Alesha terdiam memperhatikan raut pucat Zaara. Kemudian, tanpa seizin cewek itu dia duduk di sebelahnya. "Kamu sakit?" tanya Alesha lagi setelah duduk.
"Kamu tiba-tiba banget ada disini," ucap Zaara diiringi senyum getir.
"Tadi aku lihat kamu masuk, kayak lemes gitu. Sakit?" Sekian kalinya ia bertanya.
"Nggak kok, aku lapar," jawab Zaara.
"Ya sudah pesan, gih. Kita makan bareng," suruh sahabatnya itu penuh semangat.
Beberapa saat kemudian, satu porsi nasi goreng pedas sudah terhidang di depan wanita itu. Sementara Alesha sedari tadi menikmati makanannya sehingga sudah hampir habis. Zaara menunggu sesaat sampai nasi goreng itu tidak terlalu panas.
"Lama 'nggak ketemu, ya," ujar Zaara.
Alesha mengangguk kecil. "Iya, kamunya sibuk terus," sahut wanita itu.
"Lumayan, Al. Cuma aku sendirian yang jaga Apotek soalnya. Devi sering cuti sekarang," jawabnya.
"Itu cewek jadi nikah?" Alesha menatap Zaara.
"Jadi, undangannya juga sudah dicetak, tapi aku 'nggak tahu kapan waktu yang pasti dia menikah," jelas Zaara.
Lagi-lagi Alesha mengangguk paham. Mereka terdiam sejenak karena begitu menikmati makanan pada piring masing-masing. Berhubung jam istirahatnya hampir habis, Alesha pamit pergi terlebih dulu. Zaara sekarang sendirian di sana dan mencoba menyiapkan sesendok demi sesendok nasi goreng meskipun sedikit mual.
Dia sendiri heran kenapa sering mual dan merasa lemas belakangan ini. Meskipun sebenarnya curiga semua itu disebabkan karena pernah tidur bersama Zidan beberapa waktu lalu.
Wajah Zaara seketika memucat setelah ingat kejadian penuh dosa yang sengaja mereka lakukan saat itu. Bukankah mungkin jika apa yang ia rasakan saat ini menjurus pada tanda-tanda kehamilan? Jantungnya berdetak semakin cepat seiring pikiran-pikiran buruk yang kemungkinan terjadi bila dirinya sungguh sedang berbadan dua.
Ting!
Wanita itu mengerjapkan kelopak mata saat menyadari sendok yang sedang dipegang malah terjatuh, sehingga menarik perhatian orang-orang yang duduk di sekitarnya. Zaara segera mengambil sendok itu, lalu mengakhiri makan siangnya karena merasa malu menjadi pusat perhatian pengunjung lain.
Zaara segera membayar makanan tadi, lantas meninggalkan tempat tersebut dengan terburu-buru. Sesampainya di Apotek, dia mendekati etalase di mana deretan alat tes kehamilan tersimpan. Antara ingin menggunakannya atau tidak, Zaara sungguh ragu.
Akan tetapi, jemari lentiknya mulai menyentuh pintu etalase, menggeser perlahan hingga terbuka setengahnya dan sekarang—Zaara telah mengambil satu alat tes kehamilan itu. Tidak lupa juga dia mengambil satu cup minuman yang masih bersih dari sebuah rak. Kemudian ia berlari tergesa-gesa menuju toilet yang berada di ruangan sebelah, sambil menggenggam bungkus alat tes kehamilan tersebut erat-erat. Padahal tidak ada orang di sana—tapi gadis itu merasa sangat gugup dan tidak tenang.
Cklek!
Dia mengunci pintu toilet demi memastikan keamanan. Khawatir kalau ada karyawan lain yang tiba-tiba datang ke sana. Zaara berdiri membelakangi pintu seraya menatap benda kecil itu yang baru saja dibuka.
Menit-menit selanjutnya, wanita itu buang air kecil tepat di atas cup tadi dengan susah payah. Detak jantungnya sekarang sangat tidak aman. Begitu juga dengan raut wajah yang terlihat begitu cemas, seraya mencelupkan sebagian alat tes tersebut sesuai aturannya.
Keadaan menakutkan seperti ini pernah Zaara rasakan ketika masa kecilnya, di mana papa marah besar karena dia dan kedua kakaknya memainkan seekor ikan arwana kesayangan papa mereka hingga mati. Namun, untuk kali ini rasa takut itu jauh lebih besar, tangan Zaara mengangkat alat tes kehamilan tersebut setelah terlihat ada garis merah yang masih samar-samar.
Seketika manik matanya berkaca-kaca sambil terus memandangi alat itu, seberapapun ia mencoba menahan diri supaya tidak gemetaran, tapi mustahil, bahkan kini bibirnya pun gemetaran sekali menahan gejolak dalam dada yang semakin tidak karuan.
Zaara benar-benar tidak sanggup memegangnya lagi ketika sudah muncul dengan jelas dua garis merah di strip testpack itu. Menandakan bahwa saat ini dirinya memang sedang berbadan dua. Tubuh wanita itu seketika terduduk lemas di lantai toilet yang dingin dan lembab.
Air bening yang sedari tadi terbendung—sudah tidak tertahankan lagi, mengalir deras membasahi pipi tirusnya itu. Zaara menatap kosong lantai toilet sambil masih terisak lirih. Tangan yang masih gemetar mencoba mengambil kembali strip testpack tersebut untuk kembali melihatnya, barangkali—barusan dia salah lihat. Bukankah kepanikan seseorang terkadang membuat mereka salah sangka?
Namun, strip testpack itu tetap saja memperlihatkan dua garis merah yang justru semakin jelas. Air matanya kembali mengalir deras seiring Isak tangis memecah keheningan. Zaara tidak tahu lagi setelah ini harus bagaimana? Sementara kehamilan itu sama sekali tak diinginkan.
Beberapa saat membiarkan dirinya tenang dengan cara meluapkan emosi melalui tangisan, Zaara memutuskan untuk menemui Zidan saat ini juga. Laki-laki itu harus mengetahui sekarang juga, supaya bisa mengatasi masalah mereka bersama-sama.
Zaara terpaksa menutup kembali Apotek karena memang tidak ada yang menggantikannya di sana. Strip testpack tadi dia taruh dalam saku celana, lalu berjalan cepat menuju parkiran. Mobil yang baru saja berhenti itu harus kembali melaju kencang membelah jalanan.
Satu-satunya tujuan Zaara saat ini adalah pangkalan ojek. Zidan biasanya ada di sana siang-siang seperti ini, kalaupun tidak ada—dia akan langsung datang ke rumah ibunya. Tidak ingin menunda waktu, wanita itu bertekad harus menemukan Zidan hari ini juga untuk mengatakan apa yang sudah terjadi dengan dirinya.
Pangkalan ojek terlihat ramai dari kejauhan. Zaara langsung menambah kecepatan laju mobilnya menuju ke sana dan benar saja kalau cowok yang dicarinya sedang asyik tertawa dengan teman-teman yang lain.
"Zidan!" panggil Zaara sedikit berteriak.
Dia tetap berada di dalam mobil, tapi membuka sedikit kaca pintunya sehingga lelaki yang barusan dipanggil reflek menoleh. Seketika Zidan tersenyum lebar begitu melihat kekasihnya datang. Dia sungguh merindukan wanita itu karena sudah lama tidak bertemu semenjak penyatuan tubuh mereka untuk yang pertama kalinya beberapa waktu lalu.
"Hai, Sayang …," sapa Zidan seraya mendekat.
"Kukira kamu lupa sama aku, Sayang," ucapnya lagi sambil membungkuk demi bisa bertatapan langsung dengan sang kekasih.
"Masuk mobil," perintah Zaara dengan mata merah yang menatap tajam Zidan.
"Aku lagi ngojek, Sayang," sahutnya.
"Aku mau bicara!" bentak Zaara yang sudah tidak tahan lagi akan ucapan kekasihnya itu karena terlalu basa-basi.
"Oke," lirih Zidan.
Dia berbalik badan menatap ke arah teman-temannya yang masih bercanda. "Bro, gue pergi bentar," pamitnya.
"Yo! Asikin aja," sahut salah satu teman Zidan sambil menyeringai tipis.
Setelahnya ia masuk mobil dan menggantikan Zaara menyetir mobil itu, melaju perlahan meninggalkan lingkungan tersebut menuju jalanan kota.
Zidan merasa mereka sudah pergi cukup jauh dari komplek rumahnya. Dia pun menepikan mobil untuk memberikan waktu kepada Zaara, mendengarkan apa yang akan dikatakan wanita itu sehingga wajahnya tampak sangat serius.
"Mau bic __"
Ucapan Zidan terpotong saat Zaara melempar strip testpack ke wajahnya. "Kita dalam masalah besar," ucap wanita berwajah sembab itu dengan suara yang dipaksa tegas.
"Apa ini?" Zidan mengambil strip tersebut dan memperhatikannya.
"Masa kamu 'nggak tahu itu apa?" tanya Zaara penuh amarah.
"Testpack?" sahut laki-laki itu sambil mengernyitkan alisnya.
Tiba-tiba Zidan justru terkekeh kecil. "Ngapain, sih, pakai bawa-bawa testpack begini? Kamu takut hamil? Tenang aja deh, cuman sekali mah aman," ucapnya begitu santai.
"Itu udah garis dua yang artinya aku emang hamil. Jangan bilang sekali aja mah aman, itu buktinya, aku hamil," jelas Zaara sehingga membuat laki-laki itu menelan kasar salivanya.
Next?
Seru nggak? Komen, yah, Kakak-kakak … biar makin semangat update, see you ^^
— New chapter is coming soon — Write a review