Malam itu, aku diajak Albert menginap di rumahnya yang agak jauh dari kota. Tepatnya, rumah dia berada di samping hutan terlarang yang sudah terkenal akan misterinya di sana.
Seperti biasa sebelum pergi, aku menyiapkan banyak perlengkapan dan pakaian untuk beberapa hari mendatang. Rencananya, aku akan menginap satu Minggu di rumahnya karena kebetulan, Albert memintaku untuk menemani dia di rumah. Katanya, orang tua Albert akan pergi selama satu Minggu itu untuk mengurusi pekerjaan di luar kota.
Hari ini aku terlihat sibuk sekali.
Sebelum Albert datang, aku harus menyelesaikan semua persiapan ini agar nanti dia tak lama menunggu.
Mulai dari perlengkapan mandi, perlengkapan solat, pakaian dan tentunya beberapa cemilan berat ataupun ringan.
Katanya, Albert akan datang menjemputku sore hari nanti.
Hanya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit saja untuk aku agar bisa menyelesaikan semuanya.
Aku memang menyukai sesuatu yang sederhana. Tak ingin terlihat mewah ataupun menjadi pusat perhatian orang. Aku akan memakai sesuatu jika sesuatu itu membuatku nyaman. Tak peduli harganya murah ataupun mahal, karena harga bukan menjadi tolak ukurku dalam memilih gaya.
Aku juga hanya menyiapkan beberapa perlengkapan yang benar-benar akan aku butuhkan saja di sana. Selebihnya, aku akan meminjamnya kepada Albert jika ada barang yang lupa aku bawa.
Albert adalah teman kecilku yang sangat setia.
Dulu, rumah dia memang dekat sekali dengan rumahku. Namun karena pekerjaan orang tuanya, membuat dia harus rela pindah rumah dalam setiap tahun, sebab ada tuntutan juga dari kantor ayah Albert.
Meskipun begitu, pertemanan kami tak pernah hilang sebab kami selalu berkomunikasi setiap Minggu dan terkadang, Albert juga menyempatkan waktunya untuk main dan menginap di rumahku selama beberapa hari.
Siang ini terasa sejuk sekali.
Setelah selesai menyiapkan semuanya, kubuka jendela lebar-lebar dan membiarkan udara masuk ke dalam kamar.
Rasanya tak sabar untuk segera pergi ke rumah Albert. Ini adalah pengalaman pertama aku bermain ke rumahnya yang sekarang, yang dekat sekali dengan hutan terlarang.
"Kau sudah siap?" Mama tiba-tiba membuka pintu kamar.
"Sudah."
"Ini." dia memberiku satu kotak ayam goreng. "Nanti setelah sampai, kau makan ayam ini bersama dengan Albert."
"Baik, ma. Terima kasih."
Mama tersenyum. "Sama-sama."
Aku langsung memasukkan ayam goreng itu ke dalam tas. Tanpa perlu kudekatkan ke hidung, aku sudah mencium aromanya yang sangat khas. Masakan mama memang paling juara dan tak akan pernah tergantikan oleh masakan siapapun di dunia ini.
"Kau yakin akan pergi ke sana?" Mama tiba-tiba berkata seperti itu. Tak ada angin, tak ada hujan.
Aku mengangguk. "Yakin. Memangnya kenapa?"
"Mama dengar, daerah sana masih banyak misteri di luar nalar. Apalagi rumah Albert sangat dekat dengan hutan terlarang. Mama khawatir."
"Mama terlalu banyak menonton film horor." aku tak terlalu menganggapnya lebih. "Tak akan, Ma. Aku akan menjaga sopan santun di sana. Lagipula hanya seminggu saja."
"Bukan seperti itu, Kevin. Mama mendengarnya langsung dari tetangga kita yang sudah pernah ke sana. Katanya, tempat itu sangat menakutkan. Dia tak menyarankan siapapun untuk hidup di sana."
"Lalu Albert?" tanyaku sambil tertawa kecil. "Sudahlah, Ma. Jangan dipikirkan. Aku yakin tempat itu tak akan seram seperti apa yang Mama bilang."
Mama terdiam sejenak. Seperti ada yang dia pikirkan di dalam hatinya, namun terasa berat untuk diungkapkan.
"Ma...." aku memeluknya. "Aku akan baik-baik saja. Mama tahu Albert kan? Dia adalah sahabat ku dari kecil. Aku sepenuhnya percaya pada dia."
"Tapi kau harus berjanji kepadaku."
Aku melepas pelukan. "Apa?"
"Kau jangan masuk ke dalam hutan terlarang itu."
...
Sore ini, Albert datang kepadaku tanpa terlambat sedikitpun. Seperti biasa setelah sampai, dia mengobrol sebentar dengan mama dan adikku, Starla.
Sengaja kami tak mengulur banyak waktu karena Albert ingin kita sampai ke rumahnya sebelum senja. Aku tak tahu apa alasannya tapi mungkin, dia ingin kita cepat-cepat sampai ke sana.
Setelah membantuku menyimpan koper ke dalam mobilnya, kami lantas pergi dengan kecepatan standar.
Rasanya aku senang sekali bisa memiliki teman seperti Albert. Dia pria yang baik, ramah, dan selalu tenang.
Dari kecil sampai sekarang, sikap dia tak pernah berubah. Hal itulah yang membuat pertemanan kami tetap bertahan sampai saat ini.
Sampai di jalan raya, kami tak menyangka ternyata jalanan agak macet. Entah ada apa di depan sana, tapi kata Albert saat dia ke rumahku tadi jalan ini tak macet.
Karena udara di dalam mobil sangat pengap, sengaja aku membuka setengah kaca mobil.
"Wangi apa ini?" tanya Albert tiba-tiba.
Aku tersenyum sambil membuka tas itu.
"Ini. Ayam goreng buatan mama."
Matanya terbelalak senang. "Wah. Benarkah?"
"Iya. Mama sengaja menyiapkannya untuk kita makan nanti malam."
"Kebetulan sekali. Aku sangat rindu dengan ayam goreng buatan mamamu. Pantas saja saat pertama kali menciumnya, aku merasa tak asing dengan bau makanan tersebut."
Aku tertawa. "Kau ca-"
Tok tok tok...
Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk kaca tepat sekali di sampingku. Karena penasaran, kubuka lebar-lebar kaca itu.
Di sini, aku melihat seorang pria tua berdiri dengan pakaian kusut
"Apa kau mau ini?" tanyanya sambil menjajakan cemilan.
Aku melihat Albert, dia menggelengkan kepala sedikit.
Karena kasihan, kubeli beberapa makanan kakek tersebut meskipun sebenarnya, aku juga sudah membawa banyak cemilan di tas.
Tak apa.
Membeli barang dagang orang lain tak akan membuat kita miskin. Justru dengan itu, kita bisa meringankan bebannya sendiri.
Aku melihat raut kakek itu datar. Tak memiliki ekspresi sedikitpun. Bahkan sampai aku memberikan uang kepadanya, ekspresinya tetap sama dan tak berubah.
"Kau tak boleh pergi!" kakek itu berbisik sangat pelan, namun aku mampu mendengarnya dan perkataan kakek tersebut tentu membuatku terkejut.
"Maksudnya?" aku heran.
"Tempat itu tak baik untuk kau. Sebelum terjadi sesuatu yang tak diinginkan, sebaiknya kau urungkan niatmu dan pulanglah sekarang!" tegasnya tepat sekali di telingaku.
Aku mengerutkan kening.
"Tak baik? Kata siapa? Kau-"
Belum sempat aku menanyakan hal itu kepada kakek tersebut, Albert melajukan kembali mobilnya karena jalanan sudah kembali normal.
Dia tak tahu kalau kakek itu berbisik suatu hal yang tak enak untukku. Bahkan saat kami pergi, aku melihat kakek itu masih memperhatikanku dan memberi isyarat gelengan kepala, seolah aku tak boleh melanjutkan perjalananku.
Aku masih heran sebenarnya dia siapa? Kakek misterius itu seolah-olah tahu aku akan pergi ke sebuah tempat, hingga dia mengatakan hal demikian.
"Kau lihat apa?" aku tersentak saat Albert bertanya. Rupanya, sejak tadi aku banyak melamun.
"Tidak ada." aku tersenyum kecil dan kita kembali melanjutkan perjalanan ke rumah Albert dengan hati-hati.
"Baiklah. Ketika sampai di rumahku nanti, kau jangan mandi ya."
"Apa?" aku terkejut. "Tapi aku sangat gerah."
"Tahan saja sampai besok. Dulu aku juga tak terbiasa tak mandi sore hari. Namun perlahan, kau akan tahu alasannya."
Belum sempat aku sampai ke rumahnya, aku sudah merasakan keanehan yang tak bisa kupecahkan dengan logikaku sendiri.
Agak sedikit ragu, tapi saat melihat Albert, aku merasa bahwa nanti akan baik-baik saja.
...
Haii. ini cerita baruku dengan genre berbeda yang tentunya jauh lebih fresh dan menegangkan.
jangan lupa comment, share dan simpan yaa ke perpustakaan kalian. terima kasihh(: