Ellina tidak tau kalau Eyden bahkan bisa bersikap seperti ini. Tubuhnya sempat merinding untuk sesaat. Sembari membersihkan luka yang ada Eyden terus menatap Ellina tanpa henti.
Ellina merasa ditatap hanya diam, bukan karena tidak mau, namun merasa sudah terbiasa mendapat tatapan seperti itu dari para penggemarnya. Haah, rasanya Ellina benar-benar rindu dengan para penggemarnya.
"Selesai."
Setelah itu Ellina bangkit dari tempatnya. Merasa kalau dia harus segera pergi dari sini. Kalau tidak Eyden akan meminta macam-macam seperti tadi saat dia mengatakan kalau dia ingin ciuman.
"Mau kemana?"
"Kembali."
"Kamu tidak memberikan ciuman?"
Ellina menatap sinis ke arah Eyden, hal itu membuat Eyden menatapnya dengan curiga.
"Kamu marah? Atau barang buruanku kurang sehingga kamu tidak mau membalas hadiahku?"
Ellina melipat kedua tangannya di depan, "kamu meminta balasan, berati kamu tidak tulus memberikannya padaku," balas Ellina.
Eyden terdiam sejenak, memahami kata-kata Ellina yang memang benar adanya. Sekarang malah Eyden yang bingung.
"Tapi itu sudah menjadi tradisi dari sini. Kamu harus memberikan hadiah untuk suamimu."
Ellina memutar bolamatanya jengah, namun dengan cepat mendekat. Bukankah beberapa lama ciuman, rasanya tidak masalah mengingat Ellina pernah ada adegan ciuman juga.
Dia mendekat dan mengecup singkat bibir Eyden. Hal itu membuat sebuah senyum terbit di bibirnya. Seraya menatap Ellina, Eyden mengatakan, "terima kasih atas hadiahnya," ucap Eyden sopan.
Ellina balas tersenyum namun setelah dia berbalik, Ellina segera menampakkan wajah masam dan pergi meninggalkan Eyden.
Yang dia pikirkan sekarang bagaimana caranya supaya bisa keluar dari tempat ini. Ellina tidak mungkin berada di sini dan menjadi istri pria itu kan? Karier Ellina masih begitu panjang.
Apa Yorsa dan Vernon tidak mencarinya dengan benar? Sepertinya Ellina harus memotong gaji dari mereka setelah bertemu lagi dengan mereka.
"Ratu."
Ellina tidak menggubris, namun ketika seseorang menepuk bahunya. Ellina segera berbalik dan menatap sinis ke arah Eyve.
"Ada apa?"
"Hari ini bunga kemewahan sedang mekar. Anda ingin ikut jalan-jalan?"
Ellina mengernyitkan dahinya, "siapa yang menyuruhmu?"
"Ra-raja Eyden. Dia meminta saya untuk mengajak Ratu jalan-jalan melepas jenuh."
Ellina membatin dalam hati, "ternyata dia perhatian juga padaku." Setelah mendengar ajakan Eyve. Ellina setuju untuk ikut.
Eyve mengajaknya pergi ke sebuah taman indah letaknya tak jauh dari tempat mereka. Di saja ada air terjun dengan mata air jernih, lalu ada batu-batu dengan bentuk macam-macam.
Di sisi lain Air terjun itu ada spot bunga indah yang tertanam seakan mengelilingi sebuah padang kecil. Ellina tampak tertarik dan begitu mengagumi apa yang baru saja dia lihat.
"Tempat ini dibangun oleh mendiang Ratu terdahulu. Tepatnya saat ibunda dari Raja Eyden masih hidup. Biasanya beliau akan duduk di sini menikmati semilir angin yang membuat ingin tidur."
Eyve menjelaskan dengan hati-hati. Karena sedaritadi saat Eyve berusaha menjelaskan. Ellina sama sekali tidak merespon. Lalu mereka berdua berjalan melewati bebatuan di air terjun yang dangkal untuk sampai di sana.
Ellina terdiam karena takjub, air yang menyentuh kakinya benar-benar sejuk. Tidak dingin yang akan membuatnya menggigil, hanya dingin yang menyejukkan.
Karena tidak mendapat respon apapun dari Ellina. Eyve khawatir, Ellina mungkin saja tidak suka bila diajak pergi ke tempat ini.
"Ratu, apa anda menyukai tempat ini?" Tanya Eyve hati-hati.
"Tentu saja, ini sangat indah."
"Andai aku bisa membuat villa di dekat sini, dengan pemandangan air terjun dan taman bunga sebagai pemandangannya!" Ujar Ellina semangat.
Eyve menghela nafas lega, "syukurlah kalau Ratu menyukainya."
"Tentu saja aku sangat suka."
"Ah! Ponselku tertinggal di sana, baterainya mungkin sudah habis. Padahal aku ingin sekali berfoto di sini."
"Foto?"
Tidak sengaja kata itu terdengar oleh Eyve. Ellina memutar bolamatanya malas. Dia tidak mau menjelaskannya pada Eyve, karena hanya akan memakan waktu yang banyak.
"Lupakan."
"Tapi serius loh, bunga-bunga disini sangat indah. Apa kalian punya bibitnya?"
Eyve menggeleng, "kami tidak tau, tapi sepertinya tumbuh secara alami. Hanya saja ada beberapa yang memang dibuat melingkar."
"Ah, begitu."
Ellina sempat terdiam, ketika sesuatu yang ingin dia tanyakan sekarang terlintas di kepalanya.
"Apa kalian tidak pernah mencoba keluar dari sini?"
***
"Kita sudah mencari kemanapun sebisa kita. Tapi tidak menemukan jejak Nona Ellina, seakan dia memang sengaja menghilang," ujar Vernon.
Yorsa hanya bisa memijat kepalanya yang terasa berdenyut. Sungguh dia benar-benar sudah kehabisan cara. Apalagi direktur sialannya itu malah memanfaatkan kesempatan ini dengan membuat kebohongan.
"Pihak kepolisian sudah bergerak mencari secara diam-diam, kamu tenang saja. Jangan membuat kepalaku kembali berdenyut!" Tegas Yorsa.
Vernon hanya diam, dan sekarang mereka masih di tempat Ellina terakhir kali terlihat di kamera CCTV. Vernon memutuskan keluar dari mobil, melihat sebuah jurang yang dalam di bawah sana.
"Apa mobil Nona masuk ke dalam jurang ini?" Vernon bergidik ngeri.
Tidak mungkin rasanya untuk Ellina hidup jika dia sampai jatuh ke jurang ini. Ditambah lagi mereka tidak tau persis sedalam apa jurang itu.
"Kamu sedang apa?" Tanya Yorsa dari dalam mobil.
"Melihat jurang."
"Untuk?"
"Apa mungkin Nona Ellina masuk ke dalam jurang?"
Yorsa berdecak, seakan ingin membantah namun dering ponselnya berbunyi. Ketika Yorsa melihat siapa yang menghubunginya, Yorsa segera menggeleng dengan wajah takut.
"Bahaya!"
"Bahaya!"
Vernon segera mendekati Yorsa yang panik. Lalu wanita itu memperlihatkan layar ponselnya karena sekarang yang menghubunginya adalah Ayah kandung Ellina.
Sementara itu Ellina yang baru saja kembali dari tempat indah bersama Eyve. Disambut dengan senyuman oleh Eyden yang kebetulan sedang berbincang dengan para tetua di sana.
"Bagaimana jalan-jalannya, Ratuku?"
"Tempat itu indah, aku mungkin akan sering ke sana."
Salah satu pria dari sana tertawa renyah, "anda bisa membuat penerus di sana. Tempat itu cocok untuk anda dan Ratu."
Wajah Ellina memerah, merasa malu dengan percakapan yang sungguh tiada filter ini. Otak Ellina seakan langsung terkoneksi dengan ucapan dari mereka.
"Mereka hanya bercanda Ratuku, namun kalau memang kamu senang di sana. Kita bisa memanfaatkannya."
Ketika mendengar itu Ellina seketika merinding. Wajahnya merona, lebih tepatnya merasa sangat malu karena mendengar Eyden yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Eyden terlihat berwibawa, lebih dewasa, ketika berhadapan dengan para tetua yang ada di sini.
"Silakan dilanjutkan, saya pamit."
Hanya itu yang bisa Ellina katakan kemudian menarik Eyve untuk pergi. Ketika malam tiba, Ellina sama sekali tidak keluar dari kamar.
Dia sedang mencoba memeriksa barang-barang bawaannya. Namun Eyve terus-menerus datang dengan mengatakan kalau Ellina harus segera keluar.
Mereka sedang memulai pesta, maka tidak sopan jika Ellina tidak datang. Bahkan Raja Eyden sedang menunggunya sekarang.
Pada akhirnya Ellina menyerah dan segera mengikuti kemana Eyve membawanya. Walau tanpa Ellina sadar saat ini dia malah ditarik oleh seseorang.
"Anda mau kemana, Ratu?"
"Ey-eyden?"
"Kenapa kamu?"
Ellina terkejut karena pria yang menariknya tadi adalah Eyden. Bahkan sekarang pria itu memeluknya.
"Aku merasa kamu masih ingin pergi dari sini."
Ellina terkejut bukan main, namun sebisa mungkin untuk menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Hehehe, aku hanya merasa sedikit khawatir. Tapi aku yakin, sekarang kita sudah menikah, kamu tidak akan bisa kemana-mana karena kamu Ratuku. Bahkan saat kamu pergi, aku pastikan akan menemukan dimana kamu berada."