"Awal kisah yang tak terduga mungkin saja menjadi bagian yang terpenting"
Hari ini cukup melelahkan untuk seorang Kira Ilana. Kampus yang ia pilih sebagai tempat menempuh ilmu akan mengadakan sebuah acara pentas seni yang melibatkan semua fakultas yang ada tanpa terkecuali. Tentu Kira akan terlibat dalam menyiapkan acara tersebut. Sudah ketebak bukan peran Kira dalam kampus dengan nama Universitas Kastara itu.
Badannya sudah tidak bisa diajak kerjasama lagi, terbukti kini Kira sedang berada di kantin kampus yang sudah sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa disini yang terlihat sedang membicarakan acara pentas seni kampus. Kira duduk dengan badan yang membungkuk, menyembunyikan sebagian wajahnya diantara lipatan tangannya yang berada di atas meja.
Tiba-tiba ada yang menempelkan botol minuman dingin di pipi Kira sambil berkata ketus, "Nih minum!" Janu dengan wajah jengkelnya duduk di samping Kira yang sedang berusaha membuka tutup botol minuman itu.
Setelah tutupnya terbuka, Kira mulai menegak minuman dengan rasa asam manis tersebut. Tenggorokannya terasa lebih segar dari sebelumnya. Minuman ini memang cukup ampuh untuk mengilangkan suntuknya.
"Thanks, Ja." Hanya itu yang bisa ia ucapkan untuk Janu. Rasa-rasanya tidak ada yang terlalu memperhatikannya seperti Janu setelah dia tiada.
Jarak duduk keduanya bisa dikatakan dekat. Janu yang tadinya enggan menatap Kira, kini mulai mengalihkan matanya untuk menatap Kira. Memperhatikan secara detail muka yang terlihat lelah. "Gue udah sering bilang ini ke lo. Stop-jadi-sok-kuat!" Janu mencoba menahan amarahnya.
Kira cukup menyadari kalau Janu benar-benar marah saat ini padanya. Terbukti dari kata-kata yang ia tekankan. Tetapi yang namanya Kira, dia tidak akan semudah itu untuk menurut.
Kira mencoba mengalihkan pembicaraan ini dengan menyenderkan kepalanya pada bahu lebar Janu sambil berkata, "Gue ini emang kuat, Jaja." Jaja itu panggilan Kira ketika merayu Janu agar tidak marah lagi dengannya. Menurut Kira itu cukup lucu, siapa tahu Janu akan luluh dengannya.
Tetapi sepertinya hal ini tidak berpengaruh untuk seorang Hansiel Janu Bimasena. Memang Janu tetap membiarkan bahunya menjadi sandaran Kira. Kira yang seperti ini benar-benar membuatnya khawatir bukan main.
Janu berdecak. "Ck, terserah!" Kalau sudah seperti ini Janu terlihat seperti seorang cewek labil. Dikit-dikit bilang terserah. Harusnya Kira yang mengatakan itu. Secara dirinya ini seorang cewek sejati.
"Dasar cewek," ledek Kira.
"Ngomong apa lo barusan?" marah Janu.
Kira sudah tidak bersandar lagi di bahu Janu. Dia sudah bersiap-siap untuk kabur dari Janu yang lagi sensitif. Namun, dia terlambat. Janu sudah menarik tangannya hingga kepala Kira berada tepat di dalam pitingan ketiak Janu. Tak lupa dengan jitakan yang cukup menyakitkan di atas kepalanya.
Kira berusaha untuk keluar dari pitingan Janu ini tetapi nyatanya tidak berhasil. Alhasil dia hanya bisa berteriak. "Aww... sakit, Ja!" Tetap Kira tidak bisa lepas. Janu ini tenaga baja. Dilihat dari postur tubuh saja tentu Kira sudah kalah. Kira kembali melanjutkan caranya untuk lepas sambil berkata, "Jaja, lepasin! Ini kepala gue sakit woy!"
"Hah?" Janu berhenti sejenak. Lalu dengan polosnya berkata, "Pala lo gak bisa gue lepas. Orang udah nyatu sama leher lo."
"Bunuh temen kira-kira dosa gak ya?" batin Kira.
"Bukan itu maksud gue, Jaja!" Kesal sudah Kira. Janu benar-benar membuat kesabarannya habis.
"HAHAHAHAHA." Tawa Janu pecah sudah. Disisa sisa tawanya, akhirnya Janu melepaskan pitingannya. Bahkan sekarang Janu mengelus kepala Kira yang tadi sempat terkena jitakan mautnya.
Saat ini keduanya dalam posisi berdiri saling berhadapan dengan Janu yang masih setia mengelus kepala Kira. "Rubik lo udah ketemu belum, Ra?" Janu teringat mengenai hilangnya rubik kesayangan Kira tadi siang.
Raut wajah Kira yang tadinya merengut berubah menjadi sendu. Rubiknya hilang. Rubik kesayangannya. Dia jadi teringat kembali.
"Huhhh... belum ketemu," ucapnya tak semangat. Wajahnya yang sudah lesu jadi bertambah lesu bahkan bibirnya kini melengkung ke bawah.
Rubik itu punya banyak kenangan untuk Kira. Oleh sebab itu ia selalu membawanya kemana-mana. Bahkan rubik menjadi salah satu barang yang wajib dia bawa ketika berpergian.
Janu paham betul mengenai rubik itu. Walaupun pertemuan keduanya masih dibilang singkat. Janu dan Kira baru bertemu di Universitas Kastara. Janu merupakan kakak tingkatnya. Ada hal yang membuat keduanya sekarang sedekat ini.
"Besok kita cari lagi ya." Janu berusaha membujuk Kira untuk tidak sedih lagi. Waktu sudah tidak memungkinkan untuk mereka mencari rubik itu. Seharusnya mereka berdua kembali ke apartemen.
Kira hanya mengangguk lesu sebagai jawaban. Dia tahu sekarang sudah cukup malam. Jarum di jam tangannya menunjukkan pukul 8 malam. Mau tak mau ia harus kembali untuk beristirahat.
Janu menggengam tangan Kira dan keluar dari area kantin. Melewati koridor kampus yang terlihat masih terdapat beberapa mahasiswa. "Ila!" Kira yang merasa namanya dipanggil menghentikan langkahnya dan menengok ke belakang untuk melihat siapa yang memanggilnya.
Genggaman di tangannya masih belum terlepas, malah semakin erat. "Ada apa ya, Kak As?"
Asterio Gion Sadawira, dia adalah kakak tingkat Kira juga. Satu tingkat sama dengan Janu tetapi berbeda fakultas.
Masih berusaha mengatur napasnya. Kemudian dia bertanya, "Rubik kamu hilang?"
Sebelum menjawab, Kira sudah didahului suara lain. "Bukan urusan lo!" Janu dan Aster memang tidak pernah akrab. Entah masalah apa yang terjadi diantara mereka.
Kira mendelikkan matanya ke Janu. Lalu berusaha tetap tersenyum sambil menjawab, "Iya rubik aku hilang, Kak." Walaupun Janu dan Aster satu tingkat, Kira merasa tidak enak kalau memanggil Aster hanya dengan namanya. Hal ini yang membuat Janu kerap kali protes.
Kira melanjutkan ucapannya dengan bertanya, "Memangnya kenapa ya, Kak?"
Kira memperhatikan Aster dengan wajah bingung sedangkan Janu masih memandang Aster dengan jengkel. "Oh itu, aku cuma nanya. Aku juga udah coba cari tadi, tapi gak ketemu."
Janu semakin jengkel dan berkata ketus, "Terus apa hubungannya sama lo?"
Aster kehilangan kata-kata yang tadi dia ingin katakan. Berusaha menghilangkan gugupnya, Aster membenarkan letak kacamata yang bertengger dengan manis di hidung mancungnya. "Umm.... gimana kalau aku beliin kamu rubik yang baru?"
Janu menghela napas lalu berkata, "Gak perlu. Dia gak butuh rubik yang baru." Kira tidak bisa menjawab tawaran dari Aster. Lalu Janu kembali menarik tangan Kira. Kira hanya bisa pasrah. Tatapannya berubah menjadi kosong.
"Apa semudah itu membuatnya lupa? Menggantikannya dengan yang lain?" pikir Kira.
Setelah sekian lama dan butuh banyak pertimbangan akhirnya gue berani untuk nulis ini. Sebagian isi cerita ini merupakan pengalaman gue pribadi. Yang terlihat baik-baik aja belum tentu hati dan pikirannya sedang baik bukan???
Gue berharap cerita ini bisa jadi pembelajaran untuk kalian dan juga gue. So happy reading untuk part selanjutnya.....
— New chapter is coming soon — Write a review