"Oh yah, mama menyuruhku membeli mie telur," batinku seraya menelusuri jalan besar pasar. "Tokonya di depan tiang listrik katanya."
Tanpa perlu bersusah-susah, aku menemukan tiang tersebut. Berdiri tegak kokoh dengan diameter selebar lingkar perut orang dewasa di samping persimpangan jalan. Sebuah ruko besar berlampu terang berderang langsung menyapaku. Isinya penuh gantungan aneka jajanan, kemasan kecil sampo, bumbu masakan, dan lain-lain di belakang dua meja kaca besar yang di dalamnya dipajang berbagai barang rumahan layaknya toko kelontong.
Aku melepas pegangan gas motor sehingga sepeda motorku memelan sampai berhenti di depan ruko tadi. Tak lupa kubuka sabuk pengikat helem dan menarik helemku keluar. Seketika angin sepoi-sepoi menerpa wajahku. Rasanya sejuk serta dingin. Ini tanda-tanda mau hujan. Aku langsung memarkirkan sepeda motor sebelum memasuki toko.
"Halo, Kak," sapaku kepada seorang perempuan setengah paruh baya. Rambutnya lurus hitam dengan wajah agak keriput. "Adakah mie telur?"
"Ada. Tunggu sebentar yah."
Perempuan itu berdiri diam sambil melirik sekeliling dengan kedua tangan memegang pinggang. Matanya berpindah dari satu barang ke barang lainnya. Kelakukan pemilik toko memberitahuku kalau toko ini masih baru karena dia belum terbiasa akan letak barang-barangnya atau mungkin dugaanku saja saat seorang laki-laki berambut pendek dan bertelanjang dada yang sedari tadi mengikat barang langsung menunjuk ke atas salah satu lemari.
"Mau berapa buah?"
"Satu saja."
Hanya sebuah anggukan balasannya. Menggunakan sebuah pengait, dia menarik sebuah bungkusan plastik berisi lima mie kering berbentuk piringan pada bagian ikatan tali di ujung atasnya. Mie itu diberikan padaku.
"Harganya delapan ribu rupiah."
Kuberikan uang sepuluh ribu rupiah lalu dia memberiku kembalian dua ribu rupiah. Transaksi berhasil. Singkat, padat, dan jelas. Aku langsung bergegas balik ke sepeda motorku soalnya angin mulai menderu kencang. Prediksiku benar kalau hujan akan segera turun. Masalah muncul ketika aku mencoba mengaitkan tali ujung mie telur tadi pada tempat gantungan sepeda motorku. Lingkar talinya begitu kecil sehingga agak sulit dimasukkan jadi aku kembali ke dalam toko sambil memanggil perempuan tadi.
"Aku mintalah satu buah plastik," pintaku singkat. "Yang biasa saja."
Perempuan itu hendak mengambilkan plastik yang kuminta, tapi laki-laki tadi berdiri tegak dan menjulurkan tangan menahan perempuan tersebut. Tampangnya agak garang seperti aku hendak menagih hutang. Padahal aku cuma minta plastik.
"Ada apa yah, Bang? Bukannya talinya bisa diikat ke gantungan kereta?"
"Sulit. Hujan juga sebentar lagi makanya aku minta plastik agar mudah digantungkan."
Laki-laki tersebut mendorong meja kaca untuk membuat jalan alih-alih menjawabku. Wajahnya merah padam dan caranya mendorong juga kasar. Aku tahu dia tidak senang apalagi saat merebut mie telur dari genggamanku dan menghampiri sepeda motorku. Aku mengerutkan kening tajam.
"Talinya kan bisa dimasukkan ke gantungan motor kalau mau sedikit berusaha," jelasnya pas berhasil memaksa masuk tali mie telur ke gantungan sepeda motor. "Abang saja yang kurang pakai otak."
Pas dia berbalik ke arahku, wajah galaknya langsung melemas. Tidak perlu kuutarakan lagi seberapa kesal diriku karena ekspresinya sudah menunjukkannya. Aku merasa dihina dan diperlakukan kurang baik. Terbesit kalau laki-laki ini sok pamer ditambah ingin hemat plastik sehingga membuatnya kehilangan seorang pelanggan baru. Bukan begini caranya melayani pembeli.
Langsung saja aku naik ke sepeda motorku, memakai helem, dan tancap gas tanpa basa-basi. Sangat kesal aku dibuatnya. Tekadku bulat untuk tidak membeli di tempatnya lagi meski rintikan hujan dingin mencoba menghiburku.
Jangan gara-gara ingin hemat sedikit, jadinya malah rugi banyak