Sabar kali Vanca, tenang aja pasti om Arya baik-baik aja kok," nasihatnya.

Nasihat yang Gavin berikan bagaikan angin lalu bagi Jovanca, dia tetap menarik lengan Gavin sampai di garasi, tempat di mana motor ninja Gavin diparkirkan. Tanpa menunggu waktu lama, Gavin segera menaiki kendaraan beroda empat itu diikuti oleh Jovanca di belakang.

Untung saja jalanan pagi ini tidak begitu macet, sehingga ada kemungkinan Jovanca dan Gavin dapat sampai di tempat tujuan lebih cepat. Jovanca merasakan sesak di dadanya jika harus membayangkan bagaimana rasa sakitnya ketika kepala bagian belakang Arya dipukul. Dalam hati Jovanca terus berdoa, agar Tuhan memberikan kesembuhan untuk Ayahnya.

Sesampainya di tempat tujuan, Gavin segera memarkirkan motornya di tempat parkir. Jovanca turun dari motor ninja Gavin dengan terburu-buru, saking terburu-burunya Jovanca sampai terjatuh, alhasil lututnya luka dan terasa perih.

"Aduh"

Gavin menatap Jovanca yang posisinya sedang terduduk di tanah. "Eh? Vanca, kamu hati-hati dong," nasihatnya.

Kemudian, Gavin membantu Jovanca untuk berdiri. Rasa sakit yang ada di lutut Jovanca tidak sebanding dengan rasa sakit yang sedang Arya alami saat ini. Setelah benar-benar berdiri, Jovanca langsung berlari begitu saja meninggalkan Gavin.

"Ck, dasar anak nakal," omel Gavin.

***

Tadi pagi, Jovanca sudah melihat bagaimana kondisi Arya. Kata dokter kondisi Arya baik-baik saja. Jovanca bersyukur jika tidak ada sesuatu yang buruk kepada Arya. Dia ingin segera melihat Arya sembuh seperti semula, agar bisa berkumpul bersamanya kembali di rumah.

Kabar baik tersebut membuat Jovanca dapat menjalankan kemoterapinya dengan tenang. Sebuah jarum infus terpasang di tangan kiri Jovanca. Melalui infusan itulah obat untuk menghambat penyebaran sel kanker Jovanca dimasukan.

Kata dokter, kemungkinan setelah Jovanca melakukan kemoterapi ini akan ada beberapa efek samping yang dia rasakan, seperti rambut rontok, mual atau muntah, memar di beberapa bagian badan, dan beberapa efek lainnya. Jovanca sudah siap dengan efek samping itu.

Setelah kemoterapi selesai dilaksanakan, Jovanca memilih untuk tidur terlebih dahulu. Kata dokter, besok Jovanca baru diperbolehkan pulang itupun jika Jovanca tidak merasakan efek sampingnya. Hanya ada Jovanca saja di ruangan putih berbau obat-obatan tersebut.

"Vanca, lo--" Ucapan Rivaldi terpotong, saat dia melihat Jovanca sedang tertidur.

Rivaldi memasuki ruang rawat Jovanca secara perlahan, dia berjalan pelan sekali menuju sebuah bangku yang ada tepat di samping brankar Jovanca. Tampaknya Jovanca tidur begitu lelap dan damai, Rivaldi jadi tidak tega untuk membangunkannya.

Tangan Rivaldi bergerak untuk menggenggam jemari Jovanca. Dan hal itu membuat Jovanca terbangun dari tidurnya. Rasanya seperti ada kupu-kupu yang beterbangan di hati Jovanca, saat dia merasakan Rivaldi menggenggam tangannya.

"Valdi? Kamu kok ada di sini? Cie, kamu gamon ya?" tanya Jovanca bertubi-tubi.

Cepat-cepat Rivaldi melepaskan tangannya yang menggenggam jemari Jovanca. "Idih, jangan geer lo. Gue ke sini tadinya mau bilang kalau ayah Arya udah sadar, itu doang," jawabnya ketus.

Entah kenapa, Rivaldi merasakan ada yang berbeda kali ini. Seperti ada rasa nyaman ketika dia berada di dekat Jovanca. Oh tidak, tapi Rivaldi sudah mempunyai seorang Istri. Tidak mungkin dia mengkhianati Veronika yang sudah jelas terbaik baginya.

Rivaldi menatap Jovanca datar, kemudian menjawab, "Gue kan udah punya istri, gak mungkin kalau gue harus deketin cewek penyakitan kayak lo."

Kebahagiaan Jovanca seakan-akan sirna saat dia kembali mendengar ucapan pedas dari mulut Rivaldi. Memang saat ini Rivaldi sudah mempunyai seorang Istri yang lebih cantik dari Jovanca, tapi seharusnya dia tidak boleh berkata seperti itu. Karena hal itu bisa saja membuat Jovanca merasa down.

"Iya, aku tahu kak Vero lebih cantik kok dari aku. Tapi seharusnya kamu jangan ngomong kayak gitu. Kamu tahu? Aku sakit hati dikatain penyakitan kayak gitu, gak ada orang yang mau punya penyakit kayak gini! Sekarang, lebih baik kamu keluar sebelum aku teriak panggil satpam!" ucap Jovanca dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya.

Rivaldi menatap Jovanca penuh penyesalan. Bodoh sekali, dia bisa sampai salah berbicara seperti itu. Padahal tadi niatnya ingin menghibur Jovanca. Tapi ucapannya yang begitu pedas, berhasil membuat Jovanca justru merasa sakit hati.

"Oke, gue keluar. Tapi sebelumnya gue mau minta maaf atas ucapan gue tadi yang udah buat lo sakit hati." Lalu, Rivaldi keluar dari ruangan Jovanca dengan perasaan tidak enak di hatinya.


next chapter
Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C28
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login