Download App
60.65% Cinta Monyet yang Berkesan / Chapter 37: Tak Sengaja Akur (1)

Chapter 37: Tak Sengaja Akur (1)

Beberapa saat setelah kepergian Farani, Sita berdiam diri di ruang tengah. Menyadari keheningan yang terasa setelah pertengkaran yang terjadi.

Ini pertama kalinya bagi Sita berkata dengan nada tinggi kepada Farani selama dia menjalin hubungan dengan Farani.

Dan penyebabnya adalah mobil.

Ada alasan kenapa mobil bisa memicu emosi Sita.

Pertama, Sita sudah menawari mobilnya untuk dipakai oleh Farani namun ditolak. Farani berkata bahwa Ayah tidak memberinya ijin untuk menggunakan mobilnya. Lagi pula dirumah masih ada mobil Ayah yang jarang digunakan.

Dan alasan yang kedua sehingga membuat emosinya memuncak adalah Farani dengan santainya mengendarai mobil Raffi. Tanpa ada alasan 'Ayah tidak memberi ijin' untuk menolak mobil Raffi.

Kenapa harus Raffi? Dari sekian banyak orang di Negara Kesatuan Republik Indonesia, kenapa harus mobil Raffi yang dikendarai oleh Farani?

"Emangnya dia pikir siapa? Cuma anak ingusan yang cintanya ditolak sama pacar gue." penuh emosi, Sita meluapkan dengan memukul samsak.

Untuk meredam emosinya, Sita memukul samsak sampai puas. Dan juga sampai tangannya merasa sedikit sakit karena tidak memakai perban ataupun pelindung tangan.

Pukulannya terhenti setelah mendengar HPnya berbunyi.

Dalam hati, Sita sedikit berpuas diri, mengira telepon itu dari Farani. Dipikirannya, Farani pasti menelepon untuk meminta maaf.

Ternyata nama yang tertera di layar HPnya adalah FAREZA.

"Halo." dengan sedikit ketus Sita menjawab.

"Lo belum jadi ke rumah gue nemuin Ayah." Fareza to the point.

"Gue udah telepon Ayah, dan Ayah bilang nggak papa. Kenapa?"

"Songong banget lo."

"Trus lo mau apa? Mau nantangin gue? Sini, gue nggak takut."

Amarah yang sudah hampir surut terpaksa kembali memuncak. Tak hanya emosi Sita yang naik, mendengar tantangan dari Sita, emosi Fareza juga ikut tersulut.

"Oke. Lo pikir gue takut?" Fareza meladeni tantangan Sita. "Jangan harap gue bakal main-main sama lo."

"Besok jam 2, sasana Boy."

Telepon langsung terputus setelah Sita memberitahukan lokasi dan waktu untuk berdua esok hari.

Berkata sepuasmu saat emosi dan kamu akan menyesalinya saat emosimu telah reda. Entah dari mana Sita seperti pernah mendengar atau membaca kata-kata itu. Dan itu sangat mengena hatinya.

Seharusnya dia memperbaiki hubungannya dengan Fareza, bukannya malah menantangnya berkelahi.

Penyesalan memang selalu datang diakhir, kalau diawal namanya pendaftaran.

*

Jam 9 pagi, Farani memarkirkan mobil Jazz pink Raffi di depan rumahnya.

Karena ini hari liburnya dan tidak ada acara, Farani memutuskan untuk pulang ke rumah. Membawakan beberapa cake yang sudah dibuatnya bersama Mama untuk Bunda.

Seperti dugaan, rumah sepi. Bunda mungkin sedang berbelanja sayur di Mamang yang biasa lewat, sedangkan Fareza kemungkinan besar masih tertidur di kamarnya.

Buk buk duk.

Terdengar suara seperti pukulan yang keras. Mengikuti arah suara, Farani tiba di bagian belakang rumah. Disana terlihat Fareza yang sudah mandi keringan menghajar tanpa ampun samsak yang tergantung.

Pemandangan yang jarang terlihat.

'Sejak kapan Abang gue jadi suka olahraga?' batin Farani sambil terus memperhatikan kakaknya.

Tersadar dengan pemikirannya, Farani mulai memikirkan tentang kakaknya. Bahkan Farani tidak menyadari sejak kapan kakaknya suka berolahraga. Karena pekerjaan yang jauh, dia terpaksa berpisah dengan kakaknya. Dan banyak hal yang telah terlewat tanpa tahu perubahan masing-masing.

Juga tentang pertengkaran antara dirinya dan kakaknya. Kesalahpahaman yang seharusnya bisa diminimalisir membut keduanya menjauh. Sebenarnya kepulangan Fareza sangat dinanti, tapi kenapa mereka malah marahan?

"Istirahat gih, nanti dehidrasi." Farani mengulurkan botol minum untuk kakaknya.

Sedikit terkejut mendengar suara Farani, Fareza menghentikan pukulannya. Dengan anggukan singkat, Fareza duduk disamping Farani sambil menerima botol minumnya.

"Kapan balik?"

"Baru aja."

Menyeka keringan yang ada di wajah kakaknya dengan handuk, Farani mengamati wajah Fareza. Dulu dia hapal bentuk wajah Fareza, tapi sekarang banyak perubahan yang terjadi pada wajah itu.

Wajah yang dulu mirip dengannya, sekarang sudah berbeda. Bahkan seperti tidak ada jejak Fareza yang dulu. Perubahan memang tidak selalu berarti buruk. Buktinya, badan Fareza yang bisa dibilang 'lurus' sekarang sudah lebih berisi.

Mungkin karena abangnya harus bekerja di lapangan dan juga melakukan beberapa olahraga.

"Kenapa lo banyak berubah?" tanya Farani yang masih mengamati wajah kakaknya.

"Makin ganteng?"

Oke, apa yang dipikirkan Farani berbeda dengan apa yang dipikirkan Fareza. Saat dirinya benar-benar memikirkan kakaknya, sang kakak malah memikirkan hal yang lainnya.

Otomatis Farani mencibir dan manyun.

"Waktu cepet berlalu. Sekarang abang lo udah tua." Suara Fareza terdengar mellow.

Merasa tersentuh, Farani membelai lengan kakaknya. "Abang gue makin cakep."

Mengecup pipi Fareza yang berkeringat. Ini terasa sudah lama sekali tidak dilakukan Farani. Dan pertengkaran itu membuatnya semakin rindu dengan sosok kakak yang jahil-nya itu.

"Maafin gue. Kadang disana gue mikir yang nggak-nggak." Fareza melanjutkan, "Gue cuma nggak mau lo kenapa-kenapa dan menyesal dikemudian hari."

"Apa lo lagi curhat?" Farani mencoba untuk menebak.

"Yah sedikit. Intinya gue berusaha menjadi abang yang baik buat lo."

Keduanya tersenyum bersama. Entah kapan terakhir kali mereka tersenyum bersama, itu tampaknya sudah lama.

"I miss you."

Farani ingin memeluk kakaknya, namun segera diurungkan. Melihat kakaknya penuh dengan keringat, yang pasti membuatnya tidak nyaman.

"Mandi dulu, abis itu gue peluk."

"You know, cowo berkeringat itu seksi." Menggoda adiknya sambik mengedipkan mata, Fareza menyukai kejahilannya.

"Iya seksi, kalo perutnya sixpack. Bukannya gembul kek gini."

Skakmat, Fareza tidak bisa membalikkan keadaan. Terkadang perkataan Farani menyebalkan, tapi itu adalah fakta.

*

Bangun dari tidur siang, Farani mendapati pesan dari Raffi.

'Ayo video call, gue kangen.'

Pucuk dicinta ulam pun tiba, kebetulan Farani ingin menghubungi Raffi. Dia ingin membahas masalah mobil.

Tak sampai 5 menit, Raffi sudah nampak dilayar monitor. Cengiran khas Raffi memenuhi layar.

"Lebay deh." Itulah sambutan Farani untuk Raffi.

"Masa sambutan buat gue gitu amat sih?" Raffi memasang tampang memelasnya.

"Mending lah sambutan, daripada sambitan." Farani tak mau kalah.

"Fareza pulang ya?"

Menganggukkan kepala, Farani menjawab, "iya, tapi bentar lagi balik."

"Oh iya, Mama kemarin bahas si Pinky. Asli sumpah, dia harus segera dibawa ke UGD." Dengan penuh semangat Farani menceritakan kondisi mobil kesayangan Raffi. Tentu dengan dilebih-lebihkan agar Farani bisa melihat wajah panik Raffi.

"Biasa aja deh. Paling juga butuh servis sama cuci aja kan? Mama setiap hari nyalain mesinnya tau." Sepertinya Raffi sudah bisa menebak jalan pemikiran Farani.

"Panik dong harusnya pas gue bilang Pinky harus dibawa ke UGD."

"Oh ya ampun, trus gimana keadaan Pinky sekarang? Dia sekarat kah?" dengan gaya centil, Raffi menuruti keinginan Farani untuk bersikap khawatir.

Memutar bola matanya sambil cemberut membuat Farani terlihat menggemaskan bagi Raffi. Sesinggung senyu tergambar di wajah Raffi. Setiap kali melihat wajah Farani, Raffi merasa semua masalahnya terangkat.

Juga rasa rindunya sedikit berkurang.

"Pake dulu ya sampe gue balik. Ntar kalo Ayah nolak, gue yang ngomong."

"Trus uang jajan gue berkurang karena harus kasih makan Pinky."

"Tenang, nanti gue transfer dari duit jajan gue." Raffi memberi solusi.

"Tenang aja, nanti lo ngomong aja ke Ayah kalo missal Ayah nolak. Kenapa nggak lo jual aja?"

"Jangan lah. Itu mobil pertama gue, perlu usaha tau buat dapetin mobil itu." Raffi jadi teringat betapa usahanya untuk bisa masuk SMA Beethoven dan untuk bisa memiliki mobilnya itu.

"Iya, gue inget. Lo sampe mohon ke Mama Papa biar bisa SMA disini." Farani juga mengingat masa itu.

Keduanya lalu tersenyum. Mengingat masa lalu terkadang bisa membuat kita merasa sangat bodoh.

"Lo alasan gue tetep stay di Jogja." Raffi berkata lirih, namun Farani masih tetap bisa mendengar perkataan Raffi.

"It's too late, Raff."

Dulu, diakui Farani, dirinya memang pernah menyukai Raffi. Sosok Raffi yang selalu ceria dan penuh tawa, membuat siapapun yang berada disampingnya merasa bahagia.

Setelah mengetahui bahwa Raffi sudah berpacaran dengan orang lain, yang otomatis membuat Farani patah hati, selangkah demi selangkah Farani mundur. Mengubur rasa yang pernah ada.


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C37
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login