Download App
25% GEN / Chapter 4: Bab 4. KEN (II)

Chapter 4: Bab 4. KEN (II)

5 tahun semenjak aku menghilang dan 3 tahun setelah aku kembali lagi, aku berniat untuk memperbaiki pikiranku, perasaanku serta niatku untuk sepenuhnya menerima Sevana dan melupakan Rengganis. Mencoba menerima Rengganis sebagai sahabat, akupun berusaha dekat dengan suaminya sebagai sahabat pula. yakin semua akan berjalan baik sesuai harapanku, perlahan aku mulai membuka kembali diriku setelah lama menyepi. Namun, kenyataannya selama ini aku hanya menjadi penguntit. Bagaimana tidak, setiap kali aku melihat papan pengumuman besar yang diunggah di medsos bahwa dia akan naik panggung di manapun itu, diam-diam dan dari jauh aku adalah penonton setianya hingga usai. Tanpa ada keberanian untuk menemuinya ataupun suaminya saat panggung usai. Bahkan sejauh apapun kota tempatnya tampil, aku akan berusaha datang. Rengganis, selain penulis yang handal dengan tulisan-tulisannya yang cadas dan cerdas, dia juga seniman panggung yang menawan. Suaranya tidak beda dengan kesan wajah dan tulisannya yang keras sertak agak serak memiliki kekhasan tersendiri untuk memikat.

Hingga pagi itu, aku menerima pesan Rengganis. Rindu dia bilang. Atas ketekadanku untuk lebih serius kepada Sevana, serta sekedar menjalin persahabatanku dengan Rengganis, maka agak kuabaikan pesan-pesannya tentang rindu itu. Agak karena memang tidak sepenuhnya mengabaikan, ada relung bahagia yang takmampu kusingkirkan. Kadang ada penyesalan karena tidak menyambut pesannya yang lama menghilang kemudian, namun akan datang lagi pesan itu bersama dengan usaha kerasku mengabaikan.

Suatu siang di Salatiga, udara kota yang berada tepat di bawah kaki Gunung Merbabu masih dingin seperti biasa. Hawa dingin seringkali membawa perasaan kita kepada hal yang sifatnya mendayu biru. Ketika sedang mencecap kopi, mengunyah makanan, mendengarkan musik, membaca apalagi jika sedang diselimuti asmara. Membaca pesan-pesanmu kembali, kali ini getaran itu semakin kuat menyengat dari ujung ubun-ubun hingga ujung perut, membuat syaraf-syaraf kakiku seperti tidak mampu berdiri.

"Boleh aku minta satu saja." Satu kalimat dalam messengermu.

"Apa?"

"Aku ingin memelukmu"

"Memeluk saja ya." Balasku mencoba menahan diri.

"Ok."

"Kapan?" Tanyaku balik.

"Akhir minggu ini?!"

0oo0

Sabtu sore setelahnya, aku memulai perjalanan menuju kota tua, tempat kami akan berkencan. Hujan di sepanjang jalan Boyolali, tidak melunturkan tekadku bertemu dengannya. Melewati jalan Ampel berharap bisa menikmati hijaunya pohon-pohon dari hutan kecil yang masih terjaga maski tidak luas, namun kenyataannya kabut terlalu tebal menutupi pandangan. Belum lagi air yang jatuh dari langit berbaris cukup rapat menambah pendek sudut pandangku. Alih-alih mengendarai motorku dengan santai, kutancap gas berkejaran dengan hujan. Menjelang tiba di kota tua, jemari tanganku bergetar hebat. Mungkin karena dingin dan basah oleh hujan, meski sebenarnya semua berasal dari detak jantungku yang detaknya tidak beraturan dan semakin kencang saat roda motorku memasuki perbatasan kota tua. Jalanan mulai kering atau mungkin sama sekali tak hujan karena tidak ada bekas air hujan sedikitpun. Suhu badankupun sedikit menghangat.

Kau tunggu di depan Boulevard Kampus biru, begitu pesanmu padaku. Kampus itu terletak sebelum jembatan Bengawan yang membatasi Kota tua dengan kota sebelah. Sampai di depan Monumen bertuliskan nama Universitas, hari masih terang. Sementara aku berencana menemui setelah Maghrib, ketika hari mulai petang. Aku merasa suasana seperti itu terasa lebih romantis. Huft! Mendadak aku mengeluh akan diriku sendiri yang seperti diselimuti kabut gelap cinta buta. Masalahnya, perasaan seperti ini tidak bisa kutolak.

Menunggu sore menjadi lebih gelap, kugunakan waktu untuk berkendara berputar-putar Kampu. Dari Boulevard hingga menuju Gedung yang diawali dengan lapangan berumput yang cukup luas dengan tulisan Auditorium. Gedung yang mengakhiri jalanan dengan pohon Akasia di kanan kirinya. Jalanan menuju Auditorium sebelum memasuki lingkungan Kampus tersebut terbagi menjadi dua di mana bagian tengahnya dibatasi pot memanjang dengan pohon-pohon kecil berakar lunak. Masing-masing jalan tersebut hanya bisa dilewati satu arah saja. Jalan yang dari arah Boulevard, mulai memecah menjadi dua arah ke kiri dan kanan melingkari lapangan depan Auditorium. Aku mengambil jalan yang ke arah kiri, berharap jalanan itu akan memutari seluruh kampus kemudian kembali lagi ke sini dari arah yang berlawanan. Dan perkiraanku benar.

Kampus ini memiliki lingkungan yang sangat luas, kalau dihitung luasnya kira-kira seluas satu kampung dengan tetap menjaga hutan-hutan kecil yang membatasi antara Fakultas satu dengan Fakultas lainnya. Jalannya yang naik turun seakan kampus ini berada di sebuah bukit, pun juga masih ada beberapa bukit-bukit kecil dibiarkan kosong tanpa bangunan namun penuh dengan pohon-pohon yang cukup besar. Sungguh indah sekali. Setelah memutar kemudian melewati Fakultas pertanian, yang membuatku takjub adalah sungai kecil yang memanjang di sepanjang pinggir jalan keluar dan pemandangan sungai tersebut berhenti pada jembatan yang menutupi lekak-lekuknya. Ah! Semoga saja lulusan Universitas ini sehebat kampusnya. Batinku iri.

Aku telah menuju jalan keluar dengan masih membawa kekagumanku akan suasana keindahan kampus ini, dan perasaan itu masih tertinggal hingga aku duduk di lantai Boulevard yang memiliki konstruksi agak meninggi di bagian kanan jalan. Saat menjelang sore hingga malam hari, tempat ini dimanfaatkan menjadi tempat nongkrong para mahasiswa mahasiswinya. Ada yang bergerombol ngobrol dengan beberapa teman-temannya dan ada pula yang hanya duduk berdua sambil berkasih-kasihan.

Beberapa menit kemudian, saat tanganku sudah memegang Hand Phone dan mulai mengetikan jemari untuk mengirim pesan pada Rengganis, seorang perempuan dengan rambut berombak terurai sebahu telah berdiri di depanku.

"Hai Ken!"

"Oh Rengganis. Kamu sudah di sini. Aku hendak mengirim pesan padamu."

"Sudah lama menunggu?" Tanyamu sambil tersenyum. Entah mengapa, senyum selalu memberikan efek magis kepada siapapun. Meski seringkali senyum itu adalah hal biasa diberikan oleh pemiliknya, namun bagi yang menerima senyum itu seperti memberi efek yang kadang tidak mampu diterima secara akal. Bisa memberi semangat, energi dan atau bisa membuat "Gedhe rasa" alias GR. Termasuk diriku saat ini, di mana ada perasaan melayang saat melihat senyum dengan pipi berlesung.

"Baru beberapa menit." Kau hanya mengangkat alismu, kemudian duduk di sampingku. Beberapa detik tidak ada satupun dari kami yang bersuara. Kalau aku sendiri, karena disebabkan debaran jantungku yang tidak beraturan membuat lidah kelu. Ingin segera memecah suasana, tapi bibir seakan bingung bagaimana harus bergerak. Akhirnya aku pasrah kepada detik yang berjalan, menunggu dirimu berbicara.

"Apakah kita akan duduk di sini saja, atau mau kemana?' Akhirnya kau mengangkat bicara setelah banyak detik yang berlalu.

"Terserah."

"Kok terserah?!" timpalmu sambil sedikit mengernyitkan kening.

"Aku kan ga tahu kota ini, tempat-tempat mana yang asyik untuk nongkrong dan ngobrol."

"hmm.." Hanya begitu saja jawabmu? Batinku.

"Bagaimana kalau kita nongkrong saja di Taman Budaya atau di Wisma Seni tempatku menginap? Di Wisma Seni ada kantin kecil yang bisa menyediakan kopi hingga tengah malam nanti."

"Ke Wisma Seni saja. Lebih enak ngobrol sambil ngopi."

Aku bisa merasakan aura hangat yang dia berikan meski hanya sekedar membonceng di sadel belakang motorku dan meski tanpa erat memelukku. Sepertinya dia masih menjaga harga dirinya, meski ketika berbicara melalui Messenger, kalimat-kalimatnya begitu bergairah. Malahan, ketika sudah bertemu begini aku yang seakan mengharapkan hal-hal yang berlebihan darinya.

Dengan petunjuk Rengganis, ban motorku akhirnya melewati pintu gerbang Wisma Seni. Ada beberapa bangunan dengan model tradisional dan berbahan campuran antara bata dan kayu, area ini sangat unik sekali. Dari Gerbang lurus akan tampak beberapa Gedung yang jika dilihat dari jalan tampak sekali bahwa bangunan itu bukan tersedia untuk kamar karena bagian atas dingding berderet jendela kayu dari kiri ke kanan full. Mungkin bangunan itu biasanya digunakan untuk sebuah peretemuan rapat atau workshop kecil, begitu cerita Rengganis saat aku bertanya. Pantas saja jika Rengganis paham. Selain kuliah di kota ini, dia juga aktif berkecimpung di dunia seni selain Rengganis sendiri seorang penulis, itulah cara bagaimana dulu aku mengenalnya.

Jika dari gerbang membelok ke kiri, maka hal pertama yang bisa ditemu adalah kantin seperti yang diceritakan Rengganis tadi. Hanya kantin kecil yang dikelilingi pagar kayu pula. Ada sekitar 3 meja yang masing-masingnya cukup lebar serta dikelilingi kursi kecil. Juga ada beberapa orang yang sedang berkumpul pada satu meja di sudut kanan. Tampak orang-orang yang berkumpul tersebut adalah para pegiat seni jika dilihat dari penampilannya, terutama dengan rambut gondrong mereka serta pakaian yang sebagian besarnya memakai atribut atau baju tradisi, entah itu bajunya atau penutup kepalanya. Ada juga yang hanya memakai celana jeans butut dengan kaos oblong hitam yang biasanya dengan stiker yang tidak biasa, entah itu bentuk tulisan ataupun gambar.

Rengganis mengajakku duduk di salah satu meja yang berdekatan dengan pintu ruang dapur kantin. Dia memesan 2 gelas kopi hitam, kemudian mengambil sebatang rokok dari bungkus yang baru saja kuletakan di meja.

"Merokok juga?" Rengganis tertawa kecil sebelum menjawab pertanyaanku.

"Kaupikir aku perempuan manis yang selalu rajin bergincu dan berbedak, apa?!"

Tentu saja tidak. Aku tahu kau bukan perempuan sesederhana itu, namun kemewahanmu juga tidak terletak di penampilan. Aku hanya menimpalinya dengan setengah senyum, lalu turut mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.

"Novelmu yang terakhir itu, tumben sekali didominasi romantika." Kau buka percakapan dengan bahasan novelku sebagai bahannya. Namun, sebelum aku menjawab yang memang sengaja kulakukan, kau kembali meneruskan kalimatmu.

"Tidak seperti kamu yang biasanya. Apakah ada sesuatu atau seseorang yang sedang mengobrak-abrik perasaanmu?"

"Apakah karya itu selalu hasil dari akibat yang diderita sang pengkarya?"

'Setidaknya itu hasil perasaan sang pengkarya, dalam hal ini, kamu sebagai penulis. Entah itu hasil dari pengalamanmu atau orang lain, tapi setidaknya ada perasaanmu yang turut campur di dalamnya dan memotivasi munculnya ide."

Iya. Ingin aku mengatakan itu padamu, Rengganis. Novel terakhirku banyak terinspirasi dari segala perasaanku padamu. Sudah banyak cara kulakukan, bahkan hingga menghilang 2 tahun dari semua, meninggalkan kuliahku yang tinggal skripsi, meski setelah pulang kuselesaikan juga secara instant. Semua itu karena dirimu. Begitu banyak penyesalan, mengapa dulu aku tidak memberi kesempatan kepada kita untuk saling mengenal.

"Seperti, bagaimana jika aku ingin memiliki anak darimu?" entah itu pernyataan atau pertanyaan, tapi sungguh mengejutkanku.

"Maksudmu? Apakah itu pertanyaan? Atau ungkapan?"

"Menurutmu?"

"Mengapa kau selalu menjawab dengan pertanyaan atas pertanyaanku?"

Bukan. Bukan ini maksudku. Aku hanya ingin tahu tentang kesungguhan dari kalimatmu tadi. Ketegangan itu telah menjalar ke seluruh tubuhku, mengalir bersama deras darah berdesir.

"oke. Aku serius. Aku ingin anak dari kamu." Tetap saja pernyataanmu membuatku terkejut dan gugup. Selama ini, meski cinta dan rindu nyaris tidak bisa kubendung, namun tidak terpikir olehku untuk melakukan hubungan badan denganmu. Mungkin pernah terbayang untuk sekedar mendekap atau melumat bibirmu, namun bukan untuk hubungan yamg lebih jauh lagi. Bagaimanapun, pikiran sadarku menyadari bahwa kamu telah bersuami. Masih ada rasa takut akan karma jika aku merusak pagar ayu orang lain.

"Aku tidak mau ada yang terluka."

"Bantar setuju."

"Nggak mungkinlah. Ke depannya, aku juga tidak akan punya wajah berhadapan dengan Bantar."

"Beberapa hari ini, aku telah berbicara dengan Bantar. Aku tidak ingin mengkhianati Bantar dengan sembunyi-sembunyi. Tapi, aku sangat ingin anak dari kamu. Selain karena aku mencintaimu, aku memiliki alasan lain."

"Tidak Rengganis. Cinta tidak seperti itu bukan?!"

"Tapi, aku ada alasan lain!"

"Lalu apa itu?"

"Aku hanya tidak ingin mengatakannya." Aku terdiam. Tidak ingin meneruskan lagi perdebatan kecil itu. Sudah jauh-jauh ke kota ini untuk memuaskan rindu yang tertahan bertahun-tahun, aku tidak ingin merusaknya. Namun tampak aura wajahmu tidak menerima hasil dari perdebatan sesaat tadi.

"Cinta memang absurd." Katamu lirih, seperti bergumam pada sendiri. Ada nada kesal dan sesal.

"Itulah sebabnya, Camus berkata bahwa sisifus bahagia karena telah melawan Dewa walau diganjar absurditas."

"Aku bahagia jika bisa memilikimu." Kau diam sesaat sambil memegang dahimu yang seakan sarat memuat. " Aku tahu, kau bukan milikku. Dan aku tidak memaksakan diri untuk memilikimu." Seakan tidak menghiraukan ucapannya yang mendayu biru itu, aku meneruskan ceritaku tentang sisifus itu.

"Sisifus menerima rutinitasnya mendorong batu sebagai bagian absurd dari yang bernama kehidupan."

"Jika kau menganggapku begitu, seperti Sisifus. Aku lakukan."

"Terserah kamu Rengga, terus terang aku tidak bisa. Aku...." Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, mulutmu sudah terbuka untuk memotongnya.

"Aku ada alasan! Aku ada alasan, Ken!"

Aku terdiam demi melihat nada putus asa di suaramu. Emosi mulai nampak tidak stabil. Aku tidak menyangka, seorang Rengganis yang dikenal sebagai perempuan yang cerdas dan cadas bisa kehilangan keseimbangan emosinya. Ada rasa membumbung di diriku, merasa itu disebabkan olehku.

"Aku hanya ingin membuat dunia lebih baik. Kamu dan Bantar, kalian berdua manusia yang diberi anugerah kelebihan oleh alam. Aku telah memiliki seorang anak yang menuruni bakat Ayahnya. Tangan ajaib dengan kelebihan melukis sudah kelihatan sejak sebelum 3 tahun, menuruni ayahnya yang seorang pelukis uang yang hanya sedikit dimiliki dunia. Sekarang, aku ingin memiliki anak darimu. Saat bersatu, kelak aku berharap mereka bisa menjadi salah satu cahaya bagi dunia."

"Aku hanya orang biasa Rengga. Tidak baik jika sepenuhnya membebaskan perasaan menguasai naluri, dan tidak baik jika membiarkan pikiran menguasai penilaian dalam mencetak reaksi. Kehidupan itu seimbang. Barangsiapa hanya mengacu pada perasaanya saja maka bakal sakit jiwa, dan barang siapa hanya menimbang pada akalnya saja maka akan stres." Kalimatku terjeda karena tidak tahan untuk menghirup tergesa asap rokok yang batangnya nyaris habis. Namun sebelum aku meneruskan, kau sudah menyelanya.

"Masalahnya dunia sudah tidak seimbang lagi, Ken, dan manusia banyak berperan atasnya. Dunia semakin rusak karena aksi tidak sebanding dengan reaksi."

"Kita yang mampu membebaskan ikatan pada keduanya, maka akan mencapai kesadaran bahwa kita sejatinya hanya saksi kehidupan –kita tidak mencetak aksi ataupun reaksi."

"Tidak Ken! Tanpa aksi dan reaksi dunia akan semakin terpuruk."

Aku sudah tidak mampu meneruskan perdebatan yang sepertinya tidak akan ada ujungnya, jika aku tidak berhenti. Rengganis kecewa, dan karena itulah dia berusaha medebatkan demi membenarkan jalan pikirannya yang tanpa dia sadari alasannya itu sangat melukaiku. Bahkan aku sendiri nyaris tidak sadara jika saja aku tidak mendengarkan nafas berat yang seperti bersusah payah keluar masuk di dadaku. Ketika aku menghentikan perdebatan itu, sakitku makin terasa nyata. Aku merasa dikhianati oleh keinginannya yang seakan aku hanya obyek. Kupikir kau tidak menyadari kekecewaanku, tapi ternyata....

"Ken, apakah aku menyakitimu."

"Sudahlah Rengga, tidak apa-apa. Cinta, seni dan absudirtas itu seperti tweedledum and tweedledee."

"Sekali lagi, aku minta maaf jika keinginan ini menyakitimu."

"Bantar datang."

Aku bisa melihat kekagetan di wajahmu.

"Bagaimana kamu tahu aku datang dengan Bantar?"

Satu lagi yang mungkin membuat Rengganis, jatuh cinta padaku. Bahwasanya, aku memiliki sedikit kekuatan alam yang diturunkan dari moyangku. Mungkin ini pula yang membuatnya bersikeras ingin punya anak dariku. Salah satu kekuatan itu adalah, aku bisa melihat sesuatu yang belum terjadi, seperti kedatangan Bantar yang jarak mobilnya masih sejauh kiloan meter.

Pertemuan malam itu, kami menghabiskan malam bertiga di teras kamar penginapan dengan berteman 2 botol anggur. Dalam kondisi setengah sadar Rengganis banyak mengoceh tentang bagaimana dia akan jadi Drupadi dan melahirkan anak-anak ajaib. Dengan ringan, tangannya membelai wajahku, lalu wajah Bantar tanpa beban rasa bersalah terhadap perasaan kami berdua; aku dan Bantar. Sesekali kulirik wajah Bantar, ingin melihat ekspresinya saat Rengganis memegang-megang wajahku sambil bicara rindu. Entah mengapa, aku menikmatinya. Meniukmati perasaan menang, ketika ada bersitan luka di wajah Bantar meski berusaha keras dia tutupi.

Keesokan dini hari, sebelum fajar benar-benar merekah, kamipun berpisah. Rengganis dan Bantar pulang bersama dengan sopir mereka, dan akupun mengendarai motorku kembali melalui jalanan yang kemarin kulewati, bedanya pagi ini berkabut lebih tebal dan tanpa hujan. Kembali ke Salatiga. Mencoba lagi untuk kembali kepada Sevana.

00o00

Dua minggu setelah pertemuan malam itu, kini aku telah duduk di kursi yang berada di dalam kamar hotel Sekar Ayu yang berada di sudut perempatan depan Taman Budaya. Duduk berhadap-hadapan denganmu Rengganis. Kali ini, benar-benar hanya berdua saja. Aku terdiam menunduk tanpa berani menatap wajahmu. Bahkan ketika perlahan kau berjongkok di depanku dan meletakan wajahmu tepat di depan wajahku, sampai-sampai aku bisa merasakan nafasmu menyapu kulit wajahku. Semua berjalan begitu saja, hingga bibir kita saling melumat.


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C4
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login