Andres menuju dapur untuk menaruh kantong belanjaannya sekaligus memastikan gadis itu sudah memakan pesanannya dan menerima suratnya sebelum naik ke lantai 3 tempat kamarnya berada. Andres segera berganti pakaian dan alas kaki kemudian membasuh wajahnya. Tak butuh waktu lama, dia sudah berada di depan kamar gadis itu. Dia mengetuk pintu dan memilih menunggunya di luar. Setelah pintu terbuka, senyum gadis itu menyambutnya. Rasa lelah yang Andres rasakan setelah seharian bekerja langsung lenyap. Andres ingin sekali memeluknya untuk mengisi penuh energinya. Namun, untuk saat ini dia memilih menggenggam tangan mungilnya dan membawanya pergi.
"Kamu sudah membaca suratku?" Tanyanya kemudian.
"Iya," jawab gadis itu singkat.
Andres ingin sekali bertanya lebih jauh namun sepertinya gadis itu tidak tertarik membahasnya.
"Mie ayam cekernya enak?" tanya Andres.
"Iya," jawabannya masih singkat.
¿Qué pasó con ella? [Ada apa dengannya?] Pikirnya.
"Kamu mau belajar masak apa malam ini?" tanya Andres setelah berkutat dengan pikirannya untuk beberapa saat.
"Terserah."
Lagi-lagi sebuah jawaban singkat dan nada ketus.
"Hmmm. Aku tidak suka jawaban ini," aku Andres.
"Terserah kamu mau mengajariku memasak apa."
Akhirnya jawaban yang lebih panjang meski nadanya masih ketus.
"Sama saja. Kamu mau belajar masak apa?" Tanyanya lagi.
"Aku tidak tahu."
"Nah, ini kedengarannya lebih baik." Andres tersenyum.
Gadis itu bergumam, "padahal sama saja."
"Apa yang kamu lakukan seharian ini?" tanya Andres, demi terus mendengar suara gadis itu.
"Tidak ada."
Andres mendesah lirih lalu lanjut bertanya, "katamu mau keluar rumah?"
"Kamu menyuruhku masuk lagi." Nadanya terdengar kesal dan suaranya meninggi.
Andres tersenyum kecil, "ya. Tapi kamu bisa keluar setelah membersihkan diri kan?"
"Apa aku terlihat mengerikan tadi pagi?" Tanyanya tiba-tiba.
"Siapa yang bilang begitu?" Rasanya Andres ingin menghancurkan wajah orang yang telah mengatakan hal buruk pada gadisnya.
"Kamu menyuruhku segera masuk dan tadi kamu bilang 'membersihkan diri'."
Andres menghentikan langkahnya. Dia menatap gadis itu sambil berkata, "aku tidak pernah melihatmu mengerikan. Mau kamu sedang tertidur atau terjaga. Tersenyum atau marah. Wajah polos atau berdandan. Bersih atau blepotan. Kamu tetap terlihat cantik."
Itu fakta kelima yang baru disadarinya bahwa gadis itu selalu terlihat cantik di matanya.
"Benarkah?" Tanya gadis itu.
"Aku tidak pernah berbohong," jawabannya membuat gadis itu tersenyum.
Setelah itu, Andres mendesah, "kamu tahu, aku sangat ingin menciummu sekarang."
Mata hitam bulat gadis itu membesar. Andres tertawa melihat ekspresinya. Dia yakin mood gadis itu sudah kembali.
***
"Harusnya kamu membiarkan aku berbalik! Kalau seperti ini pasti susah!" Suara Zizi seperti robot karena wajahnya tertekan pada dada bidang pria itu.
Zizi mengomel sedari tadi karena pria itu bersikeras mengikat ujung apronnya dari depan dan sampai sekarang belum selesai juga.
"Kamu bisa mengikatnya tidak?!" Omelnya lagi.
"Bisa. Sebentar lagi. Ini talinya bermasalah. Kubenarkan dulu." Jawab pria itu dengan sabar dari balik bahunya. Zizi tidak sadar pria itu sedang tersenyum menahan tawa.
"Huft." Zizi mendesah. "Jangan lama-lama! Aku capek!"
Pria itu menjawab, "bersandar saja yang nyaman."
Zizi mengikuti sarannya. Dia memiringkan wajahnya dan menempelkannya di dada pria itu.
Beberapa menit kemudian pria itu selesai. Zizi menarik diri darinya.
"Sebenarnya sudah selesai dari tadi. Aku hanya ingin memelukmu." Pria itu mengaku sambil mengerling nakal.
"Dasar mesum!" Pukulan kedua tangan Zizi mendarat di dadanya.
Bahan makanan berjejer rapi di atas meja konter. Pria itu kembali dengan semangkuk sayuran yang baru saja dicucinya. Dia menoleh pada Zizi lalu menarik tangannya menuju wastafel. Air kran dinyalakan. Pria itu membasuh kedua tangan Zizi lalu mengelapnya dengan telaten seperti seorang ibu yang sedang mengajarkan anaknya mencuci tangan. Zizi tersenyum menyadari perlakuannya. Pria itu kemudian membawanya kembali ke depan meja konter. Talenan dan pisau ditaruhnya di depan Zizi. Satu tomat besar dari dalam mangkuk diambilnya dan ditaruh di atas talenan. Tangan kanan pria itu merogoh tangan kanannya dari belakang, menariknya ke atas meja dan menaruh pisau yang diambil tangan kirinya ke dalam genggamannya. Tangan pria itu sibuk memperbaiki posisi genggaman tangannya pada pisau itu. Setelah itu, giliran tangan kirinya yang diangkat. Tangan kiri pria itu menempatkan tangan kirinya di atas tomat lalu memperbaiki cara memegang sayuran itu. Tangan kanan pria itu membimbing tangan kanannya memotong tomat menjadi dua bagian, lalu mengiris-ngiris separuh bagian hingga berbentuk dadu kecil. Tangan kiri pria itu menggeser tangan kirinya menjauh dan menggerakkan tangan kanannya untuk mendorong pisau pada potongan tomat ke pinggir talenan. Pria itu melepas kedua tangannya lalu beralih mencengkeram pinggiran meja di sisi kanan dan kiri tubuhnya.
"Pisaunya tajam, jangan sampai melukai jarimu," bisik pria itu di telinganya.
Zizi melanjutkan memotong tomatnya hati-hati.
"Kamu tidak ada kerjaan lain?" Tanya Zizi karena pria itu masih berdiri di belakangnya.
"Aku sedang berjaga-jaga agar kamu tidak sampai memotong jarimu," suaranya terdengar serius.
Zizi berhenti memotong lalu menoleh ke arah kepalanya. Hidungnya sempat menyenggol hidung pria itu. Zizi menelan ludah. Tatapan mata hijaunya tajam mengarah padanya. Pria itu sedang serius sekarang.
"Ini hanya memotong tomat. Mana mungkin aku sampai memotong jari?" Zizi meyakinkannya.
Pria itu kemudian mendesah. Tangan kirinya menaruh tiga buah tomat lagi di pinggir talenan.
"Fokus pada pekerjaanmu, ok?" Pintanya lalu mendaratkan kecupan di pipinya.
Pria itu mulai sibuk dengan pekerjaannya. Dia bekerja sangat cepat. Zizi belum selesai dengan potongan tomatnya, pria itu telah memotong kentang, mengiris bawang, dan beberapa sayuran lain.
"Tidak usah melirikku." Pria itu mengingatkan sambil mengangkat rebusan kentangnya.
Zizi tidak menjawab. Dia mengerucutkan bibirnya sambil memotong dadu irisan tomatnya.
Pria itu kembali berdiri di belakangnya setelah pekerjaan memotong tomatnya selesai. Zizi merasakan hembusan napasnya dan tekanan di kulit kepalanya. Itu tadi dia mencium rambutku? Tanya Zizi dalam hati. Pria itu menaruh mentimun di atas talenan. Tangan kanan pria itu meremas tangan kanannya lalu memijatnya dengan tekanan ibu jarinya sedangkan tangan kiri pria itu mengangkat tangan kirinya dan meletakkan di atas mentimun.
"Ah, aku tidak jadi belajar memasak!" Zizi menyerah karena tidak tahan lagi dengan gelombang panas yang dia rasakan.
Pria itu bertanya dengan suara desahan di telinganya, "mengapa?"
Zizi berteriak, "kamu memanfaatkan keadaan!"
Pria itu terkekeh di telinganya.
"Bukankah lebih menyenangkan belajar memasak seperti ini," jawabnya sambil menggosok hidungnya di telinga Zizi atau lebih tepatnya menciumi telinganya dan mengapit tubuhnya dengan kedua lengannya yang berotot.
"Ya, Tuhaaaan! Selamatkan aku dari chef mesum ini," Zizi memejamkan mata sambil berdoa sepenuh hati.
Hola!
Gira mengedit dan menambahi beberapa adegan di bab-bab sebelumnya per tanggal 1 Februari 2020. Jika kamu sudah membaca bab 1-6 sebelum tanggal itu, lebih baik kamu membaca ulang agar tidak melewatkan keseruan hubungan Zizi dan Andres sekaligus memahami alur ceritanya.
Muchas Gracias ^^
PS. Jika nanti kamu merindukan mereka tetapi belum ada lanjutan ceritanya, bacalah lagi kisahnya dari awal. Gira juga akan melakukan hal yang sama.