"Ah, akhirnya selesai juga~" desah Arga sambil menghempaskan dirinya ke atas tempat tidurnya. Ia baru saja menyelesaikan tugas Fisika dan Kimianya yang tidak bisa dibilang sedikit itu. Untung saja, ada Rian yang membantunya.
"Duh, gue udah gak ada tenaga buat main game rasanya. Mau langsung tidur aja, deh," kata Arga kemudian.
"Ya udah, tidur aja," tanggap Rian yang sedang duduk di meja belajar Arga. Karena hujan yang tak kunjung reda, Rian akhirnya harus menginap di rumah Arga malam ini.
"Iya, nih. Gue mau tidur sekarang. Lo juga buruan tidur, gih," kata Arga sambil membetulkan bantalnya. Tapi sebelum kepalanya mendarat di bantal, Arga tiba-tiba kembali menegakkan badannya.
"Oh iya, besok kan kita mau pergi observasi. Harus siapin barang-barang, nih," katanya sambil segera turun dari tempat tidurnya dan melangkah menuju ke lemari.
"Hah? Observasi? Observasi apaan?" bingung Rian.
"Itu loh, observasi khusus buat anak-anak jurusan IPA. Lo emangnya gak denger yang Bu Freya bilang tadi?" tanya balik Arga.
Rian menggeleng. "Enggak tuh."
Arga berpikir sejenak, lalu beberapa detik kemudian menjentikkan jarinya. "Ah, lo tadi ke toilet pas Bu Freya ngasih info! Gue lupa ngasih tahu lo, bro."
"Hm, gitu ya. Emang mau observasi di mana?"
"Gue lupa nama tempatnya. Pokoknya di desa gitu."
"Semua murid harus ikut?" tanya Rian lagi.
"Harus, bro. Itu kan berkaitan sama tugas dan nilai kita. Terus yang observasi itu bukan cuma angkatan kita, tapi anak IPA kelas sepuluh juga bakal ikut. Oh iya. Katanya, kita juga bakal nginep dua atau tiga hari di sana. Jadi harus bawa baju ganti sama barang-barang keperluan pribadi," jelas Arga.
"Sampai nginep segala?"
Arga mengangguk. "Iya. Besok pagi kita ke rumah lo dulu buat ngemasin barang-barang lo baru ke sekolah."
"Duh, gue gak sabar nih. Pasti bakalan seru banget."
Sementara Arga yang merasa sangat senang dan bersemangat, Rian malah menghela napas. Itu akan menjadi hari yang melelahkan, pikirnya.
⛈️🌧🌦
Keesokan harinya, murid jurusan IPA kelas sepuluh dan sebelas telah siap untuk naik ke bus yang akan membawa mereka ke tempat observasi mereka.
Rian menghela napas. Ia sebenarnya malas untuk ikut, tapi karena observasi ini akan berpengaruh pada nilainya, mau tak mau ia harus pergi juga.
"Gue mau tidur dulu. Kalau udah nyampe, bangunin gue," katanya pada Arga ketika ia dan sahabatnya itu telah duduk di dalam bus.
"Siap, bro."
Perjalanan dari sekolah menuju ke desa tempat mereka akan melakukan observasi membutuhkan waktu selama kurang lebih lima jam. Selama itu pula, Rian tertidur dengan lelap. Arga sendiri tidak berkomentar apa-apa. Ia tahu, sahabatnya itu tidak bisa tidur nyenyak semalam karena hujan. Untung saja, pagi ini hujan telah reda, meskipun langit masih terlihat gelap.
⛈️🌧🌦
"Yan, Yan. Rian, bangun. Bangun, Yan. Kita udah nyampe, nih," kata Arga ketika mereka telah tiba di desa tempat mereka akan melakukan observasi.
Rian menggeliat sejenak. Matanya kemudian terbuka dengan pelan. Sambil menguap, ia berbalik untuk melihat isi bus. "Lho, anak-anak yang lain mana?" tanyanya ketika mendapati bus yang hampir kosong, hanya tinggal ia dan Arga.
"Udah pergi duluan. Yuk, kita pergi juga."
Arga dan Rian pun mengambil tas mereka dan keluar dari bus. Rian yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah menatap daerah di sekelilingnya dengan tatapan terkejut.
"Tunggu, tempat ini kan--"
"Hm? Kenapa, Yan?" tanya Arga sambil berbalik menatap Rian.
Rian menggeleng. "Ah, enggak. Gak papa, kok."
'Enggak, gak mungkin. Gue pasti salah. Mungkin aja, ini cuma mirip. Iya, pasti cuma mirip,' batin Rian, mencoba menenangkan dirinya.
"Ternyata desa ini indah dan cukup modern juga, ya. Beda banget sama yang ada di pikiran gue. Gak keliatan terbelakang. Terus, gue tadi liat ada vila yang cukup gede, lho. Bagus banget," oceh Arga, sementara Rian terus menatap sekelilingnya dengan gelisah.
Arga yang merasa tak ditanggapi oleh Rian menoleh kepada sahabatnya itu dan mendapati ekspresi Rian yang aneh. "Lo kenapa, Yan? Ada masalah?" tanyanya.
Rian menggeleng cepat sambil tersenyum terpaksa. "Gak papa. Gue kayaknya cuma agak pusing. Bentar lagi baikan, kok," ucapnya.
"Eh? Nak Rian?"
Rian yang mendengar namanya dipanggil menoleh dan mendapati seorang nenek yang tersenyum padanya.
Si nenek kemudian melangkah mendekat menuju Rian. "Astaga, ternyata benar Nak Rian. Sudah berapa lama kau tidak datang ke sini?"
Deg!
Rian tercekat ketika mendengar itu. Jadi, ini benar tempat itu? Pikirnya.
"Nenek liat ada banyak anak SMA. Itu teman-temanmu?" tanya si nenek.
Rian mengangguk kaku.
"Apa kalian akan menginap?" tanya si nenek lagi.
"I--iya, Nek."
"Wah, baguslah kalau begitu. Bukankah sudah sangat lama kau tidak datang berlibur ke sini? Selagi di sini, nikmatilah waktumu dengan baik."
"Oh, iya. Ada yang mau nenek berikan kepadamu. Nenek selalu membawanya untuk berjaga-jaga jika suatu saat bertemu denganmu." Nenek itu kemudian menggeledah tas kecil yang ia bawa, lalu mengeluarkan sebuah kunci.
"Ini kunci vila keluargamu. Kalian melupakannya dulu," kata nenek itu sambil meletakkan sebuah kunci pada tangan Rian.
Rian menatap kunci yang ada di tangannya itu dengan nanar.
"Ah, sebenarnya Nenek masih mau mengobrol denganmu, tapi Nenek harus pergi ke pasar sekarang. Nenek pergi dulu, ya. Bersenang-senanglah dengan temanmu di sini."
Nenek itu pun pergi setelah menepuk lembut bahu Rian beberapa kali.
Arga yang sedari tadi memerhatikan Rian merasa ada kejanggalan pada sahabatnya itu.
"Ada apa sih, Yan? Siapa nenek tadi? Terus, lo ternyata udah pernah dateng ke sini dan punya vila?"
"Arga, bisa gak, gue tinggal di bus aja?" Bukannya menjawab kebingungan Arga, Rian malah balik bertanya dengan tatapan kosong. Wajahnya terlihat pucat.
"Hah? Kenapa? Lo masih pusing, ya?"
Rian mengangguk lemah.
"Ya udah deh kalau gitu. Lo istirahat bentar di bus. Nanti kalau udah agak baikan, lo baru gabung sama gue dan temen-temen."
Rian menagngguk. Baru saja ia berbalik untuk melangkah kembali menuju bus, sebuah panggilan terdengar.
"Rian, Arga! Kalian kok masih ada di sini, sih? Bu Freya udah nungguin kalian dari tadi!" seru Aurel sambil berlari mendekat.
"Ah, sorry Rel. Kepala Rian pusing soalnya. Kalau bisa, dia mau istirahat bentar di bus," jelas Arga.
"Duh, tapi Bu Freya katanya ada yang mau dia jelasin ke kita. Jadi kita semua harus ngumpul sekarang."
"Ah, gitu? Gimana nih, Yan?" tanya Arga pada Rian.
Rian menunduk, berpikir selama beberapa detik. Kemudian, ia menghela napas. "Hah. Ya udah deh," putusnya.
Rian, Arga, dan Aurel pun berjalan beriringan menuju tempat di mana anak-anak sekolahan mereka berkumpul.
Selama berjalan, jantung Rian terus berdegup kencang. Ia merasa sangat gelisah. Langkahnya kemudian terhenti ketika beberapa meter di depannya terdapat sebuah vila yang cukup besar.
Rian meneguk ludahnya susah payah ketika menatap vila itu. Bayang-bayang masa lalu terasa terputar kembali layaknya film di depan matanya.
Aurel dan Arga yang merasa Rian tidak lagi berjalan bersama mereka menoleh dan mendapati Rian yang berdiri mematung dengan tatapan kosong.
"Rian?" panggil Arga pelan.
Arga dan Aurel saling memandang. Bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi pada Rian.
Arga pun melangkah mendekat menuju Rian dan menepuk bahu sahabatnya itu, membuat Rian tersentak kaget dan segera menoleh.
"Lo baik-baik aja?" tanya Arga dengan wajah cemas.
"A--ah. I--iya ... Gue ... baik-baik aja, kok," jawab Rian dengan terbata-bata.
Arga menatap wajah Rian penuh selidik. "Serius?"
Rian mengangguk. "Ayo kita pergi sekarang," ajaknya, lalu segera melangkah dengan cepat.
Kini, giliran Arga yang terdiam di tempatnya memandang Rian yang sudah berjalan cukup jauh di depannya.
"Rian kenapa, sih?"
⛈️🌧🌦
To be continued