Namaku Naif, tidak ada nama belakang ataupun embel-embel lain. Bagi beberapa orang mungkin namaku akan terdengar aneh dan asing di telinga mereka. Tak jarang aku mendapati beberapa masalah karena namaku ini. Itu bukan masalah besar buatku karena dari lahir aku sudah dianugerahi dengan berbagai macam masalah, bahkan ibuku sendiri pun sangat membenci aku. Terlalu baik, mungkin hanya itu satu-satunya hal positif yang ada dalam diriku. Tak ada yang dapat diandalkan dariku, tidak secara fisik maupun kemampuan. Di kelas, aku adalah satu-satunya siswa yang mampu mempertahankan ranking ku—30 dari 30—diantara kerasnya persaingan di kelasku. Mengandalkan fisikku? Mungkin aku akan berakhir dengan menjadi olok-olokan di kelasku.
"Ena, lu udah ngerjain tugas b.inggris minggu kemarin belum? Katanya sekarang dikumpulin" Siska menyapaku.
Siska merupakan satu-satunya temanku di kelas. Kalau saja ia tidak telat di hari pertama masuk sekolah dan terpaksa duduk di sebelahku—hanya itu satu-satunya bangku yang tersisa di kelas—mungkin aku tak akan mempunyai teman. Berbeda denganku, Siska memiliki wajah yang cantik dan sangat pintar. Dia selalu mendapatkan rangking 1 di kelas. Semua lelaki di kelasku naksir dengannya. Tapi sangat disayangkan karena ia harus duduk di sebelahku dan ikut dijauhi oleh teman-teman di kelas. Meskipun begitu, ia tetap dengan senang hati mau menerimaku sebagai temannya. Aku merasa sangat bersalah dengan nasib yang harus ia terima. Kalau saja ia tak duduk di sampingku mungkin dia akan menjadi idola di kelas ini.
"Tugas apa? Gue lupa deh" balasku.
"Ih masa lu lupa sih, buru kerjain sekarang. Nih liat punya gue aja" Siska menyerahkan bukunya yang bersampul batik itu padaku.
"Tapikan lima menit lagi masuk, gabakal sempet sis" ucapku sambil menolak buku yang ia serahkan itu.
"Gapapa, kerjain aja seadanya daripada lu dihukum ntar" Ia tetap memaksakan untuk aku menerima bukunya itu.
Aku menyerah, aku menerima buku itu dan mulai menyalin tulisannya di buku tersebut. Tulisannya tegak dan rapih, aku bahkan bisa membacanya tanpa menggunakan kacamataku. Siska tergolong anak yang rajin, setiap tugasnya selalu ia kerjakan dengan sungguh-sungguh. "Ih banyak banget ini mah, 5 nomor aja belum tentu selesai" keluhku melihat 1 soalnya saja menghabiskan 1 halaman bukunya.
"Ih, udah gapapa buruan kerjain"
Tepat pukul 07.10 Bu Ana—guru bahasa inggris—sudah memasuki kelas. ia terkenal sebagai guru yang tegas dan galak. Dia akan menghukum siapapun yang tidak mengerjakan tugasnya tidak terkecuali anaknya sendiri yang satu kelas denganku. Suasana kelas menjadi sunyi, lebih sunyi daripada kuburan sekalipun.
Bu Ana duduk di kursinya di depan kelas, matanya menilik penuh ke segala penjuru kelas. Dia mencari-cari kesalahan murid-muridnya. Sepertinya hari ini ia tak mendapatkan mangsa favoritnya. Seluruh siswa mengenakan pakaian yang sesuai aturan dari sekolah. Merasa dikecewakan dengan apa yang dilihatnya, ia berdiri dari tempatnya dan mulai berkeliling dari meja ke meja. Para murid di kelas ini hanya bisa terdiam pasrah menunggu giliran mereka. Rahma dan Ita yang duduk di depanku nampak mulai cemas ketika Bu Ana sudah mencapai ke barisanku. Hanya tersisa 2 meja lagi agar Bu Ana bisa mencapai kedua orang itu.
Wajah Ita pucat dan berkeringat, sesuatu telah terjadi padanya. "Rahma, kamu bawa dasi dua gak? Aku tadi buru-buru jadi lupa bawa dasi"
"Waduh, aku gak bawa. Kamu minjem ke yang lain aja sana"
Ita tak menerima alasan Rahma, ia menarik-narik lengan baju Rahma dan terus merengek padanya. "Ayo dong ma, pinjemin aku dasi"
"Aku juga gak bawa!" bentak Rahma kesal dengan kelakuannya.
"Ita.. Ita.." bisikku pelan dibelakangnya.
"Apaan sih!" dia melihatku kesal.
"Ini, aku punya dasi 2 kamu mau minjem gak?" bisikku lagi. Aku memberikan dasi di tanganku itu kepadanya.
Dia menepis tanganku, dasi itu jatuh ke atas meja. "Ih, gue ga sudi dipinjemin lu! Sana jangan ganggu gua!"
"Tapi ntar lu dihukum lo, ini pake aja dulu bentar" aku mengambil kembali dasi itu dan memberikan padanya.
"Gua bilang nggak, ya nggak! Kok lu maksa sih!" sekali lagi dia menolak dasi yang aku berikan.
Bu Ita kini sudah berada 1 meja lagi darinya, wajahnya semakin pucat dan keringat di wajahnya semakin banyak. Dengan ragu ia menoleh ke belakang dan mengambil dasi yang masih aku pegang. "Awas lu! jangan mikir gue bakal jadi temen lu setelah lu minjemin gue dasi, jangan mimpi!"
"Oke Ita" aku tersenyum manis padanya tapi ia tak menghiraukan dan membuang mukanya dariku.
"Mana dasi kamu?" tanya Bu Ana pada Rahma dan Ita.
Ita tersenyum sambil memperlihatkan dasi di balik kerudungnya. Begitupun dengan Rahma. Setelah cukup dengan bukti yang diberikan oleh mereka berdua, Bu Ana beranjak dari sana dan menuju ke arahku. Ita bernafas lega, dia selamat dari maut hari ini.
Bu Ana menatap tajam ke arahku, tatapannya sama seperti tatapan orang-orang saat melihatku. Tatapan jijik dan enggan melihat ke arahku. "Mana dasi kamu?"
"Anu bu" jawabku dengan suara pelan.
"Ibu gak denger!" bentaknya.
"Sa.. saya tadi buru-buru bu" jawabku dengan suara yang masih pelan.
"Ha?! Apa?!" dia mendekatkan telinganya padaku.
"Sa.. saya gak bawa bu" bisikku.
"APA?!" dia memukul meja di depanku. Seluruh pandangan murid-murid yang lain sekarang tertuju ke arahku. "Kamu tau kan ibu paling benci murid yang seragamnya gak lengkap? Apalagi gak rapih! Liat seragam kamu!"
Aku tak berani menatap ke arah Bu Ana. "Ma.. maaf bu"
Kacamata dengan list hitam yang dia gunakan semakin mempertegas wajahnya yang sangat kesal padaku. "Kamu gaboleh ikut kelas ibu hari ini, keluar!" tangannya menarik lengan bajuku tapi tak sampai menarikku dari kursi.
Aku merapihkan buku dan tempat pensilku ke dalam tas lalu segera beranjak keluar dari kelas. Siska melihat iba kepadaku, tapi ia tak dapat melakukan apa-apa karena dia sendiri sangat takut pada Bu Ana.
Murid-murid lain mulai menyoraki dan menertawaiku sepanjang jalanku keluar dari kelas, tak terkecuali dengan Rahma dan Ita. Sejak kelas 7 hingga sekarang kelas 9 mereka selalu membenciku karena aku duduk di belakang mereka berdua. Mereka tak terima kalau aku harus duduk dibelakang mereka.
"Dasar anak haram! Ke sekolah kok gak make dasi? Mau jadi jeger? Hahahaha" soraknya sangat keras hingga seisi kelas semakin menertawaiku.
Aku melirik ke arahnya, tapi ia memalingkan wajahnya. Memang benar aku ini anak haram, ibuku terpaksa harus mengandungku saat ia masih kelas 2 SMA. Nenek dan kakekku mengusir ibu dari rumah. Ibu terpaksa membiayai kehidupan kami dengan bekerja serabutan kesana kemari. Sejak saat itu, hal buruk terus terjadi pada ibu hingga saat kelahiranku yang tak diinginkan pun tiba. Ibu semakin menderita, beberapa kali ia mencoba ingin menyingkirkanku tapi selalu gagal. Dia tak pernah berharap aku dilahirkan.
Aku berlari ke arah toilet di belakang sekolah. Tempat itu sangat jarang dikunjungi orang-orang semenjak pembangunan toilet baru di dekat kantin selesai. Para murid lebih memilih ke kamar mandi di dekat kantin karena mereka bisa sekalian jajan.
Toilet ini sepi saat jam pelajaran, aku masuk ke salah satu bilik yang terletak paling pojok. Kugantungkan Tas sekolahku di gantungan belakang pintu, dan aku duduk di atas tutup kloset.
Kenapa! Kenapa aku harus lahir ke dunia yang sama sekali tak pernah menginginkan aku ada! Tidak hanya mereka, aku pun benci diriku! Kenapa aku ada! Aku tak pernah ingin lahir ke dunia ini! engkau Tuhan! Kau lah yang paling bersalah atas diriku! Kenapa kau harus menciptakan aku kalau aku hanya bisa menimbulkan masalah saja! Kau sebut dirimu Maha adil, Kau sebut dirimu Maha penyanyang, Tapi mana! Mana kasih sayang untukku! Kau tak adil! Kau juga tak punya rasa sayang!
Ku lepaskan kerudung yang membalut kepalaku dan menghamburkannya ke lantai. Air mataku berjatuhan di lantai kotor bilik ini. Mengalir dan terus mengalir tapi tak juga membawa pergi semua penderitaan dan penyesalanku. Rasanya aku hanya menangisi hal yang sia-sia saja.
Sinar matahari menembus bilik ini melalu jendela kecil di belakangku. Sinarnya menyelimuti sekujur tubuhku. Aku melihat ke arah datangnya sinar tersebut. Disana aku melihat sebuah harapan. Jantungku berdegup kencang. Aku mencari sesuatu yang keras yang bisa aku gunakan untuk memecahkan kaca di jendela kecil itu. Beruntung di bilik ini aku menemukan bata yang digunakan untuk menutup lubang air. Aku meraihnya dan melempar ke arah jendela itu. Kacanya pecah dan berhamburan kemana-mana.
"inilah yang aku butuhkan!" aku meraih pecahan kaca yang terjatuh di sela-sela kloset bilik ini. Mataku berbinar-binar memegang pecahan kaca itu. Aku sangat senang, rasanya seperti menemukan sebuah kunci peti harta karun.
Aku mulai menyayat lenganku perlahan-lahan. Darah perlahan keluar mengikuti arah sayatannya. Aneh sekali, aku sama sekali tak merasakan sakit, yang aku rasakan hanya perasaan senang dan puas yang meluap-luap melihat darah yang bercucuran keluar dari lenganku yang tersayat. Aku tak cukup hanya melihat satu sayatan di lenganku. Aku mulai menyayat satu sayatan lagi, kenikmatannya semakin bertambah. Air mataku kembali mengalir dan membasahi pipiku.
Semakin lama darah ini mengalir, rasa senang yang aku rasakan tadi semakin memudar berganti rasa sakit dan perih ketika air mataku menetes jatuh ke luka sayatan ini.
"Apa yang telah aku lakukan? kenapa aku begini?" gumamku.
Aku pergi dari bilik ini menuju ke uks. Kututupi lukaku dengan kerudung, tapi itu tak menghentikan pendarahannya. Darahnya menapak jelas di kerudungku yang berwarna putih itu. Beruntung tak banyak orang di UKS saat ini, hanya ada aku dan Bu Ega penjaga UKS di sekolahku. Bu Ega mengeluarkan peralatan P3K yang ada di lemari kaca disamping tempat duduknya.
Aku cukup sering keluar masuk UKS, jadi Bu Ega sangat mengenalku. Setiap kali aku ke sini, ia selalu saja mengomel-ngomel tak jelas. "Lagi? Ini udah yang ke-8 kali loh geulis, kalo ada apa-apa cerita atuh kamu teh" ucapnya sambil membersihkan luka ku dengan alkohol.
Aku menggelinjang kecil saat alkohol itu menyentuh lukaku. Rasanya sangat perih. "Aduh bu pelan-pelan atuh, perih bu".
Dia tak menghiraukan keluhanku, dan melanjutkan pengobatannya. "Yeu, lamun perih mah jangan kayak gini lagi atuh geulis"
"Hehehe" aku menyeringai padanya.
"tong cengar cengir maneh" dia menempelkan kasa dengan kasar di tanganku.
"Maaf atuh bu" aku memperhatikan Bu Ega yang tengah membalut lukaku.
"Maaf-maaf wae, bosen ibu teh" ucapnya sambil mengikat simpul di kasaku. Tarikannya sangat kencang.
Pengobatannya telah selesai, Bu Ega meletakkan kembali kotak P3Knya ke lemari kaca. Dia mengambil obat pereda nyeri dari sana dan memberikannya padaku. Tanpa berpikir lagi aku segera meminum obat itu.
"Mau pulang neng?" tanya Bu Ega.
"Iya bu, aku udah ga mood sekolah" jawabku.
"Tapi, masih pagi lho neng" Bu Ega mencoba meyakinkanku agar tidak pulang.
"Gapapa lah bu"
"yaudah, sakedap ibu bikinin suratnya dulu ya"
"iya bu"
Bu Ega berlalu pergi dari ruangan UKS. Kini, tinggal aku sendiri dalam ruangan ini. suasana di luar juga sangat sepi.
Tak beberapa lama, terdengar suara pintu terbuka dari belakangku. Tapi itu bukan Bu Ega, itu adalah Bagas, teman mainku sewaktu kecil.
"Eh ada Ena, kenapa Na? kok ke UKS" tanyanya.
Aku tak tau harus bagaimana menjelaskan keadaanku padanya. Aku tak ingin dia melihat tanganku yang dibalut ini. Aku bergegas meninggalkan UKS. Menerobos keluar dari pintu yang terhalang oleh Bagas. Dia hanya melihatku berlalu pergi dari UKS tanpa sepatah katapun.
Di tengah jalan, aku berpapasan dengan Bu Ega yang sedang menuju ke UKS. Aku langsung meminta surat izin darinya dan bergegas pulang tanpa menjelaskan apa-apa padanya.
Sampailah aku di sebuah rumah kecil dengan cat yang terkelupas di dinding luarnya. Inilah rumahku. Tidak, bukan rumahku tapi kontrakan ku. Gaji ibu hanya cukup untuk membayar kontrakan kecil yang kumuh ini. Di Kontrakan kecil ini pun aku dibesarkan hingga saat ini. Kubuka pintu di depanku. Tapi karena pemasangan yang asal-asalan, pintu ini hanya terbuka setengahnya saja. Aku terpaksa menyempil masuk ke dalam celah pintu yang ukurannya pas-pasan dengan lebar tubuhku.
Di dalam, ibuku tengah duduk di depan kipas angin kecil yang berputar ke kana dan ke kiri. Ia menyemburkan asap rokoknya hingga memenuhi seluruh ruangan. Aku sudah terbiasa dengan asap rokok setiap hari. Ia tak menghiraukan keberadaanku dan melanjutkan menghisap rokoknya. Aku hanya berdiri menatapnya, bingung apa yang harus kulakukan.
"Mah, tanganku diperban tadi" ucapku memecahkan keheningan suasana.
"Hmm" dia tak peduli, bahkan melihat ke arahku pun tidak.
"Mah, tadi aku dimarahin Bu Ana" aku tak menyerah, aku tetap menceritakan semua kejadian yang tadi aku alami di sekolah.
"Mampus!" dia melihat kesal ke arahku. "Kenapa lu gak dipukul sekalian?"
"Hehehe, Bu Ana gak sekejam itu kok mah" jawabku.
"Padahal gue harap lu mati! Bunuh diri sana, dasar anak gak berguna" dia memalingkan wajahnya dariku.
Aku menahan air mataku agar tak keluar, aku tak mau terlihat cengeng di hadapan ibuku. "Aku gak berani mah"
Dia tak menjawab apa-apa. Kami saling berdiam diri.
"Maaaahh" aku memberanikan diri memeluknya. Tangisku pecah dalam pelukannya hingga membasahi bajunya.
Tak ada respon apa-apa darinya. Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk meluapkan semua isi hatiku padanya hingga aku hanya menangis sesenggukan dalam pelukannya. Ini pertama kalinya aku bisa melakukan hal seperti ini padanya.
Setelah beberapa saat aku memeluknya, ia melepaskan dirinya dari pelukanku. Dia mendorongku menjauh darinya hingga aku tertahan tembok di belakangku. Kemudian ia berdiri lalu menendangku. Tendangannya tepat mengenai hidungku hingga berdarah. Ia menjambak rambutku hingga bisa menatap wajahnya yang sangat dekat denganku. Aku hanya bisa megap-megap menahan sakitnya jambakan di rambutku.
Ia melepas puntung rokok dari mulutnya dan menempelkan bara rokok itu di jidatku. Aku menahan panasnya bara rokok itu yang membakar kulitku. "Jangan coba-coba ngelakuin itu lagi ke gue!" ia mendorong kepalaku ke belakang hingga terbentur cukup keras di dinding.
"ma..makasih mah" ucapku tersenyum dengan darah yang mengalir dari hidungku.
Dia melepaskan bajunya yang basah, dan melemparkannya ke arahku. "Cuci baju gue yang bener. Kena najis tuh!" dia berlalu pergi dari hadapanku ke arah kamarnya.
Aku mencium bajunya, bau badannya masih tertinggal di bajunya. Kupeluk baju itu erat-erat. Rasanya sama seperti memeluk ibu secara tidak langsung. Tanpa sadar akupun tertidur dalam keadaan seperti itu.
Aku terbangun begitu mendengar suara adzan berkumandang di luar. Saat ku lihat ke arah jendela, ternyata sudah sore. Aku bergegas membersihkan bekas darah di wajahku, dan mulai membersihkan seisi rumah serta mencuci baju-baju di belakang.
Aku mengurung diriku dalam kamar, memeriksa catatan tugas yang harus aku kerjakan. Ketika aku hendak mengerjakan tugasku, suara gedoran keras terdengar di depan pintuku.
"Oi, buka!"
Aku bergegas meninggalkan semua kerjaanku dan membuka pintu kamarku. Disana berdiri ibu yang tengah sempoyongan menjaga keseimbangannya.
"Anak haram, kenapa lu masih hidup!" teriaknya.
"mah, mamah mabuk lagi?" aku membopongnya ke kamarnya.
Dia memaksa melepaskan dirinya dengan mendorongku. Tapi dengan keadaannya yang seperti itu, rasanya sia-sia saja. "Jangan sentuh gue, anak haram!" dia memukul kepalaku dengan botol minuman yang ia pegang.
Botol itu pecah begitu menghantam kepalaku. Aku melepaskan tangannya dari pundakku. Ia terjatuh lemas, begitupun denganku. Aku meninggalkannya tergolek lemas disana dan masuk ke kamarku sambil membanting pintu. Menangis dan terus menangis. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Aku harap air mataku dapat membawa semua penyesalan dalam diriku. Tapi semakin aku menangis, aku semakin menyesali takdirku terlahir di dunia ini.
Sudah cukup lama aku berdiam diri di kamarku. Kuputuskan untuk keluar dan mengecek keadaan ibu.
Dia masih tergeletak lemas di depan kamarnya. Aku mendekatinya perlahan-lahan, aku takut dia akan menyerangku kembali kalau aku menyentuhnya.
"Mah, mamah" aku memanggilnya, tapi tak ada jawaban darinya. Aku memberanikan diri menyentuhnya. Badannya sangat panas. Aku menarik kembali tanganku.
Aku panik, kugoncangkan badan ibu untuk menyadarkannya, tapi percuma saja ibu sudah tak sadakan diri. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan saat seperti ini.
Aku berlari ke rumah tetangga samping rumahku. Itu adalah rumahnya Nin. Dulu sewaktu kecil aku sering mengaji disana bersama Bagas. Saat ibu mengunciku dari rumah, aku sering menginap di rumahnya.
Ku ketuk pintu rumahnya itu dengan terburu-buru. "Nin! Nin!" teriakku.
Pintu rumah itu terbuka, menampakkan wajah tua Nin yang tidak memakai kerudung. "ada apa Na?"
"Nin, mamah pingsan! Badannya panas!" ucapku tergesa-gesa.
Dia mengambil kerudungnya dan berjalan cepat sambil memakainya. Kerudungnya berterbangan ditiup angin karena cepatnya ia berjalan.
"Astagfirullah neng, ini mah harus dibawa ke rumah sakit" dia mengeluarkan teleponnya dari dalam kerudungnya yang sepanjang pinggul.
"tapi Nin, Ena gapunya duit kalo dibawa ke rumah sakit. Ena gamau ngerepotin Nin"
"terus mau gimana Neng, ini mah kudu ke rumah sakit" ucapnya. Dia mulai mengetik di teleponnya. "Udah gausah dipikirin urusan itu mah belakangan aja neng"
Ambulance telah tiba di depan rumahku. Kehadirannya menarik perhatian seluruh tetangga yang ada di sekitar. Tak butuh waktu lama, para tetangga mulai mengerumuni sekitaran rumahku. Tak heran mereka berkumpul, karena ambulance datang ke kompleks ku itu sangat jarang terjadi. Kerumunan itu menyulitkan petugas rumah sakit itu untuk menandu ibu ke dalam ambulance.
Di depan rumah, terlihat Nin yang sedang ditanyai oleh Pak Asep, ketua rt disini. Aku ikut masuk ke dalam ambulance itu dan kami pun berangkat. Sepanjang perjalanan aku sangat cemas dengan keadaan ibu. Aku terus memikirkan segala hal yang akan terjadi pada ibu. Sirine ambulan terus mengaung-ngaung di tengah jalan memecah ke ramaian jalanan di malam ini.
Tak butuh waktu lama untuk mencapai rumah sakit. Petugas rumah sakit memindahkan ibu ke tandu bergerak dan membawanya ke ruang IGD. Aku hanya bisa menunggunya dari luar. Tak lama setelah itu, Nin datang dan menemuiku. Aku tak bisa berkata apa-apa, aku memeluknya dan menangis.
Dia mengusap kepalaku dengan lembut. "Gapapa na, sekarang Ena berdoa aja sama Allah. Doain supaya Mamah Ena baik-baik aja"
Aku tak menjawabnya dan hanya terus menangis. Rasanya air mataku ini tidak ada habisnya.
30 menit berlalu, dokter keluar dari dalam ruangan itu. Dia mengatakan kalau ibuku terkena koma akibat hipertermia dalam waktu yang lama.
Sudah 3 hari ibu dirawat di rumah sakit, dan selama itu juga aku tidak sekolah dan terus menemani ibu. Ini semua salahku, kalau saja aku menjadi anak yang berguna baginya dia tidak akan sampai seperti ini. Aku ini memang tidak berguna! Aku sangat benci dengan diriku ini.
Aku menatap wajahnya dengan penuh harap. Tangannya lemas, biasanya saat aku memegang tangan ibu, dia akan segera menariknya. Tapi kini dia hanya diam saja. Kuberanikan diriku untuk berbuat lebih, aku memeluknya. Rasanya nyaman dan aku terbuai oleh kenyamanan itu.
Aku mendengar suara megap-megap yang keluar dari mulut ibu. "Ja-ja-ja"
"Mah, mamah" ucapku girang mendengarnya. Aku berteriak memanggil suster di luar.
Detak jantung ibu semakin cepat, aku dapat melihatnya dari alat disamping kasurnya. Aku semakin panik dan terus berteriak memanggil suster namun tak kunjung datang juga.
Ibuku terus megap-megap mencoba untuk berbicara. "a-k-u s-a-y-a-n-g k-a-m-u, c-a-r-ib-a-p-a-k m-u" ucapnya terbata-bata.
Detak jantungnya menurun dan semakin melemah hingga alat disamping ibuku berbunyi nyaring. Suster datang bersama dokter dan langsung melakukan pertolongan pertama pada ibuku. Aku hanya diam melihatnya dan masih mencerna ucapannya tadi.
Ibu sudah tak dapat diselamatkan lagi. Dia meninggalkanku sendirian di dunia ini. pemakamannya diadakan seadanya. Mulai saat ini aku harus tinggal sendirian tanpa dirinya. Kejadian itu sangat memukul diriku. Aku terus mengurung diriku di dalam kamar selama hampir 1 minggu. Siska datang mengunjungiku dan mengajakku pergi keluar. Aku diajaknya pergi ke sebuah taman. Disana sangat ramai, banyak anak kecil yang bermain dengan riang disana. Aku duduk di sebuah bangku taman, dan dia berdiri di depanku.
Dia menunduk dan menatap ke arahku. "Ena kita mulai dari awal lagi ya"
Mendadak keadaan sekitarku berubah menjadi sebuah kamar yang di depannya terdapat sebuah jeruji. Aku duduk di atas kasur, dan di depanku siska yang aku kenal berubah menjadi wajah ibuku. Di bajunya terdapat label nama bertuliskan Dr.Siska Lestari. Sp. KJ.
— New chapter is coming soon — Write a review