Download App
71.42% Covenant / Chapter 15: - 14 -

Chapter 15: - 14 -

Mereka berjalan lamat-lamat di depannya sebelum kemudian Achlys membalikkan badan menghadap Ilithya yang membuntuti mereka dari dekat. "Apa kau tidak ada pekerjaan selain menguntit kami?"

"Tidak ada," jawab Ilithya singkat. Ia tidak bohong, memang tidak ada, ia harus jawab apa selain itu?

Kernyitan kesal Achlys berubah menjadi desisan benci padanya. Ilithya hanya tersenyum kecil melihatnya. "Aim yang menyuruhmu?" Ilithya menganggukkan jawaban yang disusul cemoohan dari Achlys. "Kukira Athan hanya membual, tapi sepertinya memang benar ada 'malaikat' yang menjadi bawahan 'iblis', padahal hanya Aim. Kalau begini aku jadi ragu harus susah payah untuk masuk surga."

Lirikan sekilas Athan yang terkejut tertangkap oleh Ilithya. Sayangnya ia tidak terkejut mendengar manusia mengatakan hal itu, tidak juga merasa tersinggung. Ilithya selalu menganggapnya lucu karena setiap ia mencabut nyawa orang-orang yang meremehkan surga, mereka memohon ampunan paling keras di akhir hidupnya. "Kau akan menyesal mengatakannya."

Peringatan Ilithya tampaknya disalah-artikan oleh Achlys karena kini ia tertawa singkat menanggapinya. "Ya, tentu. Terima kasih atas kawalanmu, kami baik-baik saja tanpamu."

"Kau salah paham," komentar Ilithya, tapi ia hanya mengedikkan bahunya. Kalau Achlys tidak suka, berarti ia harus mengintai mereka tanpa terlihat. Hal mudah.

Tanpa menunggu balasan Achlys, Ilithya menghilang sekejap mata.

__________________________________________________________

Lagi, Athan membawa Achlys ke tempat terakhir mereka keluar. Pusat perbelanjaan, tepatnya arena bermain tempat banyak game arcade berbunyi nyaring di lantai teratas dan stand makanan serta minuman berjajar meneriakkan menu promosi mereka. Sejak ia terakhir kali ke sana, Athan mencoba berbagai permainan lain yang bisa ia mainkan di rumah yang membosankan. Rutinitasnya di sana hanya bangun-main-tidur. Makan? Ia tidak makan tiga kali sehari, kau tahu kenapa. Bermain sebuah permainan cukup menarik untuk menghilangkan jenuhnya, ia belum pernah mencobanya sebelum Achlys mengajaknya ke sana.

Tiket permainan sudah di tangannya, namun Achlys sama sekali tidak ingin menemaninya bermain, bersungut-sungut kesal di meja menatapnya dari jauh. Athan terkekeh pelan melihatnya, merasa tingkah laku Achlys seperti anak kecil yang rewel ketika tidak diperbolehkan membeli mainan kesukaannya. Gadis itu mendengus, bertopang dagu pada satu tangannya, melirik ke sembarang arah memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang dalam jarak pandangnya. Athan memang ingin bermain, tapi seharusnya ia ke sana untuk menghibur Achlys, kan? Jadi Athan menyelipkan tiketnya ke dalam saku celananya dan menghampiri Achlys yang kini menatapnya dengan kedua alis terangkat heran.

"Kenapa? Bosan?" tanya Achlys begitu Athan duduk di sampingnya. Suara Achlys terdengar lirih bahkan di telinganya, kebisingan di sekitarnya meredam hampir semua suara hingga ia tidak bisa mendengar dengan jelas detail percakapan orang di meja sebelahnya, semuanya terdengar tumpeng-tindih.

Athan menggeleng pelan. "Seharusnya aku ke sini untuk menghiburmu, bukan untuk menghibur diriku sendiri," ujar Athan menyuarakan pikirannya yang ditanggapi dengan tawa Achlys.

"Tidak apa-apa, melihatmu bermain saja sudah cukup bagiku."

"Tapi kau tidak melihatku."

"Masa?" Achlys mengerjapkan matanya beberapa kali. "Kau lihat?"

Seulas senyum terukir di wajahnya. Kapan ia tidak memperhatikannya? "Tentu saja."

Mendekatkan wajahnya, Achlys menyipitkan matanya menatap Athan yang tersentak kaget melihat Achlys yang terlalu dekat. "Kau jadi aneh. Aku lebih suka kau yang dulu." Achlys melepaskan topangan dagunya dan memundurkan wajahnya, mencubit pipi Athan seraya tersenyum dan memiringkan kepalanya. "Melihatmu yang seperti anak kecil lucu juga. Tapi perhatianmu membuatku merinding."

Gadis itu tertawa mendengar ucapannya sendiri.

Gatal. Athan merasakan gatal yang tak tertahankan pada telapak tangan dan dadanya, berkali-kali ia menggaruknya tapi rasa tidak nyaman itu tidak menghilang. Keningnya berkerut bingung. Apa yang terjadi padanya? Penyakit gatal kah? Achlys menangkap tangan Athan yang terus menggosokkan telapak tangannya pada dada. "Kenapa?"

"Entahlah, rasanya gatal sekali," sahut Athan bingung.

Achlys terkekeh geli. "Kau ini aneh sekali. Sikapmu saja sudah cukup menghiburku."

Jari tangan kanannya berkedut pelan, tanpa sadar Athan mengangkat tangannya dan menangkupkannya pada pipi Achlys yang mengerjap heran namun tidak menyingkirkan tangannya. Begitu ia menyentuh pipi Achlys, rasa gatal di telapak tangannya sedikit menghilang. Achlys benar, aneh sekali dirinya. Tapi begitu lebih baik jika artinya Achlys dapat melupakan Ina. Seulas senyum kecil menghiasi bibirnya. Pikirannya melayang mengingat ucapan Achlys yang menyinggung tentang Ilithya sebagai bawahan Aim.

"Kau tahu, Ilithya benar, kau akan menyesal jika terus melakukan kemauan Aim," ujar Athan.

"Kenapa tiba-tiba kau membahas itu? Baru saja aku melupakannya. Lagipula itu memang keinginanku, bukan Aim." Achlys membalasnya dengan ketus.

"Sayangnya kau tidak tahu apa yang akan kau dapatkan nanti diakhir kerjasamamu dengan Aim. Lihatlah apa yang terjadi pada Ilithya." Jempolnya mengelus pipinya pelan. "Apa yang akan kau lakukan jika mengetahui hanya siksaan yang menanti di ajalmu?"

Achlys terdiam sesaat, menatap kedua mata Athan bergantian dan menjawabnya pelan hampir dalam bisikan. "Aku tidak tahu."

"Kalau begitu," ucap Athan, membelai pipi Achlys pelan yang tersentak merasakan sentuhannya. "Bagaimana kalau kau berhenti dan berdoa? Kalau kau percaya Aim dan Ilithya benar adanya, dan aku." Athan menatapnya lekat-lekat bermaksud menekankan maksud ucapannya.

Tawa lemah Achlys membuat Athan mengernyit. "Kau pikir semudah itu setelah membunuh orang-orang?" Suaranya bergetar dengan matanya yang berkaca-kaca. "Bahkan aku membunuh kedua orangtuaku sendiri, Athan!"

"Aku tahu kau tidak bermaksud melakukannya." Athan berusaha menenangkannya, tapi sejujurnya ia sendiri tidak mengetahui bagaimana perasaan Achlys yang sebenarnya. Apa Achlys benar-benar tidak bermaksud melakukan semua pembunuhan yang telah dilakukannya? Athan ingin tahu, tapi saat ini ia hanya ingin membuat Achlys berhenti bersama Aim sekalipun ia tahu janjinya pada kakek tua itu sudah tidak bisa dipulihkan lagi, namun Athan yang sudah bertahun-tahun bersama kakek tua itu dan Achlys, merasakan keterikatan untuk tidak membiarkannya begitu saja. Jadi Athan berusaha tersenyum meyakinkannya. "Tenang saja, jika kau sungguh-sungguh pasti akan dimaafkan. Percayalah."

Tidak semudah itu meyakinkan Achlys, yang masih menatapnya sangsi. "Bagaimana kau bisa seyakin itu? Memangnya kau sendiri yang memakan para manusia itu akan dimaafkan?"

"Aku? Aku bahkan tidak bisa berharap berjalan seiring dengan makhluk terendah sekalipun, aku ini seharusnya tidak ada Achlys, menciptakan makhluk hidup itu adalah hal yang sangat tabu. Kalau Aim tidak menciptakanku, semua ini tidak akan terjadi. Kau harus menjauh dari akarnya."

Melihat Achlys yang tetap tidak mempercayainya, Athan merasa gemas sekali. Apa lagi yang harus dilakukannya agar Achlys menjauh dari Aim? Achlys menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak, Athan. Hidupku akan lebih sulit jika tidak bersama Aim."

"Maksudmu kau takut tertangkap? Bukankah aku sudah bilang aku saja sudah cukup untuk membantumu?" Athan melembutkan suaranya, tidak ingin membuat Achlys merasa diancam olehnya. "Aku tidak akan membuatmu mendapat kerugian apa pun."

Kebisuan Achlys membuat Athan menghela napas lelah, ia berusaha selembut mungkin, tapi sepertinya tidak berguna. Jadi Athan menggunakan sebuah pengetahuan dangkal yang diketahuinya. Ia mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Achlys, mengabaikan keterkejutan Achlys yang mendorong dadanya untuk menahannya.

"Apa ini bisa menenangkanmu?" tanya Athan setelah mundur kembali ke tempatnya.

Gadis itu membuka dan menutup mulutnya berusaha menemukan kata yang tepat, namun yang terlontar dari mulutnya hanya 'Apa' berkali-kali. Menjawabnya, Athan memiringkan kepalanya, tak mengerti kenapa Achlys sangat terkejut hanya karena hal itu. "Itu ciuman pertamamu, kan? Katanya setelah mengambil ciuman pertama seorang gadis, harus terus bersamanya. Sekarang aku akan terus bersamamu. Sekarang kau percaya padaku?"

Semburat merah di pipi Achlys semakin melebar hingga Achlys terlihat seperti buah beri. Achlys mendorong dagu Athan ke atas dengan satu sentakan keras. Athan mengerjap bingung dengan perlakuan Achlys padanya. "Achlys?"

"Dasar bodoh!" bentak Achlys semakin mendorongnya. "Jangan pernah menonton televisi lagi!" [ ]


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C15
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login