"Jangan bawa Kak Leon!" Sekali lagi aku menunjuk semua yang ada di sana dengan tatapan nanar.
Daddy dengan langkah tegapnya terus mendekatiku. Aku tidak mempedulikan tatapannya yang penuh intimidasi. Aku tak bergeming. Aku sama sekali tidak tertekan oleh tatapan Daddy.
Grepp!
Seketika aku telah berada dalam dekapan Daddy.
"Dad, mereka jangan disuruh bawa tubuh Kak Leon. Dia akan tetap bersama kita di Paviliun Heal. Kak Leon punya kita, Dad." ucapku di sela sesegukanku.
Daddy tidak mengatakan apapun. Beliau hanya memberikan elusan di punggungku. Samar terasa Daddy menggeser langkah kami. Entah ke mana Daddy membawaku. Aku meneruskan sesegukanku dalam dekapannya. Tidak lama setelahnya Daddy mendudukanku.
Daddy berjongkok di hadapanku. Beliau menatap ke dalam mataku. Jari-jari tangguhnya itu menghapus air mataku dengan lembut.
"Ini Brianna putri sulung Daddy, kan?" Aku mengangguk pelan. "Putri kesayangan Daddy, kan?" Aku kembali mengangguk. "Orang-orang sering mengatakan kalau Putri Duke Reinhart adalah seorang gadis yang tangguh, cantik, pandai dan sulit digapai. Dia bukan gadis yang cengeng. Dia gadis eksklusif. Putri yang anggun nan cerdas. Banyak pemuda yang sungkan mendekatinya karena merasa tidak pantas." Daddy kembali mengulas senyumnya. "Itu yang pernah Leon katakan pada Daddy saat pertama kali kalian kembali ke Heal. Saat itu dia mengatakan betapa bangga dia saat mendengar ucapan orang-orang mengenai dirimu. Dia dengan sangat bangga mengakui kalau dia adalah pemuda yang beruntung karena bisa dengan bebasnya mendampingimu bersama Azlan. Banyak pemuda yang menatap mereka dengan iri karenamu."
Daddy menggenggam kedua tanganku dan sesekali kembali menghapus air mataku.
"Apakah ini" Daddy membelai pipiku, "putri yang sama dengan yang Leon ceritakan?" Aku tidak menanggapi apapun. "Leon yang begitu menyayangimu. Dia begitu bangga menjadi kakak sepupumu. Dan dengan keadaanmu yang seperti ini Daddy yakin akan membuat ruh kakakmu sedih. Mungkin ini akan menjadi halangan untuk perjalanannya ke alam sana. Bree menginginkan itu?" Aku menggeleng dan Daddy kembali tersenyum.
"Kalau begitu, kita tak boleh menunda pemakamannya lebih lama lagi. Leon sangat membutuhkan doa kita saat ini. Dan hanya itu yang bisa kita berikan untuk Leon sekarang. Bree bisa?"
Aku tertohok mendengar ucapan Daddy. Aku dibutakan kesedihan. Aku seolah menjadi orang yang tak mempercayai kuasa Tuhan. Aku berdiri dari dudukku. Daddy pun ikut berdiri.
"Kita ke sana?" tawar Daddy.
Aku menggenggam tangan Daddy dan berjalan bersama menuju aula utama di mana tadi prosesi sebelum pemakaman Leon dimulai. Daddy menuntun langkahku mendekati tempat Mommy berada sebelum dia kembali ke tempatnya tadi. Mommy menyambutku dengan uluran tangannya. Aku duduk sambil mendekap Mommy.
Sekilas aku menatap wajah Mommy, yang lagi-lagi mengulas senyum padaku, terlihat jejak kesedihan di sana. Aku bisa melihat mata Mommy juga bengkak. Daddy benar. Kami memang sedih kehilangan Leon, namun kami tidak boleh menunda pemakamannya. Aku mengikuti rangkaian persiapan pemakaman dengan menyandarkan diriku di dekapan Mommy. Terserah orang mau mengatakan aku manja atau apa pun itu.
Daddy berdiri di tengah aula dan menyampaikan kata-kata sebagai perwakilan tetua dan keluarga Kak Leon.
"Terima kasih pada semua yang telah bersedia menghadiri pemakaman putra kami, Leonhart Brown. Karena kejadian yang menimpa Kak William, dan kami kehilangan jenazahnya, maka saya selaku Pamannya mewakili ucapan bkeluarga ini."
Daddy sedikit menghela napas dan menatapku dan Mommy sebelum melanjutkan ucapannya.
"Leon dan Bree sudah tumbuh bersama sejak kecil. Mereka tumbuh dalam pengasuhan Duchess Fredella, istriku sekaligus Bibi Leon."
"Leon merupakan sosok pemuda yang penuh tanggung jawab meskipun tertadang masih suka diliputi emosi dan kami merasa itu wajar mengingat darah muda yang masih mengalir dalam dirinya. Namun, terlepas dari apapun itu, Leon merupakan salah satu figur pemuda yang layak untuk dijadikan panutan. Dia senantiasa bekerja keras untuk mencapai tujuannya, tidak gampang menyerah atau pun putus asa. Dia merupakan sosok pemuda yang menyayangi keluarga. Dan Bree yang paling merasakan itu."
"Semua yang hadir di sini bisa melihat bagaimana terpukulnya putriku dengan apa yang menimpa pada kakak sepupunya ini. Kalau ada yang merasa paling kehilangan, mungkin memang putriku Bree orangnya. Leon telah ada untuk Bree bahkan sebelum Bree dilahirkan. Leon yang dulu sangat suka cita saat mengetahui Fredella melahirkan seorang putri. Leon kecil yang selalu sigap mendampingi adik kecilnya, Bree."
"Kini, sosok penyayang itu telah pergi. Saya mewakili keluarga Brown memohonkan kepada semua yang hadir di sini untuk memaafkan semua kesalahan Leon. Dan kalau pun ada janji atau apa pun itu yang belum Leon selesaikan, harap hubungi kami jika itu tidak bisa direlakan begitu saja. Namun, kami tentu sangat mengharapkan kalau semua yang ada di sini dapat mengikhlaskan semua agar jalan Leon akan menjadi mulus."
Aku kembali terisak saat Daddy baru mencapai pertengahan pidatonya. Elusan Mommy terasa di punggungku. Dan selanjutnya aku tidak merasakan atau mendengar apa pun lagi.
Hembusan udara dingin menyapa wajahku. Saat membuka mata aku langsung mengedarkan pandanganku. Beberapa pasang mata menatapku dan wajah mereka penuh dengan kelegaan.
"Akhirnya kau bangun juga, Sayang." Mommy duduk di sampingku dan menatapku dengan wajah sendu.
"Bree kenapa, Mom?"
"Pingsan dan itu kemarin siang. Kau benar-benar putri tidur ya, Bree." Bukan Mommy yang menjawab, tapi Azlan.
"Azlan! Itukah caramu berbicara pada seorang gadis." Paman Ab menatap Azlan penuh intimidasi dan itu memancingku untuk tersenyum.
Mommy berdiri dan memberi ruang pada Paman Ab untuk duduk di dekatku.
"Kami sangat cemas melihatmu tak ada tanda-tanda akan bangun. Jangan begitu lagi, ya!" Paman Ab menangkup wajahku dengan kedua tangannya.
"Ayah tak pernah bicara selembut itu padaku." Demo Azlan dan aku hanya mencebikkan bibir bawahku mendengarnya.
"Untuk apa juga Ayah berbicara lembut padamu, Azlan. Dan tolong jangan ganggu momen kami berdua. Sebaiknya kau periksa keadaan di Kastil Graham." Azlan hanya berdecak mendengar ucapan Paman Ab dan aku kembali tersenyum.
"Ayah lihat, kan? Azlan memang selalu menjadi alasan Bree untuk kembali tersenyum." Azlan bersedekap bangga. Paman Ab hanya memberinya tatapan sinis, namun tidak dengan Mommy dan Daddy. Mereka berdua terkekeh pelan mendengar ucapan Azlan.
Tiba-tiba aku mengingat alasan yang membuat aku pingsan. Kak Leon.
"Kak Leon?" Aku menatap mereka satu per satu. Mereka semua kompak terdiam.
Daddy duduk di sisi lain tempat tidurku. Sambil menatapku dengan pandangan lembutnya, Daddy membelai kepalaku.
"Kakakmu sudah dimakamkan kemarin siang. Kami menunggu sejenak kemarin berharap Bree bangun. Namun, Bree tetap memilih tidur jadi kami memutuskan untuk langsung memakamnya. Tidak masalah, kan?" Aku tidak tau harus merespon apa. Mataku kembali memanas.
"Hey, Bree." Azlan duduk di dekat kakiku. "Kau tau kalau penampilanmu itu paling mengerikan saat menangis. ntung aku sangat menyayangimu. Aku yakin kalau pemuda lain yang melihat saat dirimu menagis, mereka pasti akan langsung kabur karena ketakutan."
Azlan dan rese'. Dua kata itu selalu paling pantas untuk disandingkan dengannya. Anehnya, ketiga tetua yang ada di sana tidak sedikit pun memberi teguran untuk Azlan seperti tadi. Mereka justru memberi ruang untuk kami berdua dengan saling mengkode untuk meninggalkan ruanganku. Kini hanya tersisa kami berdua, Azlan dan aku.