© WebNovel
Shafiyya POV
Namaku shafiyya. Jika ditanya apakah aku memiliki teman. Dialah orang pertama yang kusebut. Fairial namanya.
Dia adalah tetangga seberang rumah, sekaligus teman masa kecil yang tingkat nyebelinnya diluar nalar. Jangan ditanya, siapa lagi anak yang berhasil membuatku nangis kejer bak seorang rocker dan mengubahku jadi godzila ketika dirumah.
Contoh kecilnya saat SD, saat aku nyungsep ke dalam tong sampah dia malah mempermalukanku dan mengatakanku pemulung. Dia yang mengambil isi pulpenku saat ulangan. Dia yang meremehkanku dan berkata aku pikun. Dia yang berhasil merebut kasih sayang ibu dan ayah yang harusnya tertuju padaku.
Dialah tersangkanya. Biang keladi penyebab ketenangan hidupku terusik sepanjang waktu.
Siang itu aku mencari sebelah sepatuku yang hilang. Aneh sekali, aku meletakkannya didalam rak tapi saat dilihat tidak ada. Kemana perginya, tahunya sepatu itu ada diatas pot gantung. Ini pasti ulah dia.
Tapi dia malah menyangkal. Berkata kalau sepatuku terbang keatas lalu hinggap ke pot. Lucu sekali alasannya. Aku hanya mendengus dan meneriaki namanya sampai suaraku terdengar hingga ujung koridor.
Itu kejadian saat aku SD. Berbeda dengan sekarang, saat SMP. Dia terlihat lebih dingin bahkan pakai kacamata. Kupikir dia kulkas.
Bahkan aku lebih suka menyebutnya kulkas berjalan. Meski berubah seratus delapan puluh derajat menjadi lebih pendiam dan dingin namun satu dan lain hal sifat menyebalkannya masih tetap ada.
Contohnya sekarang. Di tengah jam pelajaran pak Arianto, saat aku sedang takut ditunjuk maju ke depan. Dia melempar ku dengan bulatan kertas. Lucu sekali saat dilihat isi tulisan kertas itu.
"TAKUT YA SAMA PAK ARI!"
Itu isinya, bahkan pakai capslock!
Aku meradang tapi coba menahannya. Kuremas kertas itu dan buang ke tempat sampah.
Sebulatan kertas kembali melesat ke tulang pipiku. Sakit.
Kubuka kertasnya. "MAKANYA JANGAN BENGONG MULU."
Kertasnya kembali kuremas dan buang ke tempat sampah.
Ketiga kalinya bulatan kertas itu kembali melesat bahkan lemparnya ke mata!
Aku meringis kesakitan. Segera kubuka kertas itu dan terpampang jelas kata katanya.
"MAKANYA BELAJAR YANG RAJIN! SAMA PAK ARI AJA TAKUT"
Orang ini!
Aku langsung memukul meja yang dibawahnya ada kertas itu.
Pak Arianto langsung memicing ke arahku dan menegur. "Kamu kenapa mukul meja Shafi?"
"A-anu pak. Ada lalet."
"Dikelas kok ada lalet kamu kali belum mandi?"
Seketika semua siswa langsung menertawakanku. Termasuk Fairial. Oh dia nyari mati.
Bagiku dia tetaplah menyebalkan. Dia bertransformasi dari sosok menyebalkan menjadi sosok dingin, sok keren yang menyebalkan.
"Biasa aja dong nulisnya."
Tulisanku lari larian semenjak Fairial terus memperhatikanku dari depan. Aku sangat membenci kehadirannya. Kenapa dia mesti ada ya Allah di dunia ini?? Seandainya aku ibunya dan dia Malin Kundang. Aku ingin mengutuknya jadi batu.
"Sori deh sori." Ucapnya, langsung aku muntahi. Aku tidak butuh kata maaf darinya. Sudah banyak hal yang ia lakukan padaku. Hanya dengan kata sori? Tidak mempan. Dosamu segunung nak.
"Pokoknya nggak ada bekal untuk hari ini." Kataku.
Dia langsung terdiam. Mungkin menyesal. Biar tahu rasa dia. Bekal yang sengaja dibuatkan oleh ibu takkan sudi kuberikan untuknya. Memang enak.
Sampai siang nanti kujamin dia akan kelaparan.
Ibu setiap hari membuatkan bekal untuk dia. Untukku warna pink sedangkan faririal warna biru. Di jam istirahat seperti ini biasanya kami berdua menghabiskan waktu makan siang dikelas.
"Bekalnya habis Fii?" Tanya ibuku yang masih sibuk dengan wajannya. Saat ini aku sudah pulang dan duduk manis melepas kaus kaki.
"Hmm.." Aku mendehem.
"Fairial?"
Aku terdiam dan langsung bergegas ke kamar. Kunci pintu.
"Fii? Kok nggak dijawab?"
Lagi lagi aku meninggalkan ibu dengan pertanyaan.
###
Hari ini selalu dia yang berhasil membuat hidupku terusik. Sehari saja aku tanpa dia. Bisa seperti surgawi. Kenapa aku harus stuck terus dengan makhluk satu ini?
Aku tahu dia pandai, dia berbakat, dia multitalent. Dengan belajar sekali pandang dia langsung bisa. Dia kebanggaan ibu dan ayah. Padahal akulah anak mereka, bukannya dia. Kasih sayang ibu kepadaku juga semakin berkurang.
Dia merusak segalanya dan dia bangga sekali mempertontonkan kepandaiannya itu didepan ku. Aku tahu dia pandai dan kebanggaan semua orang. Dengan tangan menyilang wajah, aku menangis. Kenapa Fairial seberuntung itu ya Allah?
PRANG!
Tiba tiba suara tubrukan dan suara beling pecah terdengar dari arah seberang. Aku percaya itu dari rumah Fairial. Ibu, aku dan kak risky langsung terbangun dari segala aktivitas.
"Suara apaan tuh?" Ucap kak risky langsung keluar kamar. Bahkan telinganya yang disumpal sebelah dengan headset masih bisa mendengarnya. Aku bergegas menuruni tangga dan berlari keluar. Fairial kenapa.
Apa yang terjadi padanya? Apa dia jatuh?
Aku tidak tahu kenapa. Perasaan benci dan sebalku terhadapnya mendadak hilang.
Diluar aku melihat sebuah mobil sedan terparkir di depan rumah Fairial. Seorang pria berjalan menuju mobil. Gontai. Ia menutup pintu mobilnya lalu jalan. Mobil itu pergi.
Siapa dia? Apa yang dia lakukan pada Fairial barusan?
Aku yang bertelanjang kaki dan masih mengenakan baju seragam menerjang pintu rumah Fairial dan masuk. Pintu itu terbuka dan aku melihatnya diujung sana. Duduk memeluk diri. Kepalanya bersimbah darah dan serpihan botol miras berceceran dihadapan.
Aku melotot melihat kepalanya. Menutup mulutku yang tercengang.
Dia berteriak "Pergi!"
Aku masih tetap melangkah mendekatinya. Menangis terisak.
"Jangan kesini!" Teriak Fairial.
"Fairial. Kamu kenapa??"
Dia terdiam. Aku menangisinya terus. Ada apa dengannya yang seolah mengabaikan tangisanku ini. Apakah dia masih marah karena masalah bekal tadi?
Tiba Tiba dari belakang muncul ibu dan kak risky. Mereka tercengang
"Astaghfirullah Fairial."
Ibu menyuruhku untuk tidak mendekat. Tapi aku tetap mendekatinya. Aku takut dia kenapa napa. Aku khawatir terhadapnya. Kenapa kepalanya begitu banyak darah. Ibu sampai memarahiku saat itu, mungkin karena banyak beling berserakan di lantai. Aku langsung terdiam dan mendengarkan kata ibu.
Hari itu aku akhirnya sadar. Tak seharusnya aku membiarkannya kelaparan, harusnya aku prihatin terhadap hidupnya.
Harusnya aku membiarkan saja dia menindasku dan membuatnya terus bahagia.
Seorang dokter keluar dari pintu dan terhenti didepan ruangannya sendiri. Itu karna ia dicegat oleh ibu dan kak risky yang saut-sautan bertanya seputar kondisi fairial.
Fairial yang tadinya bersama mereka kini duduk disampingku yang masih bergelut dengan tangis. Fairial tersenyum dengan lilitan perban dikepalanya. Ia menepuk-nepuk punggungku coba menenangkan bahwa ia tidak mati. Syukurlah ia tahu diri. ia sangat sukses membuatku ketakutan parah. hingga tangisku tak pernah mereda.
"Overall dia nggak apa apa kok, ibu dan masnya nggak usah khawatir lukanya juga untung masih bisa teratasi. Tapi kalo ada keluhan apa-apa tinggal datang lagi aja kesini... ''
Segelintir percakapan dokter dan ibu serta kak risky terdengar jelas oleh kedua telingaku, namun tetap saja aku masih terlalu cengeng untuk menghentikan tangisanku. Aku sangat ketakutan hingga tak tahu kapan harus mengakhirinya.