Download App
18.51% Indigo / Chapter 5: Chapter 4

Chapter 5: Chapter 4

Meghan dan Reva kini tengah duduk di kursi meja makan. Hanya ada dua piring nasi goreng tanpa lauk pauk apa pun. Reva terlihat begitu menikmati makan malam mereka, sedangkan Meghan sang kakak hanya bisa menatap adiknya dengan tatapan iba.

“Maaf.” Itulah kata yang tiba-tiba saja Meghan ucapkan, hingga membuat Reva menatapnya dengan bingung.

“Maaf untuk apa?” tanyanya dengan mulut yang penuh dengan makanan.

“Kita harus makan seadanya seperti ini,” jawabnya dengan lembut.

Reva menelan makanannya, ia meraih gelas di depannya lalu meneguknya sedikit. “Kak, yang penting kita makan hari ini.” Gadis itu menorehkan senyuman manisnya, lalu kembali melanjutkan makannya.

“Dan hari ini, kita juga akan terpaksa tidur di sini. Tabungan kakak tidak cukup untuk membayar uang muka kontrakan,” ujarnya lagi.

Reva menatap kakaknya dengan sendu. “Tidak apa Kak, aku mengerti. Sekarang makanlah, atau aku yang akan habiskan.”

Mendengar jawaban adiknya membuatnya sedikit lega. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi, jika Reva memintanya untuk segera pindah. Meskipun awalnya ia bingung kenapa ingin kembali ke rumah itu, tapi setelah dipikir lagi ia tidak bisa membayar uang muka kontrakan. Tabungannya sudah hampir habis, ia harus menghemat untuk biaya makan beberapa hari ke depan.

Meghan kini tengah berada di kamarnya seorang diri, begitupun dengan Reva. Mereka tengah sibuk dengan urusan masing-masing. Waktu menunjukkan jam delapan malam, suasana hening tanpa ada suara televisi atau apa pun itu. Hanya suara semilir angin malam yang menemani Meghan.

Tap ... Tap ... Tap ...

Suara langkah kaki itu mulai terdengar lagi, Meghan sedikit terdiam. Tangannya berhenti sejenak di atas keyboard laptopnya, dengan bersusah payah ia menelan ludah. Dengan napas yang menggebu, debaran di dadanya yang semakin kencang, serta tubuh yang ketakutan. Ia mencoba untuk tetap tenang dan memeriksa suara langkah kaki yang ia dengar tadi.

Perlahan ia berjalan menuju pintu kamarnya, tangan yang gemetar serta pikiran yang tak karuan. Ia memegang gagang pintu dan membukanya secara hati-hati. Menghela napas berkali-kali dan mengumpulkan keberanian. Ia melihat kesana kemari, tak ada sesuatu yang mencurigakan. Ia menoleh ke arah kamar Reva yang berdampingan dengan kamarnya. Pintu itu tertutup dengan rapat. Sejenak ia terdiam, hingga tiba-tiba kembali terdengar suara aneh di dalam kamarnya.

Huuu ... Huuu ... Huuu

Suara anak kecil menangis, sontak ia menoleh ke dalam kamarnya. Tak ada siapa pun di sana. Namun, suara tangis itu begitu jelas di telinga Meghan. Dengan napas yang menggebu, ia mencoba menerawang seisi kamarnya. Hingga suara anak kecil yang memanggilnya kembali membuatnya terkejut.

"Kakak?" sapa Reva yang berdiri di belakang Meghan.

"A-ah, Reva ada apa?" tanya Meghan menyembunyikan perasaan kagetnya.

"Kakak sedang apa?" Dengan wajah kebingungan, Reva memperhatikan gerak gerik Meghan.

"Ta-tadi, kakak hanya cari angin saja," ucap Meghan beralasan.

"Oh ... aku tidak bisa tidur Kak, mungkin karena tadi siang aku tidur terlalu lelap," ujar gadis itu.

"Kamu mau kakak temani?" tanya Meghan dengan tatapan yang lembut.

Reva menganggukan kepalanya. "Hmm, aku mau."

Meghan pun mengusap kepala Reva. "Baiklah, kakak akan menemanimu tidur."

Reva tersenyum riang mendengar ucapan Meghan. Ia pun segera berjalan menuju kamarnya, diikuti oleh Meghan di belakangnya.

"Kak, besok kita akan pindah, 'kan?" tanya Reva, ia duduk di atas kasur dengan bersila.

Meghan ikut duduk di pinggiran kasur adiknya itu. "Iya, besok kita pindah."

"Kak, tadi aku mendengar suara perempuan di kamar mandi," ucapan Reva membuat Meghan tercekat.

Ia tak menyangka, kejadian yang dialaminya ini terjadi juga pada Reva. Ia merapatkan dirinya dengan adiknya itu. Mencoba untuk tetap terlihat tenang, Meghan memeluk adiknya dengan erat.

"Itu hanya perasaanmu saja, kakak tidak mendengar apa pun."

Reva menatap Meghan dengan lekat. "Tapi tadi itu suaranya terdengar dengan jelas Kak, aku takut."

"Tidak apa, sekarang ada kakak di sini, kita akan baik-baik saja."

"Ku harap begitu," ujar gadis itu.

"Sudahlah, sekarang kamu tidur," kata Meghan dengan lembut.

"Hmm, baiklah." Reva pun merubah posisinya. Ia membaringkan dirinya dengan memeluk Meghan dengan erat.

Meghan menyelimuti Reva dan dirinya. Ia balas memeluk Reva dengan erat. Pikirannya yang masih tak karuan, membuatnya tak bisa tidur dengan nyenyak. Hembusan angin mulai kembali terasa. Gorden kamar yang tertiup angin, membuat Meghan terdiam. Pasalnya, dalam sibakkan gorden yang tertiup angin itu ia melihat sepintas bayangan putih melintas. Tak terlalu memperhatikan lagi jendela itu, Meghan kembali dibuat terdiam dengan suara langkah kaki.

Tap ... Tap ... Tap

Ia mempererat pelukannya pada Reva yang kini tengah tertidur dengan lelap. Tak berani untuk menoleh dan memeriksa suara langkah kaki yang semakin terdengar dengan jelas. Ia mencoba untuk menutup matanya, mencoba untuk menghilangkan pikiran-pikiran negatifnya. Namun, suara keran air yang menetes kembali membuatnya terkejut.

Tik ... Tik ... Tik

Kali ini dia benar-benar penasaran, suara yang berasal dari kamar mandi Reva. Ia berjalan dengan perlahan. Membuka pintu itu dengan pelan. Namun, lagi-lagi tidak ada sesuatu di sana. Meghan kembali berjalan menghampiri Reva yang terlelap. Menyelimuti dirinya dengan selimut kesayangan Reva. Ia benar-benar tidak bisa tidur dengan pikiran yang kacau seperti saat ini. Suara dering telepon yang membuat Meghan kembali berdebar kali ini. Dering telepon rumah itu berasal dari ruang tamu.

"Siapa yang telepon malam-malam begini?" ucap Meghan yang melihat ke arah jam dinding di kamar Reva. Pukul 23.30, Meghan memberanikan diri untuk berjalan menuju ruang tamu, karena suara dering telepon yang tak berhenti. Ia mengangkat gagang telepon rumahnya.

"Ha-halo?" ucap Meghan dengan terbata-bata.

Tak ada suara di ujung sana, yang ada hanya sebuah keheningan.

"Halo, siapa ini?" tanya Meghan.

Percuma, tak ada suara apa pun di sana. Karena tak ada jawaban, ia pun menutup telepon itu. Perlahan ia menarik napas, dan berjalan meninggalkan ruang tamu. Baru beberapa langkah, telepon itu kembali berbunyi. Sontak Meghan kembali terhenti, ia menoleh ke arah telepon itu. Dan kembali harus mengumpulkan keberaniannya untuk mengangkat telepon itu.

"Halo?"

Lagi-lagi tak ada suara, Meghan terdiam. Lalu ia kembali menaruh gagang telepon itu. Ia tak langsung pergi, hanya terdiam menatap telepon itu, dan sesaat kemudian alat itu kembali berdering. Meghan langsung mengangkat telepon itu, berharap kini sang penelepon mau menjawab ucapannya.

"Halo? Ini siapa?"

Bukan jawaban yang Meghan harapkan, kali ini ia mendengar seperti sebuah napas yang dihembuskan di ujung sana. Bulu kuduk Meghan kembali dibuat berdiri, seruan napas itu semakin jelas terdengar. Ia pun buru-buru menutup telepon itu, dan berlari ke arah kamar Reva dengan napas yang menggebu.

Di pintu dapur, sesosok wanita berbaju putih dengan wajah yang tak bisa digambarkan itu tersenyum lebar. Mulut yang koyak, dengan darah yang menetes di setiap wajahnya. Meghan menutupi dirinya dengan selimut Reva. Dengan masih mengatur napas, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Ia melihat ke arah layar ponselnya, nomor yang tak dikenal. Dengan ragu, ia mengangkat ponselnya yang terus saja berbunyi.

"Ha-halo?" Dengan suara gemetar, Meghan mencoba untuk tetap bicara.

"Kamu di mana?" tanya seorang pria di ujung sana.

"Si-siapa ini?" Tak menggubris pertanyaan darinya, ia hanya berbalik tanya pada pria yang menghubunginya di tengah malam.

"Ini aku Erwin, di mana kamu sekarang?" ucap Erwin yang terdengar khawatir.

Mendengar hal itu, Meghan tak kuasa menahan tangisnya.

"Hei? Halo? Kamu masih di sana? Kamu baik-baik saja?" Pertanyaan itu membuat Meghan menahan emosinya.

"Aku takut," ucap Meghan dengan pelan dan suara yang bergetar.

Dheg!!

Erwin terdiam sejenak, ia tahu jika gadis itu tengah ketakutan dan menangis. "Tunggu aku! aku akan ke sana sekarang." Pria itu tahu jika Meghan kini tengah berada di rumah angkernya.

Mendengar hal itu, Meghan hanya bisa pasrah. Berharap Erwin datang dengan secepat mungkin. Ia menatap adiknya dengan lekat. Dan memeluknya dengan erat. Erwin mengambil jaket dan juga kunci motornya. Waktu menunjukkan pukul 00.15, Erwin melajukkan motornya dengan cepat. Wajahnya terlihat khawatir, mengingat rumah yang kini tengah ditempati oleh dua orang gadis itu adalah rumah angker.

"Ingin mengajakku bermain rupanya," gumam Erwin.

……

To be continued …


next chapter
Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C5
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login