Download App
60.6% He's My Love Hero / Chapter 20: Bukan Urusan Anda!

Chapter 20: Bukan Urusan Anda!

"Kenapa? Masih gak terima karena tadi?"

"Heh!" Aslan menarik kerah baju OSIS, cowok itu hingga dia hampir tercekik.

"Jangan dekati Meysa, ini peringatan terakhir. Kalau Lo masih ngelakuin ini lagi, lihat saja akibatnya!" ancam Aslan.

Aldi terkekeh mendengarnya.

"Kamu pikir, saya takut?"

Aslan semakin dibutakan oleh emosi, amarahnya yang tertahan sejak tadi, ingin dia ledakkan dengan segera. Tangannya mengepal, siap melemparkan tinjuan keras ke wajah cowok itu.

Dengan santainya, Aldi menepis.

"Dengar baik-baik, kamu bukan siapa-siapanya Meysa. Jadi, jangan mengekang dia layaknya budak kamu!"

Mereka mulai bertarung. Beberapa temannya ingin membantu sang bos.

"Cupu sekali, beraninya main keroyokan, gini cara main cowok kampung?" sindirnya.

"Tahan, biar gue yang hadapi dia," cegah Aslan.

Perkelahian keduanya tampaknya tak berhenti begitu saja, karena masing-masing yang sama kuatnya. Anak buah Aslan sampai melongo melihat ada cowok yang bisa menandingi kemampuan sang bos.

Suara mobil polisi, tampaknya yang berhasil membubarkan mereka. Beberapa orang warga dan satpam yang memanggilnya, karena tak mau lingkungan mereka ternodai akibat perlakuan tak senonoh anak-anak remaja tersebut.

"Kabur! Lihat saja, urusan kita belum selesai!" geram Aslan.

"Saya tunggu kapanpun."

Dengan bekas kemerahan yang penuh menghiasi wajahnya, juga beberapa bagian dekat bibirnya yang berdarah, Aslan memasuki rumahnya yang masih tampak sepi seperti biasa.

"Bi, ambilkan kompres," teriaknya memerintah.

Cowok itu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa.

"Den, kenapa lagi, pasti berantem, ya? Mau Bibi bantu obati?"

"Gak usah, bisa sendiri," tolaknya.

Aslan meringis kesakitan, saat kain dingin itu, menyentuh lukanya.

"Dari mana saja kamu? Pulang sekolah kelayapan, mau jadi anak apa nanti?"

Suara yang sangat Aslan benci, kembali mengotori telinganya.

"Mau jadi apapun, bukan urusan Anda," jawabnya tersenyum licik.

Bibinya merasa akan terjadi perang dunia kedua, untuk kesekian kalinya, dia memilih untuk kembali ke dapur.

"Melawan terus kalau dikasih tahu orang tua!"

"Orang tua? Sejak kapan Anda mendidik saya?"

"Jaga bicaramu, Aslan!"

"Tahu gini, dulu saya lebih memilih ikut mama. Pasti hidup saya jauh lebih terawat olehnya," sahut Aslan.

"Ikut mama kamu? Mungkin sekarang kamu akan menjadi gelandangan di luar sana, tak punya masa depan," hinanya.

Aslan sangat marah, kepada siapapun yang berani mengatakan hal buruk tentang mamanya.

"Lebih baik saya hidup susah, daripada berada di rumah mewah bagaikan neraka!"

Cowok itu bergegas menyingkir dari hadapan seorang lelaki yang masih setia, berdiri di samping tangga.

"Anak gak tahu diuntung, masih mending saya mau merawatnya," kesalnya.

Aslan tak mau terus-terusan menggantungkan hidup, kepada lelaki itu. Dia yang sudah membuat mamanya menderita, sekaligus menghancurkan masa depannya.

"Gue harus cari mama gimana pun caranya, baru setelah itu, gue bakalan angkat kaki dari rumah ini," tekadnya.

Aslan mencoba untuk menghubungi anak buahnya, di grup khusus yang dia buat. Dia meminta Edo, untuk mencetak brosur orang hilang, dan membawanya besok ke sekolah.

"Gue gak boleh lemah pokoknya."

Aslan berubah pikiran, esok hari itu terlalu lama, semakin cepat, maka dia pikir akan semakin baik menurutnya.

"Kita kumpul, di basecamp biasa."

Cowok itu mengambil jaket miliknya, lantas segera keluar dari kamar.

Lelaki yang harusnya dia panggil dengan sebutan papa, kini tengah berada di ruang tengah dengan sebuah koran di tangannya. Langkah Aslan rupanya terbaca oleh lelaki itu.

"Ini sudah malam, mau ke mana lagi kamu!"

Aslan tak menggubris sama sekali, dia tetap menaiki motornya.

"Saya sudah gagal dalam mendidiknya!"

Aslan menyukai dunia malam, karena dia bisa menemukan ketenangan di sana. Hanya ada motornya yang melaju di tengah jalan kini, menikmati hembusan angin yang mampu menembus jaket yang dikenakan olehnya.

Letak basecamp miliknya melewati lorong rumah Meysa. Meski hanya di depan gang saja. Aslan berhenti sejenak, menatapnya berharap sebuah keajaiban datang, mendatangkan Meysa di hadapannya.

Namun, dia sadar itu hanyalah sebuah angan belaka.

Saat motornya pergi, Meysa muncul dengan sepeda yang dia naiki, mamanya meminta agar dia mengantarkan kue pesanan tetangganya, yang tak jauh dari rumah.

"Apa gue salah lihat ya, tadi kayak motornya Aslan, gak mungkin juga dia lewat sini malam-malam, halusinasi terus gue belakangan ini," gumamnya.

Di basecamp.

"Ini Bos, sesuai permintaan." Edo menyerahkan barang titipan Aslan.

"Uangnya nanti gue ganti."

"Gampang itu, jangan terlalu dipikirkan," sahutnya.

"Bos, brosur sebanyak ini mau diapain? Emangnya wanita itu siapa?" Selama ini Aslan tak pernah terbuka masalah keluarganya, karena dia pikir itu hanya akan membuat kesedihan yang dirasakan olehnya semakin terasa.

"Kalian gak perlu tahu, sekarang kita berpencar. Buat sebar brosur ini, di tempat yang sekiranya bisa dijangkau sama masyarakat," jelasnya.

Anak buahnya mengangguk paham. Setelah dapatkan bagian masing-masing mereka langsung bergegas pergi.

Aslan duduk termenung, dengan satu kaki diangkat ke atas kursi yang ada di dekatnya.

Edo yang hendak pergi, kembali menoleh ke arah sang bos.

"Lan, gak ikut?"

"Duluan aja, ntar gue nyusul."

Edo malah duduk di sampingnya.

"Gue mau di sini aja, temenin Lo, takutnya kesambet nanti," ejeknya.

Memang hanya Edo, satu-satunya teman yang mengerti dirinya sejak dulu. Aslan mengacak-acak rambut lelaki itu, seperti yang biasa dia lakukan.

"Heh! Baru gue rapiin ini," kesalnya.

"Ayo, gue ikut kalau gitu."

Edo bangga, karena dirinya berhasil membuat cowok itu lepas dari kesedihannya meski hanya sejenak.

"Lan, kayaknya lorong ini deh, yang paling banyak dilewati orang," tunjuk Edo.

"Sana Lo saja yang sebar, gue tunggu sini." Aslan tak mau, bertemu dengan papa Meysa karena keberadaannya kini sangat dekat dengan rumah cewek itu.

"Iya deh, gue paham. Jangan ke mana-mana," jawabnya.

Aslan tak sengaja melihat pujaan hatinya melintas, setelah mengantarkan kue. Cowok itu lebih memilih untuk bersembunyi di balik semak-semak.

"Edo, ngapain ada di sini?" tanya Meysa.

"Mey, Lo juga ngapain?"

"Lah, tuh rumah gue," tunjuknya.

"Hehe, iya gue lagi pasang ini disuruh sama Bos Aslan," jawabnya.

"Coba lihat." Meysa seperti pernah melihat wajah wanita itu, tapi dia lupa, di mana.

"Kamu kenal, Mey?"

"Enggak sih, gue minta satu nanti kalau ada informasi langsung gue kasih tahu," jawabnya.

"Lo, sendirian?" Ada secercah harapan dalam hati Meysa.

"Sama ...." Edo menoleh, sudah tak ada Aslan di sekitar sana.

"Iya, sendiri." Dia yakin, Aslan punya alasan tersendiri sampai menghindar dari cewek itu.

"Ya udah, kalau gitu gue duluan ya."

Edo mencari keberadaannya, motor yang membawa mereka sampai ke tempat itu, juga tidak terlihat lagi, entah di mana Aslan menyembunyikannya.

"Lan, gue dah selesai nih, cepetan keluar," teriaknya.

Bersambung ....


next chapter
Load failed, please RETRY

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C20
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login