Download App
67.85% CHANCE (WMMAP FANFIC) / Chapter 19: Izekiel

Chapter 19: Izekiel

Beberapa hari kemudian

"Puas sudah menjebak ku di sini?" Lucas melipat tangan di depan dada dan menatap ku sebal.

"HAHAHAHAHA! Salah mu sendiri menghilang selama dua tahun tanpa kabar."

Aku menepuk-nepuk sofa di sebelah ku. Aku tertawa melihat wajahnya yang kusut sekarang. Sebegitu kesalnya kah dia terjebak di sini? Padahal di sini enak, ada makanan 3x sehari.

"Hmph! Terakhir kali mengunjungi mu, aku mau membicarakan itu tahu! Malah Kau terlanjur pergi."

"Lalu kenapa tidak mengunjungi ku lagi setelah itu? Memangnya ada acara apa sih?"

"Aku sibuk tahu. Selama dua tahun ini aku mengikuti seleksi masuk aliansi penyihir menara."

"Ha? Ku pikir Kau sudah masuk aliansi."

"Memang, tapi itu kan 200 tahun yang lalu."

Dari yang aku tahu, untuk bergabung ke aliansi penyihir menara memang butuh seleksi. Tapi kok seleksinya dua tahun? Itu seleksi atau syarat kenaikan pangkat? Tapi kalau 200 tahun yang lalu, orang pasti berpikir kalau dia sudah mati, iya kan? Jadi masuk akal juga kalau dia seleksi ulang. Tapi sampai dua tahun, jangan bilang dia memakai wujud mini.

Tentang Lucas, sekarang dia dikenal di istana sebagai penyelamat hidup ku. Belum lagi, statusnya sebagai penyihir menara membuat papa mengangkat Lucas menjadi penyihir kerajaan.

Curang sih karena dia memakai wujud mininya. karena hal inilah yang membuatnya jadi lebih terkenal. Bahkan dia mendapat julukan sebagai 'Penyihir Kecil yang Jenius'. Mungkin kalau papa tahu berapa umur asli 'Penyihir Kecil yang Jenius' ini, mungkin julukannya akan diambil.

Aku terkekeh geli membayangkan hal itu. Lucas mengambil kue kering di atas meja dan melahapnya. Hitam melompat ke pangkuan ku. Lucas menatap datar Hitam kemudian menatap ku.

"Jauh-jauh dari Si Hitam."

"Memangnya kenapa sih?"

"Dia itu yang membuat mu sakit. Karena Kau pegang-pegang dia terus, kekuatan sihir mu masuk kembali pada mu dan membuatnya jadi kacau."

"Jadi aku tidak boleh bermain dengan dia lagi?"

"Tenang saja. Selama ada aku, penyihir terhebat, kejadian ini tidak akan terulang lagi. Sini berikan Hitam pada ku."

Aku menatapnya jijik. Barusan dia memuji dirinya apa? Penyihir terhebat?Gah! Kepedean sekali dia. Karena merasa diabaikan oleh ku, Lucas merebut Hitam dari pangkuan ku dan manaruh nya di atas kepala.

"Kau pikir dia itu topi? Hentikan itu pada sinsu ku bodoh!"

"Kau tahu, papa mu hampir membunuh Hitam."

"APA?"

Lucas hanya mengangguk mengambil kue kering lagi, "Berterimakasihlah pada ku dan kesatria rambut merah itu. Kalau Hitam jadi dibunuh, Kau juga ikut mati karena jantung mu meledak kebanyakan kekuatan sihir."

Apa? Kalau Hitam mati, aku juga mati? Ha? Bohong kan? Untuk saja waktu itu papa tidak jadi membunuh Hitam saat Hitam mengacaukan tea time kami.

Tiba-tiba Lucas berdiri. Aku menatapnya bingung. Mau ke mana dia?

"Aku pergi dulu. Hitam biar aku saja yang merawatnya. Dadah."

"Eh, tunggu du-"

CTAK!

Lucas menghilang. Dia itu kenapa pergi tiba-tiba, sih? Padahal aku belum bilang setuju tentang Hitam. Aku mengambil kue kering dan memakannya dengan sebal. Lucas tetap menyebalkan mau lewat berapa tahun pun.

TOK! TOK! TOK!

Aku menoleh, Felix mengintip dari balik pintu. Aku menghampiri Felix dan tersenyum. Kadang kalau Felix melakukan itu, aku jadi teringat seorang anak kecil yang berusaha untuk kabur dan pergi bermain.

"Tuan Putri. Yang Mulia mencari Anda."

"Ayo pergi sekarang, Felix!"

"Eh, tunggu dulu. Tuan Putri tidak menutup pintu balkon dulu? Nanti kalau Hitam berkeliaran bagaimana?"

"Felix tidak perlu khawatir. Hitam sudah dibawa pergi oleh Lucas. Lucas bilang dia akan merawatnya."

"Wah! Baik sekali Tuan Penyihir! Anda tidak salah memilih teman, Tuan Putri!"

Aku tersenyum kecut mendengar Felix memuji Lucas habis-habisan. Aku bersyukur Lucas sedang tidak di sini. Kalau dia dengar, sombongnya bakal meledak tuh. Aku menggandeng tangan Felix dan menghampiri Lily di bawah.

"Lily! Aku pergi menemui papa, ya!"

"Hati-hati ya, Tuan Putri."

Aku mengangguk mantap. Lily menatap Felix dan tersenyum. Felix diam, wajahnya bersemu merah.

"Kami pergi dulu."

Felix berkata pada Lily kemudian langsung pergi. Aku tahu kalau kau malu Felix, tapi jangan tinggalkan aku begitu! Tugas mu kan mengawal aku! Kenapa aku malah kau tinggal?

Aku menyusul Felix dan menendang kakinya. Felix mengaduh pelan kemudian teringat akan keberadaan ku. Aku memanyunkan bibir ku dan meninggalkan Felix yang mulai mengejar ku. Gara-gara pdkt dengan Lily, Felix jadi menyebalkan!

***

Claude POV

"Papa! Athy sudah datang!"

"Kau datang."

"Iya!"

Aku bertopang dagu di salah satu tangan kursi tahta ku. Hari ini ada tamu yang menjengkelkan dan pasti ide yang bagus untuk memanggil Athanasia. Mengingat terakhir kali Athanasia ada di sini, dia membuat lelucon yang bagus.

Athanasia berlari menuju ku. Aku bilang pada nya untuk tidak berlari karena itu membuat ku pusing. Aku memangku nya kemudian Felix memberikan boneka kelinci untuk nya. Athanasia mengambilnya dengan sedikit kasar.

Aku melirik Felix, wajahnya kusut. Apa ini? Dia membuat putri ku kesal? Aku menatap tajam ke arah Felix. Felix hanya tersenyum kecut. Jadi memang dia membuat putri ku kesal. Aku menatap Athanasia dia bermain boneka dengan wajah malas.

"Kau kenapa?"

Athanasia menoleh bingung kemudian bermain boneka lagi, "Athy cuma kesal."

"Hm?"

"Felix menyebalkan."

"Oh. Felix memang menyebalkan."

Aku menatap tajam ke Felix. Felix bergidik ngeri dan meminta maaf pada Athanasia. Bodoh. Minta maaf pada putri ku tidak semudah itu. Saat minta maaf saja, aku dipukul berkali-kali.

Pintu terbuka, tamu menjengkelkan itu akhirnya datang. Athanasia menatap ke arah pintu. Tampak dua orang yang masuk. Satunya adalah Roger Alphaeus dan satunya pasti putranya anjing putih itu.

"Izekiel Alphaeus."

Aku melirik Athanasia. Dia memanggil siapa tadi? Alphaeus? Itu nama anaknya? Bagaimana Athanasia bisa tahu?

"Segala keagungan dan kemuliaan pada matahari Obelia," mereka membungkuk dan mengucapkan salam.

"Selamat siang, Paman Putih."

"Selamat siang, Tuan Putri Athanasia."

Aku menatap ke arah mereka. Anjing putih tersenyum dan anjing putih junior menatap Athanasia. Oh, dia cari mati dengan ku. Aku mengusap kepala Athanasia pelan, dia hanya tersenyum.

"Ada urusan apa?"

"Saya ingin memperkenalkan putra saya pada Tuan Putri Athanasia, Yang Mulia."

Anjing putih itu tersenyum dan menyuruh junior nya untuk memperkenalkan diri. Cih. Cara main mu kotor juga. Orang ambisius memang menjengkelkan.

"Suatu kehormatan bisa bertemu dengan Anda, Yang Mulia dan Tuan Putri. Nama saya Izekiel Alphaeus. Senang bertemu dengan Anda."

"Halo." Athanasia melambaikan tangan sambil tersenyum. Jangan bilang dia tertarik dengan junior ini. Tidak akan ku biarkan.

"Tuan Putri. Anda ingin mempunyai teman bicara yang sepintar Anda bukan? Putra saya hampir setingkat dengan Tuan Putri."

"Apa anak Paman Putih punya keahlian di bidang tertentu?"

Roger terdiam. Oh, junior tidak ada keahlian lain? Membosankan. Paling tidak dia bisa berpedang atau berkuda. Ah, rasanya ingin pergi dari sini.

"Putra saya akan pergi ke Arlanta tiga bulan lagi. Dia akan belajar berpedang di sana, Tuan Putri. Saya menjamin itu."

Athanasia terdiam, Roger tersenyum penuh kemenangan. Licik juga anjing putih ini. Rasanya ingin ku tebas saja pria di depan ku ini.

"Kalau begitu, Athy tunggu sampai anak Paman Putih bisa berpedang dulu. Tentu saja harus lebih jago dari pada teman Athy."

"Maksud Tuan Putri itu Tuan Felix?"

"Bukan. Felix kan kesatria dan tangan kanan papa. Yang Athy maksud adalah teman Athy."

Aku melirik Athanasia. Dia tersenyum penuh percaya diri. Dia itu kelewat jenius atau bagaimana sih? Dia tidak pernah kehabisan ide saat menghadapi anjing putih ini.

"Kau yakin bocah itu bisa berpedang?"

Aku bertanya padanya. Dia tersenyum dan mengangguk. Paling kalau bocah itu tidak bisa berpedang, Athanasia akan menyuruhnya belajar pedang. Aku tersenyum tipis. Boleh juga ide mu.

Roger masih terdiam, tidak tahu harus bicara apa. Junior terlihat agak kecewa sambil menatap Athanasia penuh harap. Apa yang kalian harapkan dari putri ku?

"Apa saya boleh mendapatkan kesempatan, Tuan Putri?"

Roger bengong melihat tingkah junior nya. Ayah dan anak sama saja. Athanasia mengerjapkan matanya, tidak percaya apa yang dia dengar. Athanasia menatap ku seolah bertanya, 'boleh?'. Sontak aku memasang wajah sebal, Athanasia hanya mengangguk dan menatap junior.

"Athy sudah berjanji pada papa. Teman bicara Athy harus punya satu keahlian yang tidak Athy kuasai."

"Ka...Kalau begitu apakah saya boleh menemui Anda sewaktu-waktu, Tuan Putri?"

Nyalinya hebat juga. Aku tidak akan mengijinkan, tapi dia bertanya pada Athanasia. Mari kita dengar jawabannya. Semoga sesuai dengan harapan ku.

"Boleh, tapi sebulan hanya dua kali."

Apa yang Athanasia pikirkan? Dia mengijinkan junior itu? Aku menatap bingung ke arah Athanasia. Dia tersenyum tipis, senyum bisnis?

Roger terlihat senang begitu pula anaknya. Dasar licik. Beraninya dia menggunakan Athanasia untuk rencananya. Aku menatap tajam ke arah mereka.

"Putri ku sudah memberi izin. Awas kalau kalian macam-macam."

Mereka bergidik ngeri. Athanasia terkekeh pelan. Setelah membungkuk dan mengucapkan salam, mereka pergi. Akhirnya mereka berhenti menggonggong. Aku menatap Athanasia yang menghela napas kemudian mengusap kepalanya. Athanasia tersenyum senang. Sepertinya dia suka kalau ku usap kepalanya.

Claude POV end

***


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C19
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login