Ekspresi Wataru terlihat sedikit gusar. Nama sialan itu membuat darahnya mendidih. Butuh beberapa detik baginya untuk menjawab pertanyaan Shou karena awan mendung mulai memenuhi raut wajahnya.
"Benar."
<Sudah beres. Kau akan melihat berita kehancurannya dalam waktu dekat. Namanya akan berubah dari Ishidaka Sang Pria Beruntung menjadi Ishidaka Sang Pria Paling Sial.>
"Baiklah. Setelah kupastikan, aku juga akan membawakan uangnya saat bertemu nanti."
<Layanan terbaik dan paling baik selalu untukmu, Yang Mulia!>
Ucap Shou dengan nada penuh merendahkan diri.
"Dasar pria mata duitan!" ledek Wataru santai.
<Hahaha! Kau tahu betul uang berkuasa, kan, di dunia ini? Apa pun akan kulakukan demi uang. Karena mendapat perempuan bagiku adalah hal kecil dan remeh. Jelas aku jadi mata duitan, dong! Lagi pula setara dengan layanan yang kuberikan pada para pelangganku.>
Nada bicara Shou perlahan terdengar berat, dalam, dan berbahaya. Keheningan tegang menghiasai percakapan itu selama 3 detik, sebelum Wataru kembali membuka mulut.
"Baiklah. Aku juga yang untung kalau begitu," Wataru mendesah pasrah.
"Sampai jumpa, Yang Mulia!"
"Ya, ya! Sampai jumpa!"
Wataru memutus sambungan telepon, memandang kesal sejenak pada ponselnya lalu melemparnya ke atas kasur. Ia terdiam sejenak menatap laptopnya yang dalam keadaan siaga.
"Di mana tas perempuan itu?" matanya melirik ke arah lemari geser di sebelah lorong masuk.
Kepalanya dipijat-pijat kembali karena rasa sakit yang kembali muncul,dengan perasaan berat dan lemas ia menyalakan lampu dan memeriksa isi lemari itu, tak ada. Begitu pun saat ia memeriksa lemari di sebelah ruangan, tetap tak menemukan tas tersebut.
Kedua matanya dipejamkan sejenak seraya kedua tangan terlipat dada, kepala mendongak ke atas.
Apa yang semalam dilakukannya selain minum sampai mabuk?
Akibat perasaannya yang galau dan tak bisa mencari perempuan untuk diajak tidur, ia hanya bisa memeriksa isi kulkasnya sambil menggerutu, lalu apa? Keningnya mengencang. Tak ingat rentetan kejadian semalam saat sibuk mabuk melampiaskan segala emosi negatifnya yang bercabang-cabang.
Wataru mendecakkan lidah, matanya dibuka dan melihat lantai kamar yang berantakan parah.
"Di bawah tempat tidur?"
Lelaki itu kemudian berlutut membungkukkan badan, menyibak juntaian seprai. Dengan cepat ia mengenali tas milik Misaki.
"Di sini rupanya?" gumamnya pelan.
Wataru menarik tas itu keluar, menentengnya setinggi mata untuk diamati sejenak.
"Pemilikmu belum sadar sama sekali. Apa kau juga mau membuatku kesal sama seperti dia?" omelnya pada tote bag tersebut, kepala dimiringkan dengan perasaan jengkel.
Tangan kanannya memeriksa isi tas tersebut seraya duduk di tepi kasur. Raut mukanya berubah tak senang saat ujung jemarinya menyentuh beberapa lembar kertas di dalam sana.
"Apa ini?"
Ketika ia melihat lembaran kertas tersebut, senyum menyeringai terpatrit menyeramkan di wajahnya yang menawan, urat pelipisnya seolah akan meledak.
"Berani sekali kau, Misaki!" lembaran kertas itu diremas kuat-kuat, ekspresinya menggelap dengan kedua bola mata memancarkan rasa benci. Rahang lelaki itu mengencang.
Kertas-kertas yang ditemukannya adalah sekumpulan selebaran apartemen murah dan jauh dari tempat apartemen mereka saat ini, bahkan ada yang terletak dua kota dari daerah itu.
ZRAK!
Wataru menghempaskan kasar selebaran itu hingga jatuh berhamburan ke lantai. Kedua bola matanya terlihat gusar.
"Hah! Sungguh perempuan kurang ajar! Mempermainkanku lalu mau kabur?" kepalan tangan kanannya diperkuat.
Hati lelaki itu menjadi sedikit goyah, berperang antara amarah, kekecawaan, rasa putus asa, dan kegelisahan yang menjalar ke seluruh pembuluh nadinya.
Ia kembali merogoh isi tas itu, meraih ponsel Misaki yang kehabisan baterai dan nyaris melemparnya karena kesal, tapi ia menahannya dengan genggaman kuat, mata dipejamkan dengan eskpresi meradang.
"Sial!"
Tubuhnya dihempaskan ke atas kasur, tangannya yang memegang ponsel Misaki menutupi wajahnya.
Hatinya kembali mencair, ia mengamati layar ponsel Misaki yang gelap total. Wajahnya yang terlihat sedih terpantul samar di layar ponsel tersebut.
"Apa yang kuharapkan? Kenapa aku jadi tidak konsisten begini?"
Ia terdiam cukup lama dengan posisi memandang dirinya di layar sempit itu.
Rasa sakit akibat mabuk menyerangnya untuk kesekian kali, hanya bisa diredakan seadanya dengan memejamkan mata sampai keningnya mengeryit ringan.
"Ahhhhhh... menyebalkan... aku butuh perempuan..." keluhnya dengan nada erangan yang panjang, lalu ia terdiam kembali.
Apakah benar saat ini yang dibutuhkannya adalah s*ks untuk melepas stres seperti biasanya?
Wataru menatap langit-langit kamar.
Ia tak sedang mood untuk melakukannya dengan siapa pun, tapi ia juga bosan dan ingin kembali mengisi tenaganya dengan efek nyaman dari bercinta.
Jika ia tak melakukannya, maka hatinya akan terasa hampa. Jiwanya akan menjadi lemah dan lesuh, dan itu tidak baik untuk dirinya yang harus menjalankan agenda besarnya yang membutuhkan banyak tenaga dan pikiran.
S*ks bagi Wataru seperti narkoba yang membuatnya nyaman untuk sesaat. Endorfin* yang didapatnya saat melepas nafsunya bekerja efektif untuk menenangkan dirinya. Lebih cepat dan instan daripada berolahraga.
Salah satu faktor kuat yang membuatnya tak bisa lepas dari perempuan.
---------------
*Endorfin adalah zat kimia seperti morfin yang dapat dihasilkan secara alami oleh tubuh dan memiliki peran dalam membantu mengurangi rasa sakit saat memicu perasaan positif. Hormon endorfin diproduksi oleh kelenjar pituari dan sistem saraf pusat manusia
________
Sesungguhnya, yang dirasakannya saat ini adalah keinginan untuk melupakan semua bebannya sejenak dengan melihat wajah galak Misaki yang mengggemaskan. Wataru mendengus geli tanpa sadar.
Menggemaskan?
Apakah sekarang ia berubah dari playboy menjadi psikopat sadis seperti perkataan perempuan itu?
Wataru tak yakin dengan dugaannya.
Hanya satu yang jelas, ia ingin Misaki untuk dirinya sendiri.
Menyiksanya.
Membuatnya terluka.
Melihat dia meneteskan air mata demi memohon cinta padanya.
Dan yang paling utama dari semua itu adalah membuatnya tak berdaya dan putus asa karena mencintainya!
Senyum dan tawa pelan yang jahat nan licik Wataru menghiasi wajahnya yang terlihat bahagia, tapi sorot mata lelaki itu berkata sebaliknya, kedua bola mata hitam itu seolah kehilangan harapan akan dunia.
Jantungnya seketika mengeryit sakit.
"Misaki adalah milikku. Milikku seorang...."
Walaupun lelaki itu berkata dengan nada penuh ketenangan dan ambisius, dalam hatinya yang paling dalam, ia tak ingin Misaki berada di sisinya sebagai seorang kekasih atau pun sebagai pasangan hidup.
Ia menginginkan Misaki menjadi miliknya tanpa harus memilikinya secara resmi.
Perempuan simpanan bukanlah istilah yang tepat untuk menggambarkan keinginan Wataru.