"Jadi akhirnya kau terbebas?"
Reyhan bertanya disela aktivitasnya mengirim pesan dengan kekasih barunya, terlalu sibuk hingga tidak peduli pada Devian yang tengah memandangnya didepan sana dengan pandangan mematikannya. Ia lupa jika tuan besar itu paling tidak suka bila tidak diperhatikan, dan ia dengan bodohnya menggali lubang kuburnya sendiri.
"Mungkin" Devian menjawab amat singkat dan dingin, ia tengah memikirkan hukuman apa yang pantas untuk orang-orang yang mengabaikan dirinya, seketika aura dominasi terasa begitu saja, membuat Reyhan tersadar dan secara refleks mengumpati sikapnya seraya mensakukan kembali ponselnya.
"Ke-kenapa menatapku begitu?"
"Setelah kau keluar dari tempat ini, serahkan laporan keuangan bulan ini padaku. Segera!"
"Gila!! Itukan laporan untuk minggu depan, aku belum menyelesaikannya Devian"
"Apa aku terlihat peduli, berikan padaku hari ini, atau kalau kau tidak mau bekerja disini lagi. Kau bisa mengangka—"
"Baiklah-baiklah tuan besar yang terhormat.. tidak perlu mengancam begitu" potong Reyhan cepat, ia tidak bodoh untuk membiarkan Devian melanjutkan kalimatnya, sebuah kalimat sakral yang pantang diucapkan. Baginya Ucapan adalah doa, dan pantang bagi Reyhan membiarkan Devian berbicara hal mengerikan apalagi menyangkut pekerjaannya. Gila saja! Reyhan masih butuh uang untuk memanjakan kekasihnya.
"Kau ini kenapa sih?" Reyhan bertanya kembali saat menyadari raut wajah Devian tampak kusut seperti benang layangan. "Kenapa apanya" Sahut Devian "Bukankah seharusnya kau senang bisa terbebas darinya? Itukan yang kau mau?" Devian tidak menjawab, ia sendiripun tidak tahu kenapa dia uring-uringan seperti ini, aneh rasanya mendengar bahwa Nada ingin bercerai sedangkan ia mulai terbiasa dengan kehadirannya, meskipun ia sering tidak mempedulikan keberadaan Nada, ia selalu disambut dengan baik oleh Nada. Oleh sebab itu membayangkannya saja sudah terasa aneh. "Jangan-jangan kau sudah mulai mencintainya?"
"APA!?!" Teriakan Devian yang terlihat berlebihan dimata Reyhan sukses membuat pria berkulit coklat tersebut terlonjak dari sofanya. Kalau saja bukan sahabat dan bos sudah dipastikan ia tendang pria itu.
"Aku jatuh cinta dengannya? Apa kau sudah gila, tidak sudi aku mencintai wanita yang tengah mengandung buah cintanya dengan pria yang bahkan sampai sekarang tidak pernah kau beri tahu aku siapa bajiangan yang telah melimpahkan kelakuan brengseknya padaku? Aku jadi meragukan bagaimana caramu bekerja" Mata Reyhan membelalak mendengar penjabaran yang membuat telinganya sakit. Apa katanya tadi? Apa dia sedang diragukan disini? Oh Reyhan tidak bisa diperlakukan seperti itu!
"Kau meragukan pekerjaanku? Wah kau benar-benar Devian. Istrimu itu sungguh seorang introvert yang tidak pernah keluar rumah, tidak pernah bersosialisasi bahkan tidak ada yang tahu bahwa dia pernah memiliki kekasih... kau seharusnya—oh tungggu!! Shit Devian!"
Kerutan Devian tercetak jelas ketika Reyhan bersikap seolah-olah ia baru saja menemukan hal menarik "apa?"
"Tidakkah kau merasa aneh?" Reyhan kembali bertanya dengan raut wajah yang menyebalkan. Katakan saja maksudnya apa dan jangan bertele-tele dan membuat Devian geram.
"Aneh bagaimana? Katakan yang jelas bodoh" sembur Devian dan dibalas dengusan. Tabah Reyhan, jangan racuni atasan tengikmu Reyhan membatin, sungguh hari ini Devian menyebalkan sekali seperti gadis yang baru saja datang bulan.
"Latar belakang istrimu yang seperti itu sangat bertolak belakang dengan kondisinya saat ini, setelah kupikir-pikir ia bahkan sangat canggung bertemu dengan pria lain selain dirimu. Jika benar Nada wanita seperti yang kau pikirkan bukankah seharusnya dia terlihat agresif? Atau Seharusnya bertemu dengan pria bukanlah suatu masalah bukan?"
"Bisa saja dia memang pandai berakting"
"No Devian! Aku tahu sekali wanita yang mudah memberikan tubuhnya seperti apa, dan Nada jelas jauh dari kriteria itu"
"Lalu apa yang ingin kau katakan?" Devian bersungut, ia masih tidak paham kemana arah pembicaraan mereka.
"Kurasa kehamilan Nada bukan sesuatu yang disengajanya. Apa dia korban pemerkosaan? Atau korban penjualan manusia?"
Mendengar kalimat yang baru saja dikatakan Reyhan, Devian terhenyak pada sandaran kursi kerjanya. Tubuhnya seketika lemas, dengan otak yang tiba-tiba saja memutar kembali satu bulan ini bersama dengan Nada. Jika diingat kembali, Nada memang terlalu canggung dengan seorang pria bahkan terkadang dengannya sendiri, bagaimana takutnya Nada saat Devian mendekatinya dan berusaha untuk tidak bersentuhan lalu malam dimana ia ketakutan setengah mati dikala hujan. Tapi bukankah memang seharusnya seperti itu sikap yang dilakukan Nada jika mengingat prilaku Devian yang buruk terhadapnya? Sial! Devian harus mencari tahu tentang kebenaran ini. Dan jika memang benar, oh Tuhan dia sudah sangat brengsek selama ini.
✖️✖️✖️
"Sudah kumasukan semua bu"
Pria itu melongok keluar jendela mobilnya ketika ia mengenali suara yang baru saja ia dengar, pandangannya berpendar mencari sumber suara dan menemukan seorang wanita tepat di depan mobilnya tengah menepuk-nepuk tangannya tampak seperti membersihkan debu ditelapak tangannya. Sebelum ia memasuki mobilnya.
Gadis itu membelakanginya tidak terlihat bagaimana rupanya, tapi ia merasa tidak asing, dan saat kembali mendengar suaranya barulah ia sadar dengan bola mata yang membesar karena setelah sekian lama akhirnya ia menemukan apa yang ia cari, dan benar saja saat wanita itu menoleh, jantungnya terasa ingin meledak saat itu juga, meski tidak pasti apakah wajahnya seperti itu namun perasaannya yakin bahwa gadis itu yang ia cari selama ini. Buru-buru pria itu keluar dari mobilnya ingin menghampiri perempuan itu, tapi pergerakannya tertahan saat pamannya tiba-tiba saja muncul didepan pintu mobil.
"Tuan muda, apakah anda bersedia menunggu? Pesanan anda tersedia dalam 10 menit lagi?"
"Ya paman" tak kunjung pergi pria tua itu kembali bertanya.
"Apakah tidak terlalu lama? Anda sudah ditunggu seseorang"
"Tidak-tidak aku menginginkannya" Pandangan pria itu tak lepas dari perempuan yang kini sudah membuka pintu mobilnya dan hendak masuk kedalam, maka dengan tergesa pria itu membuka pintu mobilnya yang ternyata pamannya masih saja berdiam diri didepan sana dengan wajah kebingungan, dan yang paling membuatnya jengkel pria tua itu masih saja bertanya perihal pesanan junk food yang hendak dibelinya. Tidakkah Robb menyadari Tuannya dilanda cemas sekaligus kesal. Cemas karena ia bisa saja tak mendapatknnya kembali dan kesal dengan tingkah paman bodyguardnya yang merangkup sebagai asisten pribadinya.
"Ada menu lain yang—"
"Persetan dengan itu semua paman!! Aku tidak peduli dengan apa yang akan kau beli.. sekarang minggir aku telah menemukannya" meski tidak mengerti dengan maksud tuannya, pria tua itu tetap menggeser tubuhnya memberikan akses tuannya keluar.
Pada saat ia telah keluar ternyata mobil itu telah melaju meninggalkannya jauh di belakang. Maka umpatan yang tak lagi bisa ia tahan keluar dari bibir sexynya. Ia memutar tubuhnya memandang pria tua yang menatapnya bingung juga perasaan bersalah, meski tidak yakin, tapi sepertinya memang ialah penyebab tuannya marah.
"Paman Robb membuatku kehilangan kesempatan mendapatkannya!!!! Astaga dia pergi sekarang." Robb dari Robby yang dipanggilnya paman menundukkan wajahnya bersalah, ia mulai tahu maksud dari perkataannya, pantas saja Tuannya marah besar saat ini.
"Ma-maafkan saya tuan Rafael" ujarnya pelan, terdengar hembusan nafas gusar keluar dari celah bibir Rafael, lantas tangannya bertolak pinggang menyebut angka yang segera diingat-ingat Robb.
"7213!! Catat dan ingat-ingat nomor itu!. Karena paman yang menghilangkannya, aku tidak mau tahu temukan siapa pemilik mobil berplat itu. Atau kalau tidak aku tidak akan segan memberi pelajaran kepada paman. Meskipun paman sudah kuanggap ayahku sendiri. Paman tahu bagaimana aku tidak pernah main-main dengan ucapanku"
Setelah meneguk salivanya dengan kasar, Robb mengangguk sebagai jawaban. Ketika marah Rafael benar-benar menjadi sosok yang berbeda. Lalu setelah mengatakannya, Rafael kembali masuk kedalam mobilnya dengan perasaan dongkol. Malam ini Ia harus pergi ke club untuk menghilangkan peningnya menghadapi masalah yang bahkan kelihatannya seharusnya mudah untuk diatasi. Dan kenyataan ia menyia-nyiakan kesempatan emas itu, amarahnya menjadi sulit untuk ia kontrol.