Download App
44.44% Into The Dream / Chapter 4: 04 - Aku Nyaris Mati

Chapter 4: 04 - Aku Nyaris Mati

Piyamaku dipenuhi noda tanah pada bagian belakangnya.

Aku tak mengerti mengapa piyama yang hanya kupakai tidur bisa sampai sekotor itu, apalagi sampai ada beberapa helai rumput kering yang menempel pada bagian punggung piyamaku.

Bagaimana mungkin ada noda tanah di situ, aku kan tidak tidur di atas kebun orang lain. Aku sangat yakin piyama itu masih bersih saat aku mengenakannya kemarin malam. Tak mungkin bisa sampai kotor jika aku hanya terjatuh dari tempat tidur ke lantai.

Karena piyama itu juga ditempeli rerumputan kering, aku segera mengambilnya dan lalu kuamati dengan saksama. Aku merenung. Dari mana noda dan rumput ini berasal? Rasanya benda yang kupegang sekarang bukanlah rumput yang biasa tumbuh di sekitar tempat yang sering kudatangi. Setiap helainya bercabang dua atau tiga membentuk cabang yang baru. Aku bahkan tak yakin ada rumput jenis ini di manapun.

Tunggu, apa ini berkaitan dengan mimpiku semalam? Mimpi dimana aku bertemu Carina. Aku sempat melupakannya karena seharian ini asik dengan Ann, tapi noda di bajuku dan rumput yang kupegang sekarang adalah bukti bahwa aku benar-benar ke sana. Kuingat aku sempat terjatuh ketika menghindari serangan bola meledak, pada saat itulah pasti noda ini menempel.

Aku membersihkan sisa rerumputan yang masih menempel di piyama. Aku menaruhnya dalam kotak bekas jam tangan di dalam laci di sisi tempat tidurku. Satu helainya masih kupegang.

Karena penasaran, aku jadi segar lagi. Kuputuskan untuk menyalakan komputer dan mencari berbagai informasi mengenai spesies rumput di tanganku. Siapa tahu aku bisa dapat penemuan penting tentang keberadaan dunia Carina.

Aku memasukkan kata kunci beragam jenis rumput unik di seluruh dunia pada peramban komputer. Aku membaca beberapa artikel dan menyusuri banyak gambar tanpa dapat hasil yang memuaskan. Tak ada jenis rumput yang sama.

Setelah puluhan artikel dan ratusan gambar, aku menyerah dengan rumput dan mulai mencari hal lainnya. Fenomena mimpi aneh yang kualami. Mungkin saja orang-orang yang Carina ceritakan mengunggah cerita mereka di dunia maya.

Berbagai artikel kuteliti namun ternyata tak ada yang sama persis dengan mimpiku. Yang paling mendekati hanyalah fenomena mimpi sadar yang kubaca di beberapa forum. Meski sekarang sudah larut malam, aku tetap melanjutkan penelitianku tentang mimpi sadar itu. Banyak orang membagikan pengalaman mereka saat masuk ke alam mimpi dalam keadaan sadar. Walau tak sepenuhnya sama, cerita mereka ada miripnya dengan ceritaku. Mereka tertidur, kemudian saat terbangun mereka sadar mereka sedang ada di dalam mimpi dan melakukan apapun yang tak bisa mereka lakukan di dunia nyata. Bahkan ada beberapa orang yang menceritakan jika mereka bertemu dengan artis terkenal dan mengobrol akrab dengan mereka. Kendatipun sama sekali tak ada cerita yang menyebutkan tentang Erdma, Carina, atau bola meledak.

Sebagian artikel yang kutemukan menuliskan tentang cara masuk ke dalam mimpi sadar. Mereka bahkan menjabarkan tiap langkah untuk bisa masuk ke dalamnya. Kubaca ada latihan yang bisa dilakukan agar berhasil melakukannya, termasuk tidur dengan rileks dan mengatur pernafasan sedemikian rupa. Terdengar mudah sekali kalau membaca tulisan ini, tetapi masih banyak syarat lain yang dibutuhkan setelah itu. Bagaimana mungkin aku bisa tertidur jika harus memikirkan banyak teori seperti itu? Memikirkan Ann saja sudah membuatku tak tenang.

Aku menyudahi kegiatan membacaku dengan sedikit frustasi. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 3.15. Sial, jam tidurku pasti akan sangat kurang. Kalau aku kesiangan, Ann sudah pasti akan marah. Aku merebahkan diri di kasur dan kuletakan ponsel tak jauh dari tempatku berbaring, dengan harapan aku akan terbangun bila Ann menelepon. Alarm biasanya tak cukup ampuh untukku.

Walaupun sudah kuposisikan tubuh senyaman mungkin, aku tetap tak bisa langsung tertidur. Rumput yang kutemukan tadi masih kupegang di ujung jariku. Aku terus memandanginya dengan ditemani temaram lampu tidur yang menenangkan, yang sayangnya tak membantu menjawab banyak pertanyaan di kepalaku.

Pikiranku kembali ke Carina. Apakah ia hanya bentuk khayalanku saja? Apa ia nyata? Lalu, apa aku bisa menemuinya lagi? Segala pikiran yang berhubungan dengannya hadir di kepalaku. Aku jadi semakin sulit tidur. Lama sekali aku terdiam sambil memandangi sehelai rumput aneh itu sambil memikirkan banyak kemungkinan tentang hidupku selanjutnya.

Jika saja aku bisa tahu apakah aku bisa masuk ke Erdma, aku mungkin tak akan merasa secemas ini. Kuharap perkataan Carina tentang tak ada yang bisa masuk dua kali tak benar. Aku sangat ingin melihatnya lagi.

Setelah beberapa waktu pikiranku berkutat dengan Erdma, Carina, dan segala macam tentang mimpi sadar, aku akhirnya merasakan kantuk yang hebat. Kumiringkan tubuhku sedikit sambil kudekap rumput itu di dada. Aku berdoa semoga aku bisa bertemu Carina. Selesai berdoa, kesadaranku hampir sepenuhnya hilang.

***

Aku berada di pusaran penuh warna yang membuat kepala pusing. Tubuhku melayang tak keruan ke segala arah tanpa bisa kukendalikan. Tak ada hal lain yang lebih kuinginkan selain keluar dari pusaran ini secepatnya dan menyentuh daratan.

Sekitar lima detik kemudian barulah aku terpelanting ke tanah empuk yang sensasinya sudah kukenali. Aku sudah pernah merasakan ini sebelumnya.

Aku kembali, kataku dalam hati sambil mengangkat kedua tanganku dan menggerakkan jemarinya. Kulihat sekeliling, suasana tempat ini hampir tak berubah sejak kemarin aku datang. Hanya saja sekarang tak ada matahari terbenam, diganti dengan panas terik karena matahari sedang berada tepat di atas kepalaku. Selebihnya hampir sama.

Baru saja ingin melihat ke laut, aku langsung teringat akan kejadian kemarin, bola meledak yang tiba-tiba meluncur dari bawah tebing. Aku lari karena tak ingin diserang untuk kedua kalinya. Tujuanku adalah batu besar yang kutemukan kemarin. Batuan kecil yang menghalangi tak menghentikanku. Aku harus menyelamatkan diri terlebih dahulu.

Begitu sampai, aku langsung mengintip untuk melihat apakah ada kawanan bola meledak di langit atau sekitar tebing. Mereka sama sekali tak ada.

Aku mengembuskan nafas lega karena tak ada monster yang menyerangku hari ini. Tapi kelegaan itu hanya berlangsung sebentar karena ada sesuatu yang menarikku dengan kuat. Aku meronta dan menjerit minta tolong, berharap Carina mendengarnya.

Sesuatu yang menarikku tak berhenti, ia tak mengendurkan tenaganya sedikitpun. Mataku ditutupi dengan tangannya sementara tangan yang satu lagi ia pakai untuk mengunci badanku. Pikiranku sudah sepenuhnya kalut. Aku takkan selamat kalau makhluk ini menyeretku ke kandangnya. Aku belum mau mati. Aku.. Aku.. "Carina! Tolong!" aku berteriak putus asa.

"Jangan berisik, aku kan sudah di belakangmu."

Tangan yang memegangku membalikkan tubuhku hingga menghadap ke arah pemiliknya, seorang wanita cantik berambut biru dengan pakaian yang sama seperti hari kemarin.

"K-kau!"

"Memang aku," balasnya dengan senyum lebar seolah ia sama sekali tak merasa bersalah. "Kau berharap ada siapa lagi?"

Masih dalam kondisi terguncang, aku hanya bisa memandanginya dengan tatapan tak percaya. "B-Bod-Bodoh! Kau bodoh, Carina!" Aku kembali menjerit. Karena lututku lemas, aku duduk bersandar di batu besar itu untuk mengurangi syok yang kurasakan.

Aku memegangi kepalaku dengan kedua tangan. Aku berhasil masuk lagi ke Erdma dan bertemu dengan Carina. Ini bukan hanya mimpi. Dunia ini memang ada, dan Carina adalah sosok yang nyata. Seperti kemarin, aku menampar pipiku, dan benar, rasanya sakit.

"Kalau kau perlu bantuan, aku bisa menamparmu lebih keras." Wajah Carina yang dipenuhi senyum jahil kini sudah berada di depan wajahku.

"Tak perlu," jawabku sambil memalingkan wajah darinya.

Walaupun ia membuatku kesal dengan sambutan bodohnya, aku tak bisa marah bila melihat wajahnya yang sangat ceria. Wajah cantiknya sekali lagi berhasil meluluhkan egoku.

"Kau jangan marah dong, Zane," ujar Carina yang kini juga duduk bersandar di sebelahku. "Aku hanya sedikit menggodamu. Kau sama sekali tak terluka, kan?"

"Tubuhku tidak. Tapi harga diriku sungguh ternoda." Aku mengatakan itu dengan nada merajuk.

Carina tampak tak menyesal telah membuatku panik. Aku bahkan mendengarnya menahan tawa. "Andai saja kau lihat bagaimana ekspresimu tadi," ledeknya lagi.

Aku kembali memalingkan wajahku darinya. Entah sudah semerah apa wajahku setelah dikerjai, dirayu, lalu diledek olehnya. Tapi walau bagaimanapun, paras cantiknya tak bisa membuatku sepenuhnya marah.

"Kau ini memang sungguh ada ya?" tanyaku setelah menengok ke arahnya lagi. Aku tak tahu mengapa aku menanyakan ini. Mungkin karena sifatnya yang tak terduga, dan kupikir Carina akan tersinggung kutanya begitu. Tapi ternyata tidak.

"Coba deh pegang tanganku," jawabnya sambil menjulurkan kedua tangannya.

Kuterima tawarannya dengan agak hati-hati. Pelan-pelan kuangkat tanganku untuk menggenggam tangannya. Aku bisa merasakannya, aku bisa menyentuhnya. Tangannya terasa halus dan terasa sedikit dingin.

Carina memandangiku seakan meminta konfirmasi, dan karena aku hanya diam, ia menarik tanganku ke arah pipinya. Aku terkejut dengan sikap yang tiba-tiba itu. Tanganku gemetar hebat karena kikuk. Maafkan aku Ann.

"Apa aku masih tak terlihat nyata untukmu?" tanya Carina dengan bibir cemberut yang dibuat-buat. "Aku sedih tahu. Aku kan sudah rela datang jauh-jauh hanya untuk menyambutmu."

Aku tak tahu semerah apa wajahku dibuatnya saat itu. Aku kehabisan kata-kata.

"Omong-omong, bagaimana kau kembali, Zane?" tanya Carina. Ekspresinya serius kali ini. Ia masih tak berusaha melepaskan tanganku dari pipinya, tapi karena tak tahan dalam posisi seperti itu terus, aku sendiri yang melakukannya.

Aku menjelaskan tentang pakaianku yang penuh noda tanah dan rumput yang menempel di belakangnya. Aku juga bercerita tentang bagaimana aku mencari berbagai informasi di internet semalaman sebelum akhirnya tidur dan tiba di Erdma. Aku perlu menjelaskan lebih banyak tentang internet pada Carina karena ia sama sekali tak mengerti.

Carina mengangguk-angguk. "Saat kau terjatuh dari tebing, aku tak dapat melihat apapun karena gelap. Aku mencarimu di bawah tapi tubuhmu sama sekali tak bisa ditemukan. Aku tak tahu apa kau kembali ke duniamu atau hanyut terbawa ombak. Apa yang terjadi?"

Aku lanjut bercerita. Mulai dari ketika aku terbangun karena jatuh ke lantai, juga bagaimana aku memikirkannya sampai perasaanku tak tenang. Kekhawatiran untuk tak bisa bertemu dengannya lagi juga kuceritakan. Aku sama sekali tak membahas tentang Ann padanya.

Ia mendengarkan dengan seksama tanpa banyak berbicara. Di balik sikapnya yang teramat jahil, ia pendengar yang baik. Ia sama sekali tak memotong ceritaku.

"Memang aneh," Carina manggut-manggut. "Tapi aku senang kau bisa datang lagi. Kau bisa jadi pacarku kalau begitu." Ia mengakhiri kata-katanya sambil memelukku.

Cukup sudah dengan semua sikapnya ini, Aku pasti akan dihabisi Ann kalau ia tahu.

Carina melepaskan pelukannya setelah beberapa lama. Lalu aku langsung teringat akan kejadian kemarin saat ia akan mengajakku ke suatu tempat. "Oh ya, bagaimana kalau kita lanjut ke tempat yang akan kau tunjukkan kemarin? Aku belum tahu kita akan ke mana."

"Benar," kata Carina. "Kita tak bisa duduk di sini terus. Ayo langsung saja kita berangkat."

Kami berdua bangkit bersamaan untuk menuju tempat teman yang diceritakan Carina. Ia berjalan mendahuluiku di depan. Saat ia berjalan di depanku, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Aku benar-benar tak bisa mengatakannya, tapi hal itu cukup mengganggu.

Di tengah jalan, Carina tiba-tiba menengok ke arahku. "Kau takkan terjatuh lagi kan?"

"Tidak kok," jawabku yakin.

Carina masih ragu-ragu. "Kau pakai saja sepatuku deh."

Kami berhenti sejenak untuk memakai alas kaki untukku. Ukurannya hanya sedikit kekecilan, tapi ini lebih baik daripada bertelanjang kaki.

Tak lama kemudian kami sampai di jalan terputus tempatku terjatuh sebelumnya. Carina langsung melompat. Lompatannya tanpa cela dan dalam sekejap saja ia sudah mendarat di sisi seberang. Kini giliranku.

Karena pernah gagal, aku merasa gugup. Bahkan lebih gugup daripada hari kemarin. Karang di bawah rasanya lebih menakutkan dibanding sebelumnya.

"Kau pasti bisa, Zane!" Carina menyemangatiku.

Aku sudah berjanji pada diri sendiri dan juga Carina untuk tak terjatuh lagi kali ini, dan aku tak boleh gagal menepatinya. Dengan satu tarikan nafas panjang, aku mengambil ancang-ancang. Lompatanku kali ini lebih tinggi dan jauh. Aku berhasil menjejakkan kakiku di sisi seberang. Namun karena tak terbiasa melompat sejauh ini, tubuhku sedikit goyah. Beruntung Carina langsung menarikku. Aku selamat.

"Aku berhasil!" teriakku dengan senyum lebar ke arah Carina.

"Pacarku memang hebat!" serunya, juga dengan senyum lebar.

Kami melanjutkan perjalanan kami melewati jalan kecil itu sampai ke bawah. Deburan ombak yang membahasi pakaian tidurku ditambah tiupan angin laut, membuat suasana di sini dingin sekali. Beda dengan keadaan di atas tebing yang panasnya menyengat. Aku bisa melihat karang-karang yang sebelumnya tampak kecil, kini ternyata amat berbeda bila dilihat dari dekat. Banyak sekali karang di bawah sini yang memiliki tinggi hampir dua meter, lebih tinggi dari kami berdua. Karang-karang itu tersebar dengan formasi yang tak beraturan di sepanjang sisi teluk.

Dari karang yang lebih kecil kulihat beberapa ekor hewan yang mirip kepiting berwarna merah. Makhluk itu punya capit yang jauh lebih besar dari tubuhnya yang mungil. Tanduk berjejer memenuhi bagian punggungnya. Aku segera menjauhi hewan itu.

"Mereka tak berbahaya kok. Paling jarimu saja putus bila terkena capitnya." Carina tertawa melihat tingkahku.

Kami melanjutkan perjalanan menyusuri dinding tebing menuju tempat yang tak kuketahui. Walaupun kini sudah pakai alas kaki, jalanan yang licin dan tak rata tetap saja membuatku kesulitan melangkah. Carina tak kesulitan karena ia sudah tahu bagian mana yang aman untuk diinjak. Aku menyuruhnya untuk sedikit melambat.

"Ih, kau kugendong saja sini." Carina sewot. Tapi sekarang ia melambat dan menunjuk ke bagian mana saja yang sebaiknya kupijak.

Di ujung jalan yang terlihat buntu, Carina berhenti. "Kita sudah hampir sampai."

Baru saja aku ingin mengeluarkan kata-kata protes, Carina menyelinap di antara dua karang besar yang semula kukira berhimpitan. Ternyata ada jalan yang lebih kecil lagi di antara keduanya. Aku mengikutinya masuk melalui jalan yang sama.

Kami masuk ke dalam gua tersembunyi yang sebelumnya sama sekali tak terlihat. Jalan di sini cukup lebar untukku dan Carina jalan berdampingan. Lorong gua diterangi oleh cahaya obor yang di tempatkan di beberapa sudut. Aku bersyukur karena api dari obor itu membuatku merasa hangat.

Jalan di gua ini cukup rata, tak banyak kerikil atau karang yang menusuk kakiku seperti jalan tepi tebing. Kuperhatikan gua ini memiliki banyak cabang yang entah mengarah ke mana. Dari salah satu cabang gua, aku sempat mendengar ada suara auman berat yang membuatku merinding. Aku merapatkan tubuhku pada Carina. Ia sepertinya sudah tau jalan mana yang harus kami lalui.

Kami terus berkelok sampai aku tak lagi menghafal belokan atau cabang mana yang sudah kami lalui. Kami memasuki beberapa bagian gua yang membuatku kagum dan lupa akan bagian sebelumnya. Ada sebuah lorong yang dipenuhi stalagmit dan stalaktit dengan warna-warna cerah, sementara lorong lainnya yang kami masuki dipenuhi makhluk-makhluk kecil bercahaya seperti kunang-kunang. Bedanya cahaya mereka berwarna biru dan merah.

Setelah beberapa kali mesti ditarik Carina karena aku terlalu lama berhenti, kami sampai di lorong besar yang lebih mirip sebuah ruangan persegi panjang. Dinding ruangan ini dipenuhi berbagai macam senjata dengan bentuk yang kukenali maupun yang masih asing. Yang paling mencolok adalah dua kapak berukuran lebih dari satu meter yang dipajang menyilang. Mata kapak itu kuyakini bisa membelah apa saja dengan mudah. Selain kapak, aku juga bisa melihat beragam jenis pedang, tombak, sabit, juga ada perisai dan baju jirah. Semuanya berukuran lebih besar daripada yang pernah kulihat di manapun. Siapapun yang membuat senjata ini juga pasti bertubuh besar dan menakutkan.

"Di sini, Zane. Ini temanku."

Teriakan Carina menyadarkanku dari rasa takjub pada semua senjata ini. Aku berlari kecil ke arahnya. Carina masuk ke ruangan yang lebih kecil dari ruang senjata. Aku mengikutinya.

Aku menelan ludah saking tak percayanya dengan siapa yang kulihat sedang bersama Carina.


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C4
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login