Download App
31.25% Golden Enigma / Chapter 10: New Friend

Chapter 10: New Friend

Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.

Walau candaan dari teman duduknya di pelataran minimarket itu menurutnya tak lucu, sesekali Brie tetap tertawa. Daripada terus dilanda bosan, ia memilih untuk meladeni obrolan pemuda bertubuh tambun yang tadi menyapanya ini.

“Jadi, boleh minta nomornya nggak nih, Mba… Eh, Brie?” tanya pemuda itu, sedikit mengangkat kedua alisnya. Ia sudah menanyakan hal itu berkali-kali, tapi Brie selalu berhasil mengalihkan pembicaraan.

Brie yang baru menghabiskan minuman ringannya tersenyum lebar lantas menoleh ke arah mobil. Revan sudah keluar, memandang berkeliling dengan mata menyipit, jelas belum sadar sepenuhnya dari tidur.

“Ah, pacar saya baru bangun, tuh,” ujar Brie, bangkit sambil mengangkat kantong plastik hasil belanjaannya.

Si pemuda cuma bisa melongo sambil memandangi Brie yang berjalan menghampiri Revan.

“Ini.” Brie menyodorkan sebotol minuman isotonik kepada Revan.

Revan menerima minuman itu dan mengecek jam tangannya yang menunjukkan pukul empat lebih sedikit. “Kenapa aku nggak dibangunin, sih?”

“Kita baru sampai, kok. Aku menyetir dengan santai. Karena tanda di GPS-mu itu tidak detail menyebut alamat, aku mampir ke minimarket ini, menunggu kamu bangun,” jawab Brie, setengah berbohong.

Sebenarnya Brie sudah sampai sejak satu jam yang lalu. Ia cuma merasa Revan perlu waktu yang cukup untuk istirahat. Lelah dan kantuk berat bisa mengurangi kemampuanmu mengambil keputusan yang tepat. Karena belum bisa mendapatkan daftar alamat itu, Brie tak punya pilihan lain selain bergantung kepada Revan. Saat ini pemuda itu adalah rekannya.

“Kita langsung berangkat aja,” timpal Revan lantas meneguk banyak-banyak minuman pemberian Brie.

“Paling tidak cuci muka dulu.” Melihat wajah kusut dan rambut berantakan Revan, Brie tersenyum geli.

***

Setelah beberapa meter mengaspal, mereka sampai di tempat tujuan: sebuah rumah satu lantai yang begitu luas. Brie turun dan langsung mengamati keadaan. Meski cat biru muda rumah itu banyak yang mengelupas, ia tak mendapat kesan kumuh. Justru halaman bangunan itu masih sangat asri dan terawat.

“Ini tempatnya,” ujar Revan setelah mengunci mobilnya, berjalan melewati pintu pagar besi rumah itu.

Tak menanggapi ucapan Revan, Brie membaca plang nama yang bertuliskan ‘Panti Asuhan Dien’ di dinding rumah itu. Seumur hidupnya, Brie belum pernah mendatangi tempat seperti ini.

Anak-anak kecil yang sedang bermain galah asin di halaman panti menghentikan kegiatannya. Mata mereka terpusat kepada Brie, yang langsung menyunggingkan senyum lebar. Beberapa pipi anak laki-laki tampak mulai merona merah.

“Siapa orang pertama kita?” tanya Brie, mulai membuntuti Revan, melewati bayangan pohon rimbun di halaman panti. Telinganya mendengar bisik-bisik dari para anak yang bermain, tapi yang tertangkap olehnya hanya kata-kata ‘semok’, ‘bahenol’, dan ‘semlohai.’ Brie tak tahu arti kata-kata itu. Ia cuma menduganya sebagai varian dari ‘cantik.’

“Namanya Ismail. Orangtuanya sudah meninggal karena kecelakaan. Karena bukan anak kandung, tak ada kerabat yang mau menampungnya. Makanya, dia dititipkan ke panti asuhan ini,” terang Revan, sedikit menerawang ke atas untuk mengingat-ingat. “Terus, orangtua Gisel itu dulunya berteman sama orangtua si Ismail ini. Cuma itu yang aku tahu.”

Ternyata Revan sempat melakukan sedikit riset. Cukup bagus menurut Brie, walaupun data yang didapatkan sangatlah kurang.

Lewat pintu rumah yang terbuka, mereka disambut oleh wanita berkacamata yang rambut panjangnya penuh uban.

“Ada perlu apa, ya Mas?” tanya wanita itu, tersenyum ramah kepada mereka.

“Saya Revan dan ini Brie, kami berdua ingin bertemu Ismail,” jawab Revan, memajang senyum yang tampak dipaksakan lalu menjabat tangan wanita itu.

Brie memasang senyum yang jauh lebih baik saat bersalaman dengan wanita bernama Din itu. Din mempersilahkan mereka duduk lantas pamit menuju ke belakang sebentar. Sambil duduk di kursi kayu kusam rumah itu, Brie mulai mencermati setiap sisi ruang tamu. Dalam waktu singkat, ia menemukan foto kedua orangtua Gisel bersama Din dan anak-anak panti, dipajang di salah satu sisi dinding.

Tak berapa lama, Din datang dengan seorang pemuda kurus berkulit sawo matang, berjambang tipis, dan berambut cepak. Pemuda itu langsung menyalami Brie dan Revan sambil memperkenalkan diri sebagai Ismail.

“Jadi, ada perlu apa Mas sama Mbaknya mau ketemu saya, ya?” tanya Ismail dengan nada medok khas Yogya yang kental.

Revan langsung menjawab, “Ah, apa Mas Ismail akhir-akhir ini mengalami sesuatu yang aneh, misalnya bisa mengeluarkan senjata dari…”

“Tunggu,” potong Ismail cepat. Kedua alisnya menaut. “Mas ini sebenarnya siapa?

Dongkol dengan perkataan Revan yang jelas-jelas bisa membuat Ismail dan Din curiga, Brie cepat-cepat bicara, “Bu Din kenal dengan Bapak Deny Kusuma, kan?”

“Iya, memangnya kenapa?” kerutan di kening Din makin jelas.

“Revan ini menantu dari Bapak Deny itu.”

“Ya, ampun! Pantas saja saya seperti pernah lihat muka Masnya ini! Saya pernah lihat di undangan…” Din mengelus dadanya dengan mata terpejam. “Waktu itu saya masih sakit, jadi belum bisa pergi ke sana, tapi saya sudah dengar semuanya. Saya turut berduka cita. Pak Deny itu orangnya baik, sering menyumbang ke panti asuhan ini.”

“Saya juga turut berduka cita. Saya disekolahkan beliau sampai kuliah,” sambung Ismail pelan. Brie langsung bisa mendeteksi ketulusan dalam suara pemuda itu.

Brie sedikit tersenyum. Percakapan ini sudah ada di genggamannya. “Jadi begini, apakah Ismail tahu kalau orangtua Ismail dan Pak Deny itu dulunya mengikuti satu perkumpulan yang sama?”

Ismail melongo dan tak kunjung menjawab. Ia memandang ibu asuhnya sebentar, baru kemudian berdiri. “Lebih baik kita bicara di tempat lain. Bu, aku pinjem perpusnya, ya?”

Din yang ditanyai cuma mengangguk kaku.

“Ikuti saya.” Ismail mulai berjalan cepat menuju salah satu pintu di ruang tamu.

Revan dan Brie saling bertukar pandang sejenak, sebelum akhirnya mengikuti Ismail, memasuki ruangan kecil dengan rak-rak berisi buku-buku lusuh.

“Silahkan duduk,” pinta Ismail setelah menutup dan mengunci pintu lalu dirinya sendiri duduk di karpet ruangan itu. “Kalian sebenarnya mau ngapain?”

“Langsung saja,” serbu Revan sebelum Brie sempat bicara. “Seperti yang aku tanyakan tadi, apa kamu akhir-akhir ini mengalami hal aneh seperti melihat senjata yang muncul sendiri dari tubuh kamu?”

“A… Apa?” Ismail langsung terlongong-longong, tak bisa mengikuti kata-kata Revan.

Brie menghela napas, heran dengan Revan yang kembali mengulangi kesalahan. Bermaksud membuat Ismail mengerti, Brie memutuskan untuk fokus mengaktifkan kekuatannya. Setelah kejadian di pernikahan Revan, ia memang mencoba-coba kekuatannya itu. Sekar bisa menyerang kapan saja, tak ada ruginya mempersiapkan diri.

Ketika pola dan pedang emas itu muncul di tubuh Brie, suasana langsung hening. Mulut Ismail menganga semakin lebar, sementara Revan cuma memelototi gadis itu.

Brie menahan tawanya agar tak pecah. Menurutnya dua pemuda itu seperti sedang menahan hajat. “Ismail, kemungkinan besar kamu juga punya kekuatan ini. Kata pak Deny, ada beberapa anak yang dijadikan bahan ritual khusus…”

Belum sempat Brie merampungkan kata-katanya, Ismail berdiri dan berkata dengan nada sangat halus, “Pergilah.”

“Ada yang datang mengincar anak-anak seperti Brie dan kamu, Ismail,” terang Revan, ikut-ikutan berdiri. “Kita cuma ingin tanya, apakah kamu punya informasi mengenai kekuatan ini, atau…”

“Aku tahu kalau orangtuaku memang mengikuti semacam perkumpulan mistis. Kalau ndak salah ketuanya itu namanya nyai Pratista. Cuma itu yang aku tahu,” potong Ismail lantas menghela napas panjang sambil memejamkan mata. “Maaf, tapi aku ndak mau ngomongin ini lagi. Terus, maaf kalau kesannya ngusir, tapi lebih baik kalian pulang.”

“Ikut kami! Kamu akan lebih aman bersama kami!” desak Revan.

Brie membuang muka dan mendengus kesal. Lagi-lagi sikap sok pahlawan. Ia tak habis pikir, bisa-bisanya Revan memikirkan orang yang tidak mereka kenal ini.

“Lebih baik kalian pulang,” ulang Ismail, membuang wajahnya yang kini tegang.

Mendapati bayangan di celah bagian bawah pintu ruangan yang ditutup, Brie mematikan kekuatannya. Ia bangkit lalu berbisik sambil menunjuk pintu, “Sepertinya ada yang mendengar pembicaraan kita.”

Ismail mengangkat sebelah alis lantas menghampiri pintu ruangan dan membukanya. Din yang sedang membungkuk di balik pintu itu pun seketika berjengit.

“Ibu lagi ngapain?” tanya Ismail penuh selidik.

“Itu… Tadi ada kecoa, kayaknya masuk ke perpus,” balas Din sambil menegakkan badannya. Kemudian, ia melongok ke dalam. “Ah, Mbak Brie sama Mas Revan minum dulu, ya. Sudah saya siapkan teh dan makanan kecil.”

“Mereka udah mau pulang kok, Bu,” balas Ismail lugas.

Din tersenyum penuh arti kepada Ismail. “Jangan gitu dong, Le. Kita harus menyambut teman-teman barumu dengan baik.”

Ismail tak menjawab dan malah pergi begitu saja.

“Ah, maafkan Mail, ya. Ndak biasanya dia seperti itu,” ujar Din sambil mengelus dada, menatap sedih punggung anak asuhnya itu.

“Tidak apa-apa kok, Bu,” balas Brie dengan senyum ramah andalannya.

“Yuk, minum dulu.”

“Makasih, Bu. Kebetulan saya ingin bertanya lebih lanjut mengenai Pak Deny,” timpal Brie, mengikuti Din untuk duduk di kursi.

“Wah, saya takut ndak bisa jawab banyak.”

“Yah, yang ibu tahu saja.”

Barangkali memang tak akan banyak informasi yang bisa didapat Brie. Namun, kalau pergi sekarang, dirinya lagi-lagi akan berdua saja dengan Revan. Daripada melamun tanpa ada yang bisa diajak ngobrol, Brie memilih berbincang sebentar dengan sang ibu panti.


next chapter
Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C10
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login