© WebNovel
1. HAMIDAH
Tidak ada yang tidak kenal dengan Hamidah. Perempuan cantik, kembang desa, pulang dari kota dalam keadaan berbadan dua. Tanpa suami yang menyertai. Penduduk gempar. Bertanya-tanya. Siapakah lelaki yang telah berhasil memerawani sang primadona? Berani-beraninya dia menodai bunga yang jadi incaran banyak pria.
Hamidah tidak berani keluar rumah. Malu. Tidak saja malu pada dirinya sendiri, tapi juga malu pada orang banyak. Apalagi dia dari keluarga miskin. Sekarang ia hanya bisa berharap pada ibunya yang berusia lebih dari setengah baya.
Tujuan ke kota mencari kerja. Namun, dia tidak menduga, kalau kota penuh tipu daya. Kepolosan dan keluguannya mengantarkannya pada neraka dunia. Terjebak di lembah prostitusi. Sebulan, dua bulan, hingga di bulan ke tujuh ia hamil.
Takut, marah dan benci berkelindan di dalam hatinya. Tempat pelacuran yang menampung dirinya, enggan mempekerjakan wanita hamil. Ia diusir dalam keadaaan hamil tiga bulan.
"Aku butuh uang, Mama. Pinjamkan aku uang, agar aku bisa kembali pulang ke kampung. Jangan usir aku dalam keadaan tiada uang. Aku mohon rasa kasihanmu, Mama."
Si Mama, sang mucikari, tak pernah mau rugi. Bukannya berniat memberikan pinjaman, malah dengan kurang ajar, ia mengantarkan dua orang pria buruk rupa ke dalam kamar Hamidah. Memaksa perempuan hamil itu untuk bersenggama.
"Uang didapat dengan bekerja, Hamidah! Kau cukup kangkangkan kaki, biarkan dua orang lelaki itu menggesekkan ATM mereka. Selepas itu, berhembuslah kau dari tempat ini! Andai saja kau tidak hamil, sudah barang tentu hidupmu bahagia. Di mana lagi kerja bisa seenak ini? Cuma modal selangkangan, uang dapat, birahi pun nikmat. Sayang sekali kau sia-siakan, Hamidah!"
Wanita malang itu hanya bisa menangis sesenggukan. Namun, siapa peduli. Jasanya dibayar. Tubuhnya sudah milik umum begitu ia menganggukkan kepala menerima pekerjaan kotor tersebut.
Salah satu dari lelaki buruk rupa itu menutup pintu kamar. Mereka menyeringai dengan wajah mesum. Berkali-kali mereka mereguk ludah dan membasahi bibir. Menatap Hamidah dengan mata yang seolah enggan untuk berkedip.
"Sudah lama aku menunggu saat ini datang, Cantik. Menggauli pelacur paling mempesona, paling diincar. Walau sekarang kau bunting, setidaknya hargamu tidak lagi begitu mahal! Aku sudah patungan dengan saudaraku untuk bisa merasakan nikmatnya bercinta denganmu, Cantik. Puaskan kami malam ini. Berikan kami apa yang kami dambakan selama ini."
Hamidah memejamkan mata ketika dengan rakus dan penuh nafsu, kedua lelaki itu mulai begerilya di tubuhnya.
"Lakukan apa yang ingin kalian lakukan, tapi aku mohon, jangan sakiti tubuhku. Kasihani bayi yang kukandung."
Kedua lelaki itu tersenyum culas. Hamidah bukannya tidak tahu dengan dua pelanggan rumah bordir ini. Mereka terkenal temperamen dan suka main kasar. Hatinya sangat kecut, takut kalau sampai tubuhnya harus didera dengan pukulan yang tidak sanggup ia tahan.
"Akh, cemas kamu rupanya, Cantik. Justru kami tidak bernafsu kalau tidak melihatmu merintih kesakitan. Apalagi, aku ingin menyesap darah dari bibirmu yang pecah!"
Hamidah terpental ke kasur ketika sebuah tamparan kuat hinggap di wajahnya. Mulutnya terasa asin. Pipinya pun panas. Sekali, dua kali sampai berkali-kali tamparan dilayangkan kedua lelaki itu.
Pipinya terasa kebas dan sakit. Bibirnya benar-benar pecah. Kedua lelaki jahat itu berebutan mencium bibirnya. Perut HamAidah terasa mual membaui aroma napas kedua orang tersebut. Busuk dan ingin sekali Hamidah meludahi mereka.
Puas menampar Hamidah, mereka mulai melakukan kekerasan fisik di bagian tubuhnya yang lain. Remasan, pukulan membuat Hamidah memohon-mohon. Pada puncaknya, Hamidah harus merasakan dual penetrasi yang sangat menyakitkan.
Matanya sampai terbelalak saking perihnya. Napasnya megap-megap karena cekikan salah satu dari mereka.
Hamidah merasa ia akan mati malam itu. Terbayang wajah tua ibunya, mengucapkan ribuan maaf atas ketidakbisaannya menjaga diri.
Di ujung kesadaran, Hamidah menangkap gelak tawa dua lelaki itu setelah akhirnya semua terasa gelap.
Ia tersadar ketika tubuhnya terasa diguncang. Perlahan-lahan matanya terbuka. Terlihat langit yang kelabu. Telinganya menangkap deru mesin. Dengan susah payah ia mencoba duduk. Terkejut mendapati dirinya berada di dalam bak mobil pick up. Bersatu dengan beberapa ekor ayam yang terikat.
Matanya mencoba mengenali daerah yang ia lalui. Seketika matanya merebak. Ini jalan pulang. Jalan menuju kampung halaman. Hamidah menangis terisak-isak. Sesakit-sakitnya ia punya badan, lebih sakit lagi rasa hatinya.
"Entah ke mana akan aku sembunyikan rasa malu ini. Ibu, masih maukah engkau menerimaku? Aku pulang dalam keadaan berbadan dua. Akankah hidupku tambah susah, Bu? Ya Tuhan, takdir apa yang kau berikan? Kenapa begitu berat rasanya. Cabut saja nyawaku, Tuhan!" Hamidah terisak-isak dalam kegamangan hati. Dia sangat tahu bagaimana watak penghuni kampung. Mereka akan mendengar berita kehamilannya dan akan mengghibahinya berbulan-bulan. Ke mana pun Hamidah kelak melangkah, akan selalu jadi bahan gunjingan.
Akankah aku kuat menghadapinya? Batin Hamidah terasa ngilu. Mungkin saja ia kuat. Namun, bagaimana dengan ibunya? Usia tua harus diisi dengan peliknya kehidupan Hamidah. Ada ragu yang seketika menyergap. Sudah betulkah keputusannya untuk pulang ke kampung? Bukankah itu sama saja ia menggali kuburannya sendiri? Menyerahkan dirinya untuk dihina oleh penghuni kampung?
Kalau tidak pulang kampung, ia mesti ke mana? Apalagi dalam keadaan hamil begini. Bukankah ia akan tambah susah.
"Biarlah kutahan rasa sakit ini. Biarlah kucoba menghadapi semua yang akan terjadi. Dendamku harus terbalas. Lelaki durjana itu harus membayar mahal hasil perbuatannya. Tunggulah dari sekarang, Mas, kelak akan kukirim iblis ke rumahmu. Menghancurkan keluargamu dan membuatmu mati mengenaskan!" Hamidah mengusap perutnya yang mulai terlihat membuncit.
Sesaat mobil yang ia tumpangi berhenti. Jalanan sungguh sepi. Kiri kanan hanyalah kebun cengkeh dan kulit manis yang terlihat. Ia mendengar batuk kecil. Lalu sesosok tubuh keluar dari bagian depan. Dia berdiri di tepi jalan membelakangi Hamidah.
Terdengar bunyi kucuran air. Lalu desahan lega dari mulut lelaki itu. Ia berbalik dan terkejut mendapati Hamidah yang menatapnya tanpa ekpresi.
"Kamu sudah siuman?" Lelaki itu mendekat. Mata merahnya menatap Hamidah, sementara bibirnya menyunggingkan senyum.
"Kamu tenang saja. Aku akan mengantarkanmu sampai rumah. Ngomong-ngomong, aku Arif. Di kota tadi, aku terkejut mendapatimu ada di bak mobilku. Lalu dua orang pria mendatangiku dan menyuruhku mengantarkanmu pulang. Aku tidak tahu apa yang kamu alami. Jika tidak keberatan, kamu boleh pindah duduk ke depan. Lebih bersih dan tentu saja aku bisa memberimu minuman. Ayok." Lelaki bernama Arif berusaha seramah mungkin. Walau sempat ragu, Hamidah akhirnya memutuskan untuk pindah ke depan.
Dengan sudut matanya, Hamidah menatap lelaki di sampingnya itu. Taksirannya, lelaki itu berusia sekitar tiga puluh tahun. Dengan wajah yang bisa dikatakan cukup gagah. Memelihara kumis tipis dan jenggot yang tidak terlalu panjang. Cuma matanya memang terlihat memerah. Bisa saja karena jauhnya mengendarai mobil.
Hanya keheningan yang tercipta di ruang sempit itu. Hamidah mencoba membasahi kerongkongan dengan air kemasan yang diberikan Arif. Sementara Arif ragu untuk bertanya, kenapa perempuan di sampingnya itu terlihat babak belur.
"Kamu mau bercerita tentang apa yang terjadi?" Arif memberanikan diri bertanya. Hamidah meliriknya sekilas, lalu memejamkan mata.
"Walau aku bisa menduga, cuma menurutku kamu harus kuat. Hidup memang penuh dengan perjuangan. Selalu ada keindahan di balik musibah yang terjadi."
Hamidah mendengkus. Sangat terganggu dengan ucapan lelaki di sampingnya itu.
"Hidupku sudah hancur. Ceramah apa pun yang kamu berikan tidak akan bisa membuat hatiku membaik. Kamu tahu apa yang akan aku temui di kampungku nanti?"
Hamidah menatap tajam ke arah Arif. Lelaki itu jadi kikuk.
"Kesengsaraan! Kamu tahu apa yang aku bawa? Malu dan penderitaan! Semuanya gara-gara makhluk celaka di dalam perutku ini!"
Hamidah lepas kendali. Dia meraung sembari memukul-mukul perutnya. Mobil berhenti mendadak.
"Hei! Kendalikan dirimu! Kamu hanya akan menyakiti dirimu sendiri!" Arif meraih tangan Hamidah kuat. Mata mereka saling bertemu. "Dengar! Apa pun yang kamu alami, jangan membuatmu lemah dan rapuh. Jalan yang kamu ambil adalah pilihanmu sendiri. Apa pun yang terjadi, itu adalah resiko yang harus kamu hadapi!"
Hamidah tertawa terbahak-bahak. "Kamu tidak tahu bagaimana aku! Jangan coba-coba terlihat keren di depanku. Aku tidak butuh ceramahmu!"
Hamidah membuka pintu mobil lalu turun dengan cepat. Walau tubuhnya masih terasa sakit, ia paksakan untuk berjalan. Lebih baik aku menjauh dari orang yang hanya bisanya menggurui, batinnya sambil terus menarik langkah.
Namun, rasa perih di selangkangannya membuatnya terhenti. Dia melihat ke bawah. Cairan merah merembes.
Hamidah pucat.
"Tidak! Tidak! Kau tidak boleh mati, Nak! Tidaaak! Kau harus bertahan, Sayang. Tolong, jangan tinggalkan ibu."
Hamidah jatuh perlahan-lahan ke rerumputan kering. Arif yang melihat itu segera turun dari mobil. Mendekati Hamidah dengan khawatir.
"To ... long aku ...." Hamidah mencengkeram kaki Arif dengan kuat. Di saat itulah ia merasa sangat membutuhkan bantuan lelaki tersebut.
Dengan sigap Arif mengangkat tubuh Hamidah ke mobil. Perempuan itu mati-matian menjaga kesadaran. Dia masih merasakan darah keluar dari kemaluannya.
"Selamatkan anakku," desis Hamidah di antara rasa sakit yang mendera. Akhirnya ia kalah. Membiarkan kegelapan memberati matanya. Mengabaikan teriakan Arif yang panik luar biasa.
***
"Kamu sadar?"
Hal pertama yang Hamidah lihat adalah seraut wajah tampan yang menyejukkan hati. Lelaki itu mengucapkan syukur sembari menarik napas lega. Ia mengusap lembut kepala Hamidah.
"Aku di mana?" Matanya memeriksa kamar yang dipenuhi nuansa putih.
"Kamu di klinik. Syukurlah, kamu tidak apa-apa. Aku senang melihatmu sudah siuman."
Mengetahui dirinya di rumah sakit, Hamidah menangis. Pikirannya sudah menduga yang bukan-bukan.
"Aku kehilanga dia, bukan?" Ia mengelus perutnya lembut. Arif meraih jemari Hamidah, meremasnya pelan.
"Tidak. Dia aman."
Ucapan Arif membuat separuh nyawa Hamidah kembali. Ia memejamkan mata. Merasakan detak mungil di dalam perutnya. Jangan tinggalkan ibu, Nak.
"Aku akan menemanimu malam ini di sini. Besok pagi kita ke kampungmu. Setelah itu aku akan kembali ke kota. Aku berharap, kamu baik-baik saja. Bertahan dan kuatlah demi anakmu."
Hamidah tahu lelaki itu akan kembali berkhotbah. Ia memilih memejamkan mata. Berharap segera sampai di rumah dan bersembuyi dari dunia.
Aku harus kuat!