"Brank... brank... " Suara raungan kakak perempuannya beradu dengan barang-barang yang dia lempar. Perempuan yang bernama Aliana atau lebih sering dipanggil Alia, sedang menangis, marah dan berontak sejadi-jadinya.
"Hentikan Alia.. hentikan, biarkan ibu bicara dengan ayahmu. Kamu tak perlu melakukannya jika tidak mau". Suara ibu melengking keras berusaha mencari cara agar anak perempuan kesayangannya mau menurunkan emosinya.
Ucapan ibu dibalas dengan teriakan nada tinggi namun tak terdengar jelas apa kata-kata yang diucapkan. Berbaur dengan tangis, marah dan emosi yang meluap-luap.
Aruna mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Dia menyelinap ke dapur untuk bertanya pada mbok Tamini dan mbak Linda tentang apa yang sedang diributkan kakak perempuan dan ibunya.
Dua orang pembantu rumah tangga yang sekaligus pengasuhannya itu sedang turut gelisah. Hanya gelengan kepala yang bisa mereka tunjukkan.
Suara bantingan dan amukan masih terdengar di atas sana. Di Kamar kakaknya yang berada di lantai 2 tepat di samping kamarnya. Aruna tidak berani naik ke atas. Dia berniat menjauh dari suara itu berjalan menuju balkon belakang.
Langkahnya terhenti pada pintu ruang kerja Ayah. Sepertinya ayah ada di dalam. Mengapa ayah tidak mencoba menghentikan amukan kakaknya. Mengapa ayah berdiam disini. Pintu ruangan yang terbuka sedikit itu didorongnya perlahan. Aruna sangat ragu, sayangnya dia tidak bisa mengabaikan keributan keluarganya.
"Ayah". Aruna memanggil laki laki yang masih lengkap dengan setelan baju kerja, kemeja lengan panjang termasuk dasi dengan warna senada. Ayahnya segera memutar kursi kerjanya. Membelakangi Aruna, berusaha merapikan diri lalu berbalik dengan senyum kecil, tampak dipaksakan.
"Apa Ayah baik-baik saja". Pertanyaan Aruna membuat ayahnya lebih lega. Laki laki itu sudah menggali pikirannya dengan ekstrak, dia yakin akan ditanya 'apa yang terjadi?'. Ternyata putrinya malah menanyakan keadaannya.
"Hanya sedikit kacau". Jawab pak Lesmana, ayah Aruna. Sekali lagi memaksakan diri untuk tersenyum.
"Apa Aruna bisa membantu meredakan kekacauan ini?". Tanya Aruna tulus. Pak Lesmana hanya menggelengkan kepalanya.
Aruna memahami itu adalah isyarat agar Ayahnya tidak diganggu. Dirinya berusaha mengundurkan diri. Perlahan keluar dari ruangan yang menyesakan hati ini.
"Tunggu Aruna". Suara ayahnya tampak putus asa, memanggilnya yang hampir menghilang di balik pintu. Aruna menghentikan langkahnya. Kembali memasuki ruangan. Dan duduk didepan meja kerja ayahnya.
"Sekarang berapa umur Aruna?". belum sempat Aruna menjawab.
"Maafkan ayah terlalu sibuk bekerja hingga tidak ingat anak perempuannya berumur berapa". Lanjut Lesmana. Aruna tersenyum menenangkan ayahnya.
"20 tahun, Yah". Jawab Aruna. Ayahnya mengusap muka dengan kedua telapak tangan menandakan dia sangat gelisah.
"Aku tidak ingin membebanimu, namun jika kakak tidak mau. Ayah hanya bisa minta bantuan padamu". Laki laki itu menghela nafas panjang.
"Aruna mau menikah?". Ayahnya meluncurkan pertanyaan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Aruna mengerutkan alis, kebingungan.
"Ayah tahu akhir-akhir ini, kamu mengisi beberapa seminar startup. Ayah sangat bangga kepadamu. Ayah juga tahu itu artinya Aruna tidak punya rencana menikah dalam waktu dekat". Bertahap ayah mencoba menjelaskan.
"Apakah ini yang membuat kakak marah". Aruna minta penjelasan.
"Ayah malu mengatakan iya. Namun itulah kenyataannya".
"Mengapa salah satu dari kami harus menikah?". Aruna masih kebingungan. Apakah ini karena kakak laki-lakinya tidak juga menikah. Maka kakak perempuannya harus menikah secepatnya atau lebih ekstrim lagi dirinya yang berumur 20 tahun ini yang dinikahkan.
"Ini kesalahan ayah... Ayah membuat perjanjian tidak masuk akal, dan mereka tiba-tiba menagih janji ayah". Pak Lesmana kelihatan kacau. Antara penyesalan, rasa malu dan kehilangan kewibawaan beradu jadi satu.
"Janji? Janji seperti apa Ayah?" Aruna, mahasiswa tingkat dua, masih begitu polos memahami hiruk pikuk kehidupan.
Ayahnya meyakinkan diri untuk menjelaskan keadaan yang ada. Keadaan yang membuat kak Alia mengamuk dan termasuk masa lalu yang mengantarkan keluarga mereka bisa sampai di titik ini.
Keluarga yang tiba-tiba bisa pindah di rumah mewah. Serta bisnis pengiriman barang yang berkembang pesat. Ayahnya bukan pemilik saham penuh. Sebagai perintis dan direktur. Ayah hanya memiliki 30% saham. Pemilik sesungguhnya adalah Djoyodiningrat Grup.
Siapa lagi kalau bukan atasan Ayah kala Aruna belum lahir. Saat itu pak Lesmana hanya seorang asisten pribadi Wiryo Djoyodiningrat, asisten yang bisa diandalkan karena kemampuannya serta kesetiaannya.
Lesmana cuma lulusan S1 universitas biasa, namun dia bisa berkembang pesat dibawah bayang-bayang pak Wiryo, CEO Djoyo Makmur Grup. Kedisplinan dan kejujurannya dalam mendampingi Wiryo, membuat Wiryo menaruh kepercayaan lebih. Pernah suatu ketika Lesmana yang menggantikannya presentasi dan hasilnya menjanjikan. Penilaian pribadi Wiryo lah yang membuatnya mendapatkan amanah menjalankan DM delivery.
Hampir semua vice president dan pemilik saham menolak kebijakan Wiryo. Namun siapa yang bisa melawanya, Wiryo adalah penerus tunggal dan pemegang saham terbanyak Djoyo Makmur Grup. Ketika tanda tangan serah terima jabatan yang berlangsung secara pribadi diantara keduanya, Lesmana dan Wiryo.
Untuk pertama kalinya Lesmana melihat Wiryo sebagai manusia biasa. Manusia yang bisa menunjukan emosi kesedihan mendalam. Selama mendampingi pak Wiryo, dia tidak pernah melihat laki-laki itu menunjukan ekspresi lemah apalagi sedih. Wajahnya selalu kaku, tegas dan percaya diri.
Air mata atasannya yang kini menjelma seperti sahabat adalah awal simalakama untuk Lesmana. Laki-laki itu tidak bisa menahan kesedihan ketika mendapati putrinya menikahi orang yang salah.
"Harusnya aku lebih keras padanya". Itu penyesalan yang tak bisa diobati. Anak perempuan satu-satunya sekaligus penerus kelurga Djoyodiningrat berakhir pada lelaki pengecut. Meninggalkan putrinya ketika mengandung. Dan kini dia kembali bersama putranya, sudah berusia 5 tahun. Selama 6 tahun putri kesayanganya tidak kuliah dengan benar di Amerika. Gayatri Djoyodiningrat malah hamil dan menghabiskan hidupnya di Amerika untuk merawat putranya.
Ingin sekali Wiryo marah, ternyata lelaki yang terkenal semena-mena pada kayawan yang tidak disiplin itu berubah lunak dan patah ketika yang dihadapi adalah putrinya sendiri. Wiryo menyesal tidak menikahkan Gayatri secepatnya, dia menyesal tidak mengirim bodyguard, minimal penjaga selama putrinya di negeri asing. Bahkan tidak curiga apapun terhadap putrinya.
Sebab teramat menyesalnya laki-laki itu tidak ingin menerima bocah kecil bermata biru, cucunya. Untuk meredam remuk hati yang teramat, Wiryo dengan ambisi tidak masuk akal meminta asisten kepercayaannya untuk menyerahkan salah satu putrinya kelak.
Wiryo sedang mencetak generasi penerus yang benar-benar dalam pantaunya. Lesmana dijanjikan proyek baru, DM delivery. Dijamin kehidupannya, pendidikan anak-anaknya, bahkan tumbuh kembang putra putri Lesmana, di pantau oleh dokter pribadi Wiryo. Kini saatnya Lesmana menyerahkan jaminan itu.
Seperti petir yang menyambar. Aruna tidak bisa berkata kata. Melangkah dengan bergetar meninggalkan ayahnya yang jatuh dalam kenestapaan. Pikirannya melayang kamana-mana memasang pazel-pazel perjalanan hidup yang dilalui keluarganya.
Dokter yang intens datang menjaga kesehatan kami. Rumah yang mewah lengkap dengan pembantu rumah tangga yang kompeten. Perusahaan DM delivery bahkan jadwal les kepribadian untuk kakak-kakaknya dan dirinya. Sungguh itu semua adalah penguat apa yang disampaikan Ayah.
Aruna berdiri didepan pintu kamar kakaknya. Suara raungan kemarahan berganti dengan isak tangis yang menyesakkan dada. Aruna memberanikan diri masuk ke dalam kamar. Berjalan diantara barang yang jatuh berceceran, pecah berantakan.
Kakaknya meliriknya lalu menyembunyikan diri dalam bantal yang dipegangnya. Kak Alia, manager muda perusahaan property, percaya diri, cemerlang dan selalu membuatnya iri. Setelah lulus dari universitas terkemuka jurusan manajemen bisnis. Kak Alia bergabung dengan perusahaan property, dia tumbuh sebagai karyawan terbaik dalam peningkatan omset perusahaan. Tidak ada 2 tahun perempuan itu sudah menyandang jabatan Manager. Kini disela-sela kesibukan luar biasa, Alia masih sempat melanjutkan S2 nya. Namun hari ini Aruna melihatnya sebagai perempuan patah terbakar kemarahan.
Aruna mendekatinya, mengumpulkan keberanian memeluknya. Alia semakin kuat mengucur air mata. Nyatanya air mata itu mulai habis. Aruna menenangkan hatinya hingga Alia terlelap.
Sembari perlahan-lahan merapikan barang-barang kakak perempuannya yang berserakan di setiap sudut kamar. Pikiran Aruna melayang-layang mencari solusi terbaik. Dan berakhir dalam kepasrahan. Tidak tahu harus berbuat apa.
Tidak mungkin dia ikut membujuk kak Alia. Aruna yang paling tahu kondisi kakaknya. Perempuan itu berencana menikah tahun depan tepat setelah kelulusannya dari Strata 2. Kak Alia sesungguhnya memiliki kekasih, Dimas Aditya. Sejak SMA mereka bersama dan selalu bikin iri.
Hubungan itu disembunyikan dari ayah. Ayah sangat marah luar biasa tiap kali salah satu dari anak perempuan kesayangannya kelihatan dekat dengan laki-laki. Sesungguhnya kak Dimas pernah diperkenalkan dan berakhir dengan kemarahan ayah. Mungkin alasan ayah berhubungan dengan jodoh yang sudah dipersiapkan.
Aruna menyadarinya sekarang. Kak Alia pasti sangat hancur, konon perasaan cinta yang terhalang begitu menyesakkan dada. Walau dirinya, Aruna belum pernah merasakan itu. Dia bisa membayangkan pasangan serasi antara kak Alia dan kak Dimas akan berakhir dengan sad ending. Perjalanan cinta mereka yang penuh perjuangan, sembunyi-sembunyi dari keluarga. Untuk bertemu saja, sering Aruna dimanfaatkan agar tidak ketahuan.
Misal ketika mereka nonton berdua, kak Alia mengatakan pada Ayah dan bunda bahwa dia nonton bersama Aruna. Nyatanya Aruna diberi tambahan jajan supaya mau menjaga rahasia mereka.
Sesaat kemudian para pembantu datang membersihkan kamar kakak. Melanjutkan apa yang dilakukan Aruna, kemudian melarang Aruna membantu mereka. Aruna menghabiskan malam tanpa bisa tidur.
Keesokan hari nya, Aruna pulang dari kampus secepatnya. Berharap bisa segera menghibur kakaknya. Sayangnya, Alia memilih mengurung diri di kamar. Bunda mondar mandir di depan kamar itu sesekali mengetuknya membujuk anak perempuannya agar mau membuka pintu. Kabarnya Kak Alia belum makan dari semalam. Suasana kalut masih menyelimuti rumah.
"Ayah kemana Bun?" Aruna bertanya pada ibunya. Dia tidak melihat ayahnya.
"Pergi menemui kelurga Djoyodiningrat, doakan ayah bisa membatalkan perjodohan ini". Ups, ibu Aruna tersentak dengan ucapannya sendiri. Harusnya tidak ada yang perlu diketahui Aruna. Aruna, mengusap-usap tangan ibunya.
"Bunda aku sudah tahu semuanya, ayah yang bercerita". Ucapan Aruna dibalas tetesan air mata oleh ibunya. Dan dua perempuan itu berpelukan dalam tangis.
***
Rumah semakin suram semenjak kepulangan ayah dari keluarga Djoyodiningrat. Ketika kakak laki-laki Aruna, Anantha mengetahui apa yang terjadi. Setiap saat terdengar percekcokan ayah dan kakak laki-lakinya.
Ayah tidak bisa membatalkan perjodohan itu. Sedangkan kak Alia kini dirawat di rumah sakit. Setelah pintu kamarnya berhasil di dobrak. Kak Alia masih belum mau makan. Beberapa kali infus yang dipasang oleh suster dicabut. Dengan segala cara kak Alia menolak kehendak ayah.
Jika begini terus kakak perempuannya bisa bertambah parah. Aruna berinisiatif membuat kakak perempuannya lebih tenang. Sore itu, Aruna berfikir tak ada yang akan datang ke rumah sakit menjaga Alia kecuali dirinya, Aruna.
Aruna meminta kak Dimas Aditya datang, dengan tergesa-gesa Dimas Aditya menyambut permintaan Aruna. Pasangan itu langsung berpelukan dan isak tangis Alia sungguh membuat Aruna ikut terbawa suasana. Air mata Aruna meleleh mendengar ucapan terimakasih dari kakaknya. Sangat sabar Dimas Aditya membujuk Alia untuk makan dan berhasil. Pemandangan itu sesungguhnya memilukan.
Aruna membayangkan apakah mungkin mereka bisa terpisahkan. Sembilan tahun mereka berdampingan, berusaha tidak diketahui keluarga terutama ayah. Langkah Aruna memberi ruang pasangan itu untuk saling menguatkan. Aruna keluar dari kamar rawat inap kak Alia. Mencari udara segar di taman rumah sakit.
Apakah dia memiliki cukup keberanian untuk mengganti posisi kakaknya. Menyelesaikan ketegangan yang tidak berkesudahan dikeluarganya. Ayah semakin tampak tak berdaya. Bundanya hanya bisa menangis. Kak Anantha meluapkan marah tak berkesudahan kepada ayah, tanpa solusi apapun.
Hampir dua jam dia termenung disana, dering telepon mengalihkan perhatiannya. Di ujung sana terdengar keributan. Aruna berlari secepat yang dia mampu menuju kamar kakaknya. Beberapa petugas rumah sakit memegangi ayah berusaha menghentikan kemarahan ayahnya.
_Oh ya tuhan.. ayah pasti menemukan kak Alia dan kak Aditya_
Ibunya ikut mengamankan ayah. Ayah masih berteriak mengusir Dimas Aditya dalam perjalanannya diseret petugas keamanan rumah sakit. Tentu saja petugas itu melaksanakan tugas dengan kikuk antara mengamankan ketenangan rumah sakit dan menyeret pelanggan VIP mereka.
Alia masih memegang tangan Dimas Aditya dengan kuat. Meminta laki-laki itu tidak meninggalkannya. Alia mengancam akan melukai dirinya jika ayah masih memaksakan kehendak. Semua tampak kacau. Aruna berdiri terpaku disana bersama para suster yang kebingungan harus berbuat apa.
Satu persatu suster keluar. "Aku minta maaf, Kakak". Suara Aruna paruh hampir tak terdengar.
"Kamu bicara apa dek... aku berterima kasih... berani minta kak Dimas Aditya datang". Kak Alia berangsur-angsur tenang.
Kini kak Dimas yang tampak kacau, dia cukup terhormat untuk memahami keadaan ini. Dia tidak diinginkan, dia paham harusnya menyerah dari dulu. Membiarkan dirinya datang dan pergi dengan terhormat walaupun hal itu sama saja dengan menghancurkan hatinya.
"Alia, sebaiknya...". Belum sempat selesai ucapan kak Dimas Aditya.
"Jika kamu mundur, aku akan bunuh diri". Ucapan Alia membungkam semua mulut yang mendengarnya. Bahkan dinding serasa ikut bergerak menghimpit Aruna. Aruna berjalan sempoyongan meninggal pasangan itu. Mencari ayah ibunya, dalam pencariannya dia dapati kedua orang tuanya melempar tatapan kosong pada jendela kaca besar menuju pemandangan diluar sana, dari lantai 7 rumah sakit.
Ayah dan ibu tidak menyadari keberadaan Aruna yang semakin dekat.
"Harusnya ayah tak perlu melakukan itu, ayah tahu mereka tidak bersalah". Suara ibu terdengar samar-samar.
"Aku harus bagaimana Bun, janji adalah janji, siapa kita berani melawan keluarga Djoyodiningrat". Ucapan ayah terdengar getir. Menyisakan keberanian pada diri Aruna, untuk mengambil keputusan.
"Ayah, Bunda". Suara Aruna seperti kode, kedua orang tuanya serempak menatapnya.
"Ijinkan aku menggantikan posisi Kak Alia. Biar aku yang memenuhi janji perjodohan ayah" ucap Aruna bergetar. Tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Namun melihat Ayah Ibu segera berdiri memeluknya membuat hati Aruna tenang. Kedua orangtuanya seakan sedang mengucap janji untuk melindunginya, meskipun tanpa kata.