Download App
78.78% He's My Love Hero / Chapter 26: Pengakuan Meysa

Chapter 26: Pengakuan Meysa

"Heh Edo! Si bos kenapa?"

"Kepo aja jadi orang, udahlah gue juga ikutan cabut," jawabnya ketus.

Sepulang sekolah, Aslan jamin dirinya tidak akan datang untuk pergi mewakili sekolah ini.

Meysa sudah lama menunggu dengan guru yang lain, di depan bus. Sayangnya cowok itu tak juga muncul.

"Meysa, apa kamu gak teleponan atau berkabar sama Aslan? Bukannya kalian dekat?" tanya kepala sekolah ibarat sindiran bagi Meysa.

"Tidak tahu, Pak."

"Ke mana anak itu. Bisa-bisa kita terlambat karena menunggunya. Coba kamu hubungi dia Meysa." Sejujurnya cewek itu malas sekali melakukannya. Tapi, kemauan guru BK tak ada siapapun yang berani membantahnya.

"Lan, itu handphone dari tadi bunyi kenapa dibiarkan begitu saja?"

"Gak penting."

"Biar gue saja yang angkat kalau gitu." Tama malah memancing emosi cowok itu.

"Jangan sentuh atau Lo gue hajar?" Pilihan yang sangat memberatkan.

"Iya deh, daripada babak belur."

"Gimana Meysa, bisa?"

"Gak diangkat, Bu," jawabnya dengan ekspresi datar.

"Apa kita tinggal saja? Atau nggak, kita suruh Bima yang ikut?" Sejujurnya Meysa setuju sekali dengan keputusan tersebut, tapi dia merasa tak adil saja karena Aslan mungkin sudah bekerja keras untuk sampai di titik ini.

"Tidak bisa begitu, nama yang didaftarkan bukannya Aslan?" tanya Meysa.

"Benar yang dikatakan Meysa, Pak," sahut guru BK itu.

"Pak, Bu, saya minta waktunya sebentar. Biar saya cari Aslan," ucapnya memotong pembicaraan.

"Baik Meysa, waktu kamu tidak lama hanya sepuluh menit dari sekarang." Secepat itu yang kepala sekolah berikan, Meysa tak yakin bisa menjamin dirinya kembali bersama dengan Aslan nanti. Tapi, tak ada salahnya dia berusaha. Jika lelaki itu tidak datang, semuanya akan batal dan mimpinya untuk membanggakan mamanya akan hilang.

Cewek itu mencoba mengingat basecamp Aslan dan anak buahnya. Seingatnya tempat itu tak begitu jauh dari sekolah mereka. Namun, jika hanya berlari, pastinya waktu akan habis sebelum dia bertemu dengan Aslan. Untung saja sebuah ojek datang di depannya.

"Adek mau ke mana? Kelihatannya buru-buru banget?"

"Bapak ojek, ya? Tolong antarkan saya ke gang depan, plis, nanti saya janji deh, bakalan bayar berapapun, dua kali lipat juga saya kasih," bujuknya.

"Ya sudah Neng, naik. Padahal saya sebenarnya mau pulang, makan, tapi gapapa deh, rejeki gak biak ditolak," jawabnya akhirnya menyetujui.

Dua menit untuk perjalanan. Edo yang hampir saja keluar dari basecamp, untuk membeli makan, kini kembali berlari masuk.

"Lan!! Ada kabar buat Lo!! Gue jamin, pastinya Lo suka!" teriaknya.

"Apaan sih, Do! Berisik banget ngerusak suasana aja," kesalnya.

"Cewek Lo, datang ke sini."

"Hah? Siapa?"

"Astaga, itu si Meysa," jawabnya.

"Lo seriusan? Berani banget dia ke sini. Gue tahu, pasti karena itu. Nanti kalau dia ke sini cariin gue, bilang aja di belakang," ucapnya segera mengambil jaket lantas menyingkir.

"Parah bos kita, kayaknya bakalan ada adegan yang ...."

"Aslan gak kayak gitu!" bentak Edo.

"Iya nih, Tama kalau bicara gak pernah bener, selalu saja ngawur!" Sorakan teman-teman yang lain berhenti, begitu melihat ada cewek cantik di ambang pintu.

"Mimpi apa gue semalam, didatangi cewek cantik, Bro!" Mulut Tama selalu saja tak bisa diam, meski hanya semenit lamanya.

"Diem, atau Lo mau dihajar sama bos kita," sahut yang lain.

"Gak seru amat, iya deh, ini diam." Tama kembali duduk di sembarang tempat.

Keringat dingin seolah membasahi sekujur tubuh Meysa. Cewek itu memberanikan diri untuk melangkah maju, mendekati segerombolan geng yang hampir ditakuti di seluruh sekolahnya.

"Gila, nyalinya gede juga pantes bos kita sampai tergila-gila sama dia."

"Aslan gak ada di sini?" Pertanyaan itu yang pertama kali keluar dari mulutnya.

"Mau ngapain nyari bos kita, kangen ya?" tanya Tama menggoda.

"Husstt! Dia ada kok, Mey di belakang sana," tunjuk Edo.

"Boleh minta dianterin gak?"

"Tentu saja."

Meysa mengikuti langkah Edo, di sana memang hanya cowok itu yang dia kenal dengan akrab selain Aslan.

"Itu dia, gue tinggal ya," pamitnya.

Aslan tampak duduk sendirian, di atas dinding pagar. Dengan satu kaki diangkat, layaknya seorang preman pasar.

"Mau ngapain Lo, ke sini?"

Meysa pikir, sepertinya cowok itu punya indra keenam, atau penglihatan lain, karena bisa membaca keberadaannya tanpa harus menoleh ke belakang.

"Lan, Lo gak lupa 'kan kalau hari ini harusnya kita berangkat?"

Cowok itu melompat turun, dan kini berada tepat di hadapan Meysa.

"Gue sengaja, kenapa emangnya?"

"Kepala sekolah bisa marah kalau tahu ini," jawabnya.

"Dari awal juga gue terpaksa buat ikut ini. Jadi, gak ada salahnya kalau gue gak berangkat."

"Tapi, Lo udah punya tanggung jawab, mereka percaya sama Lo, Aslan," sahut Meysa.

"Sayangnya gue gak mau dipercaya."

Melihat kedua mata Meysa berkaca-kaca, rasanya ingin Aslan menghapusnya. Tapi, lagi-lagi dia harus menjaga jarak dengannya.

"Kepala Lo, kenapa? Kena bola voli atau kebentur di mana? Perasaan kalau gue yang jagain gak sampai luka kayak gitu," sindirnya sekaligus berniat mengalihkan pembicaraan.

"Kejatuhan rak buku di perpustakaan." Meysa menjawab sembari menghapus air matanya.

"Tapi, Lo gak kenapa-kenapa?"

Aslan melihat dari atas sampai bawah, takutnya ada cidera serius yang cewek itu alami.

"Gue aman. Hati gue yang sakit," jawabnya ketus.

"Lo yang mulai Mey," lirih Aslan.

"Maaf, ucapan gue waktu itu mungkin buat Lo sakit hati. Jujur, gue emang beneran kecewa, Lo selalu saja marah tanpa sebab, sama Kak Aldo. Gue cuma pengen, punya cowok yang gak cemburuan dan penyabar. Tapi, gue rasa semua itu gak ada dalam diri Lo," tunjuknya ke dada Aslan sampai membuat cowok itu mundur selangkah dari tempatnya.

"Gue sakit hati, setiap kali Lo lebih bela Aldo."

"Gue tahu Lan, percaya atau nggak gue sama sekali tak ada perasaan sama dia. Cuma sebatas kagum karena sikap tanggung jawabnya yang tinggi sebagai ketua OSIS. Hati gue udah berhasil direbut sama cowok lain," ucapnya membuat kedua bola mata Aslan langsung menatap ke arahnya.

"Siapa, Mey?"

"Katakan kalau itu gue," batinnya dengan penuh harapan di hati.

Meysa masih menatap matanya lekat-lekat. Tangan Aslan kini berani, meraih pipi cewek itu, mengusapnya seperti dulu lagi, rasa ini, yang selalu dia rindukan. Kedekatan ini, yang Aslan inginkan sejak dulu. Cowok itu memejamkan matanya, merasakan tangannya menyentuh pipi halus milik Meysa.

"Gue beneran kangen banget sama Lo, yang dulu, Mey." Tanpa terasa dekapan hangat, kini Aslan berikan. Tak ada penolakan karena cewek itu justru menikmati kehangatan yang sama.

Edo dan rekan yang lain, ibarat tengah menyaksikan sebuah drama romantis.

"Kapan gue kayak gitu." Tanpa sengaja, Tama memeluk tubuh Edo.

Cowok itu tak terima dan langsung mengibaskan tangannya.

"Kalau gila gak usah ajak-ajak kalik!" kesalnya.

Bersambung ....


next chapter
Load failed, please RETRY

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C26
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login