"Syahrini, suamimu sekarang lagi ijab qabul sama perempuan lain, kamu malah enak-enakan perawatan di sini,"
"Terus gue harus bilang wow gitu? Udah aku bilang namaku Andini, Len. Bukan Syahrini. Mentang-mentang aku suka barang branded, kamu panggil aku Syahrini?" ucap Andini. Wanita berusia tiga puluh tahun yang hari ini ditinggal suaminya menikah lagi dengan perempuan lain. Teman-teman sosialitanya memanggilnya Syahrini karena kebiasaannya yang suka mengoleksi barang-barang mahal dan branded.
"Ya emang bener kan? siapa sih yang bisa ngalahin kamu? Perawatan mahal, yang menempel di tubuhmu juga semuanya branded. Mirip kan seperti Syahrini," ujar Lena, sahabat Andini yang bisa dibilang selalu ada buat Andini. Termasuk saat dia harus diduakan oleh suaminya. Lena adalah tempat buat Andini mencurahkan isi hati.
"Ya beginilah caraku untuk bahagia Len. Apalagi yang bisa membuatku bahagia selain uang dan barang-barang branded," ucap andini berusaha untuk tetap tegar meski hatinya kini seperti teriris-iris.
"Tapi kamu tak pernah bahagia meski sudah memiliki segalanya. Sekarang aku tanya lagi, kenapa kamu berada di sini? suamimu hari ini ijab qabul dengan wanita lain. Kamu ga pengen ada niatan buat gagalin gitu?"
"Buat apa? aku datang lalu mengobrak abrik semuanya begitu? Hah... terlalu rendah sekali harga diriku. Terserah Mas Galang mau apa. Mau nikahin banyak wanita juga aku udah ga peduli," ucap Andini sambil tersenyum miring. Bukannya dia tidak sakit hati. Tapi buatnya, sudah terlalu lelah untuk memikirkan nasib rumah tangganya. Rumah tangga yang sudah dibangun selama lima tahun ini akhirnya harus dinodai dengan kehadiran wanita lain. Yang kata suaminya, wanita itu lebih sholehah darinya.
"Kamu kuat sekali, Din. Kalau aku jadi kamu mungkin ga akan sekuat kamu. Kalau perlu aku minta cerai saat itu juga,"
Andini membuka matanya menoleh ke arah sahabatnya yang juga sedang di pijat sama seperti dirinya. "Demi Angga, Len. Aku bertahan demi Angga. Kamu tahu kan Angga begitu dekat dengan Papanya. Apa aku tega memisahkan dia dari Papanya kalau kita bercerai? sedangkan aku juga ga akan rela jika anakku diasuh wanita lain kalau ikut suamiku. Biar saja.. anggap saja perasaanku sudah mati, Len." Andini kembali memejamkan matanya, menikmati setiap pijatan di punggungnya.
"Sebenarnya kamu ini kurang apa sih Din? sampai suamimu menikah lagi? kamu cantik kayak barbie, kamu pintar dan mandiri, heran aku sama suamimu?" Lena menatap sahabatnya sedangkan Andini masih memejamkan mata. Sedikitpun tak ada airmata yang menetes. Padahal jika perempuan lain yang mengalaminya, mungkin sudah banjir airmata.
"Kurang sholehah, Len," jawab Andini singkat.
"Ya itu tanggung jawab suamimu gimana cara mendidikmu. Bukan malah menggantikanmu dengan orang lain. Lagian kenapa sih kamu ga mau berhijab? tinggal pake jilbab aja gampang. Daripada suamimu diambil orang lain."
"Aku belum siap berhijab. Aku ingin berhijab dari hatiku. Bukan karena suamiku. Aku ingin melakukan semua karena Allah. Bukan karena manusia."
"Alasan klasik. Ya begitulah alasan wanita ketika belum mau pake jilbab. Kayak aku donk udah berjilbab."
"Berjilbab tapi telanjang maksudmu? kamu pake jilbab tapi celana dan bajumu ketat begitu. Mendingan aku lah. Ga pernah pake yang ketat-ketat."
"Bu Andini sudah selesai." ucap seorang terapis yang memijat Andini.
"Oh iya Mbak. Makasih ya. Len, aku ganti baju dulu ya. Mau pulang."
"Emang acaranya udah selesai?"
"Ya udah kali Len. Sekarang udah jam dua siang. Resepsi juga paling udah kelar. Udah ya aku pulang duluan," pamit Andini.
"Oke.. jangan sampai kamu bunuh diri ya Din kalau udah ga kuat nanggung beban hidupmu," celetuk Lena.
"Ga akan. Bodoh sekali kalau aku sampai seperti itu Dah ah mau pulang, mau tidur," jawab Andini santai.
**
Di rumah mewah berlantai dua itu Andini dan Galang tinggal. Semua desain mulai dari rumah dan interiornya, Andini yang membuatnya. Dulu ia pikir rumah ini akan menjadi istananya bersama suami dan anak. Tapi sekarang semuanya hancur. Dan Andini tak mau lagi bermimpi tentang rumah tangga yang bahagia seperti yang dulu dia idamkan..
"Dari mana saja, Din? kenapa kamu pergi? padahal di sini sedang ada acara," ucap laki-laki yang sudah lima tahun hidup bersama Andini.
"Terus maumu apa? aku melihatmu menikahi perempuan lain begitu? lalu melihatku menangis dan itu yang membuatmu bahagia?"
"Ya paling ga kamu bisa akrab dengan Kartika. Oh ya sudah aku putuskan dia akan tinggal di sini bersama kita. Karena aku lihat Angga begitu sayang dan lengket dengan Kartika."
"Oh begitu? ya sudah silakan. Terserah mau kamu apa, Mas. Maaf aku mau ke kamar. Aku capek. Mau tidur," jawab Andini. 'Bukan Angga yang lengket sama Kartika, Mas. Tapi kamu yang sengaja memaksa Angga untuk dekat dengan Kartika.' batin Andini.
Sakit sekali hatinya saat ini. Bukan.. ini bukan karena Galang menikahi perempuan lain. Tapi karena Galang bilang Angga dekat dengan Kartika. Dia rela kalau harus kehilangan Galang. Tapi dia tidak rela jika harus kehilangan anak semata wayangnya. Andini menahan tangisnya agar tidak pecah. Dia tidak ingin menunjukkan sisi lemahnya di depan suaminya.
Andini melepas pakaiannya dan menggantinya dengan pakaian rumahan. Dia menatap pantulan dirinya di cermin. Apa yang kurang? Tapi buru-buru dia menghindar. Dia merebahkan tubuhnya yang sudah sangat lelah. Rasanya sesak. Ingin menangis tapi tak bisa. Mungkin inilah namanya terlalu sakit.
"Andini, kamu mau tidur?" tanya seorang lelaki yang baru saja masuk ke kamar. Entah kapan laki-laki itu membuka pintu. Andini tidak menyadarinya.
"Ada apa, Mas? kamu temani saja istri barumu itu. Kasihan dia sendirian."
"Dia lagi sama Angga. Nanti malam saja aku sama dia. Sekarang aku mau sama kamu dulu, Din. Aku ga mau dibilang tidak bisa adil." Galang tiba-tiba tiduran di sebelah Andini seperti tanpa dosa. Seolah tak terjadi apa-apa di antara mereka.
Andini hanya bisa tersenyum kecut mendengar ucapan Galang. Bagaimana bisa laki-laki itu mengucapkan hal yang demikian. Buat Andini ini menyakitkan. Tapi dia malas berdebat. Sungguh Galang seperti tidak punya perasaan. Istilah kasar yang terlintas di otaknya saat ini adalah Galang sedang menggilir istri-istrinya.
'Sungguh miris nasibku ini. Enak banget jadi laki-laki. Semua kekuasaan ada di dalam genggamannya. Bebas melakukan apa saja tanpa pernah tahu sakit hati seorang wanita yang sudah mendampingi dia selama ini. Hanya sekejap mata, semuanya kini telah berubah. Aku kuat, tapi aku tidak cukup kuat menanggung rasa sakit akibat pengkhianatanmu.' Andini memaksakan matanya terpejam dan setelahnya dia merasakan ada tangan yang merengkuhnya.
**