Di hari minggu yang cerah ini, Farani sudah membuat janji dengan Raffi. Mereka akan ke pantai dan mengunjungi guru SMA mereka dahulu. Seperti biasanya, Farani memberitahukan agendanya hari ini kepada Sita. Dan seperti biasanya pula, Sita akan mengiyakan dan memberi ijin untuk Farani.
Audi putih Mama sudah terparkir di halaman rumah Farani, Beethoven 15. pemiliknya sedang ikut sarapan bersama keluarga Farani, juga mempersiapkan apa saja yang akan mereka bawa untuk piknik kali ini. Sayangnya kedua orangtua Farani maupun Raffi tidak bisa ikut karena ada urusan pribadi lainnya.
"Inget, jangan pulang larut malam." pesan Bunda sebelum Farani pergi.
Dengan penuh semangat, Farani menganggukkan kepalanya.
"Lo udah bilang sama Sita kalo kita bakap pergi?" Tanya Raffi saat mobil mereka sudah menjauh dari Beethoven 15.
Farani menganggukkan kepalanya sambil membuka kantong cemilan, "Udah, dia bilang oke."
"Gue nggak mau kalian akhirnya marahan gara-gara gue." Raffi menggoda sahabatnya itu dengan jahilnya.
"OMG, Sita nggak sepicik itu sampe cemburu karena gue pergi sama lo." Farani berusaha mempertahankan harga dirinya.
"Oh ya? Nggak sepicik itu tapi kenapa kalian sampe marahan gara-gara Pinky?"
Pertanyaan itu sangat menohok bagi Farani. Tapi, dari mana Raffi tahu tentang pertengkaran kecil mereka?
"How did you know?" dengan penasarannya Farani bertanya.
Raffi hanya tersenyum penuh misteri. Kali ini dia berusaha untuk tidak keceplosan memberitahukan sumber informasi utamanya 'all about Farani' selama dia berada di Paris.
Misteri siapa yang memberitahukan informasi itu kepada Raffi membuat Farani penasaran. Sebenarnya hanya ada beberapa tersangka untuk kasus ini. Kalau bukan Rere, Fareza ya Lulu. Hanya itu kandidatnya. Tapi jelas Farani tidak mau langsung main tuduh.
Kali ini keduanya memutuskan untuk menikmati hari yang penuh sinar matahari ini di pantai yang terdekat. Yah terdekat pantai yang mereka tuju tetap saja memerlukan waktu perjalanan paling cepat satu jam dari rumah.
"Nanti kita nggak usah belanja ikan ya. Gue nggak mau bikin Pinky bau."
Baik Farani dan Raffi teringat peristiwa setahun yang lalu, saat keduanya dengan percaya diri berbelanja ikan di pantai. Perjuangan yang tak terelakkan demi mendapatkan ikan yang segar dan layak untuk di konsumsi. Dan juga proses untuk membawa para ikan ke rumah dengan selamat tanpa mengotori Pinky.
Menyetujui perkataan Raffi, Farani mengangguk dengan semangat. "Iya, gue kapok belanja ikan. Udah gitu di rumah makan ikan itu mulu."
Pantai ternyata ramai sekali. Mereka sedikit menyesal melihat keramaian yang ada di depan mata.
"Raff.." Farani tidak melanjutkan kalimatnya melihat kerumunan manusia yang ada di pantai.
Raffi hanya menganggukkan kepalanya. Meski Farani tidak melanjutkan kalimatnya, tapi Raffi bisa menebak apa yang ada dipikirannya. Pantai yang ramai tentu tidak akan menjadi tempat yang nyaman untuk menikmati pemandangan ciptaan Tuhan. Namun apa daya, karena pantai ini bukan pantai pribadi, jadi mereka harus menerima fakta bahwa keramaian ini milik bersama.
Farani dan Raffi akhirnya berjalan menyusuri pantai, berusaha mencari tempat yang sedikit tenang untuk beristirahat. Dari ujung barat sampai ujung timur, orang-orang menikmati pantai dengan baik. Kecuali mereka berdua.
"Mungkin suatu saat gue harus punya pantai pribadi. Biar kalo gue pengen ke pantai nggak kebingungan kek gini." Raffi berkata sambil menghela napas.
"Keknya kita juga salah pilih hari. Weekend emang selalu rame kan dimana-mana."
Menepuk pundak Raffi, keduanya lalu berjalan kembali ketempat semula.
Akhirnya, mereka beristirahat di warung makan yang ada di pinggir pantai. Angin yang berhembus menerbangkan rambut Farani, membuatnya terlihat acak-acakan. Namun bagi Raffi, pemandangan itu sangat menarik. Kecantikan alami yang selalu ada dipikirannya. Terlebih saat jarak dan waktu memisahkannya dengan kejam.
Dengan kamera handphone miliknya, Raffi mengambil beberapa gambar indah ciptaan Tuhan itu. Apa yang dilakukan Raffi memang tidak ditutup-tutupi, tapi anehnya Farani tidak menyadari apa yang dilakukan Raffi. Mungkin karena dia terlalu fokus menikmati sinar matahari yang terik dan deburan ombak yang bergemuruh.
Karena pantai yang ramai, akhirnya Farani dan Raffi memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka. Keduanya kali ini akan berkunjung ke rumah salah seorang guru yang akrab dengan keduanya. Siapa lagi kalau bukan Pak Arif, guru mata pelajaran kimia yang gaul abis.
Selain keduanya memang akrab dengan Pak Arif, rumah beliau memang dekat dengan pantai. Hanya sekitar 30 menit dari pantai.
"Kalo gue rumahnya deket pantai, mungkin saban hari bakal mantai kali ya." kata Farani dengan penuh fantasi.
"Iya, abis itu kulit lo bakal eksotis macem gadis pantai. Atau malah dekil saking seringnya kena panas pantai?" Raffi menanggapi dengan jahilnya.
Mendengar perkataan sahabatnya yang jahil itu, Farani hanya bisa mencubit pinggang Raffi tanpa ampun. Otomatis Raffi langsung memohon ampun kepada Farani karena kesakitan.
"Fa, gue lagi nyetir ini. Lepasin please."
Kalau saja tidak sedang menyetir, mungkin Farani akan terus mencubit pinggang Raffi sampai biru lebam.
"Ini namanya kekesaran dalam pertemanan. Kudu ada komnas untuk mengatasi kekerasan macam gini." omel Raffi sambil mengelus pinggangnya yang terasa sakit.
Sesampainya di rumah Pak Arif, hal pertama yang dilakukan oleh Farani adalah ke toilet. Si Nona Beser itu padahal sebelum perjalanan ke rumah Pak Arif sudah mampir dulu, eh sekarang sudah harus berkunjung lagi ke toilet.
Sembari menunggu Farani kembali, Raffi memainkan HPnya. Beberapa kali dia memandangi foto Farani saat di pantai tadi. Lalu telepon Farani berdering.
Melihat siapa yang menelepon, Raffi memilih untuk tidak menghiraukannya.
"Katanya udah tau kalo pacarnya jalan sama gue. Harus ya ditelepon gitu?" Raffi menjadi jengkel karena beberapa kali nomer Sita menelepon ke HP Farani.
Tak tahan mendengar nada dering HP Farani, akhirnya Raffi mengangkat telepon itu. "Ada apa? Pacar lo lagi di toilet."
"Maaf, kami dari kepolisian. Apa anda mengenal Rivio Sita Heinrich? Saat ini pemilik HP ini sedang …"
Tentu saja Raffi tidak percaya apa yang baru saja dia dengar dari sambungan telepon. Kalau ini lelucon, bukan saat yang tepat untuk membuat lelucon. Atau ini prank? Apa seseorang sebegitu cemburunya hinggak membuat prank seperti itu? Ini bukan hal yang bisa dibuat untuk menjadi bahan bercanda!
Melihat Farani muncul, Raffi lalu meletakkan HP Farani dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Namun bagaimanapun Raffi kepikiran dengan apa yang baru saja dia dengar.
Bahkan beberapa kali Raffi tidak fokus dan terlihat seperti sedang melamun karena memikirkan telepon yang baru saja dia angkat.
"Lo kenapa sih?" tanya Farani yang melihat keanehan Raffi. Selain itu, dia tidak enak dengan Pak Arif karena Raffi tidak fokus.
"Nggak, gue nggak papa."
Berusaha keras untuk membuat pikirannya kembali ke tempat dimana dia berada, Raffi mulai bisa mengikuti percakapan yang terjadi. Namun saat ada beberapa waktu tanpa percakapan, pikiran Raffi akan kembali melayang ke suatu tempat yang tidak terduga.
Pada akhirnya mereka berpamitan lebih awal dari jam yang dijadwalkan. Farani merasa tidak enak hati karena tingkah Raffi yang aneh. Dan Raffi pun merasa tidak nyaman saat dia terlalu lama membuang waktu disana.
"Asli sumpah, lo kenapa sih? Kalo ada yang salah, ngomong aja. Kan nggak enak sama Pak Arif. Kita udah lama lho nggak ketemu beliau." omelan Farani panjang layaknya gerbong kereta.
Biasanya Raffi akan langsung menyahut perkataan Farani, namun kali ini dia hanya diam saja. Pikirannya tiba-tiba saja kembali ke telepon tadi. Tentang seseorang yang bernama Rivio Heinrich.
Maaf kalo ada kesamaan nama. nggak tau kenapa tetiba inget nama itu. kek ada seseorang yang dikenal dengan nama rivio.
tapi tenang aja, nama-nama yang ada disini fiktif semua kok.
terima kasih.