Keesokan harinya pada pukul enam pagi, seperti biasa aku keluar untuk mencari sarapan pagi. Katanya jika aku berjalan ke arah kanan, diriku bisa menemukan sebuah warteg yang buka pada pagi hari. Katanya rasa dari hidangan tersebut tak kalah dengan restoran bintang lima. Dan yang lebih menarik lagi, warteg itu memiliki sebuah televisi sehingga aku bisa sedikit menghibur diriku disana. Namanya juga anak kost, melihat televisi seperti melihat sebuah harta karun.
Membayangkan hal itu membuatku semakin bersemangat untuk pergi kesana. Sesampainya disana, aku memesan lauk pauk kesukaanku yaitu orek tempe kecap, terong balado, dan nasi setengah porsi. Kulihat orang yang melayaniku adalah seorang nenek berusia enam puluh tahun. Dia menggunakan jilbab, dan menggunakan baju terusan berwarna oren muda bermotif daun. Lalu aku duduk di sebuah kursi dan meja panjang, setelah itu melirik ke kiri atas melihat acara televisi. Dihadapanku terdapat sebuah etalase, berisi berbagai macam lauk pauk. Hari ini aku menikmati acara kartun Spongebob kesukaanku.
Kebetulan suasana warteg sedang sepi, jadi aku bisa menikmatinya seorang diri. Di pertengahan acara, chanel pun diganti oleh Sang Nenek menuju chanel drama kesukaannya. Dia sengaja menggantinya, sebab dirinya pikir aku tidak menyukai acara tersebut. Padahal itu semua tidak benar, justru aku sangat meyukainya. Meskipun itu hanya sebuah kartun, tanpa kita sadari banyak pelajaran penting yang bisa diambil dari sana. Dibandingkan dengan acara naga terbang, dipenuhi dengan adegan yang tidak sepantasnya, di tunjukkan kepada anak berusia sepuluh tahun ke bawah. Sekarang kita bisa lihat, bagaimana seorang anak berusia lima tahun, mengerti tentang percintaan.
Atau fenomena menghilangnya lagu anak-anak. Sekarang mereka lebih mengenal lagu, dengan judul "Mamah Muda." Saya sendiri jujur kurang menyukai acara tersebut, sebab acara itu terlalu banyak mengandung bawang, adegan di luar logika, serta kejanggalan lainnya. Aku lebih suka dengan drama asal Korea Selatan. Sebab drama yang di tampilkan penuh dengan seni, pantas saja kaum hawa sangat menyukai acara tersebut. Pemeran juga terkenal dengan parasnya yang rupawan, walau tidak semua bawaan dari lahir.
Tetapi meskipun begitu, mereka tetap memperhatikan kualitas sehingga menembus panggung internasional. Mungkin beberapa tahun kedepan, semoga Indonesia bisa bersaing. Tetapi buat apa aku memikirkan hal itu? Lagipula hidupku sudah di penuhi dengan drama. Begitulah yang aku pikirkan sejak tadi. Selesai makan aku langsung membayarnya, lalu kembali ke rumah. Sejak kemarin aku belum melihat keberadaan tetanggaku, semalam aku hanya melihat lampunya yang menyala. Sekarang lampu itu sudah mati, sepertinya dia sudah berangkat kerja. Kapan-kapan aku akan berkunjung ke rumahnya.
Kemudian aku pergi untuk mengambil sebuah buku, lalu aku pun berlatih menulis huruf kana (Hiragana dan Katakana), setelah itu aku berlatih membaca pada sebuah situs internet. Setiap kata yang terlihat ku ucapkan dengan jelas dan lantang. Tiga puluh menit telah berlalu, sudah saatnya mengisi soal yang aku tulis sendiri. Soal itu berisi kumpulan kalimat, dengan tulisan latin yang harus diubah ke huruf kana. Terakhir aku harus mengubah salah satu cerita ke tulisan kana. Selesai mengerjakan soal akhirnya aku bisa sedikit percaya diri.
Setelah itu aku mulai bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Sesampainya dikampus aku memasuki sebuah kelas yang disediakan oleh para panitia. Disana kami harus menunggu giliran untuk mengikuti tes kemampuan membaca. Tetapi sebelum itu, kami mengikuti ujian tulis terlebih dahulu. Selesai mengikuti ujian, kami harus menunggu di dalam ruangan. Kulihat sebagian dari kami, berlatih membaca pada sebuah layar phonsel, dan sebagian dari kami hanya menunggu sambil berbincang-bincang.
Sedangkan aku juga berlatih membaca, pada sebuah teks dibalik layar phonsel. Lima belas menit kemudian aku pun tertidur, lalu aku di bangunkan oleh Bila Senpai.
"Hei kamu cepat bangun, sekarang adalah giliranmu." Menepuk punggungku sebanyak lima kali, lalu mendoroku sebanyak tiga kali.
"Maaf senpai, saya ketiduran." Menatap wajahnya lalu menggaruk kepalaku sebanyak tiga kali.
Sekarang adalah giliranku untuk mengikuti tes membaca. Orang yang akan mengujiku adalah seorang Dosen berumur tiga puluh tahun. Dosen itu bernama Yogi Nias, beliau berpostur agak gemuk, memakai baju koko oren cerah, celana bahan diatas lutut, berkacamata, berambut ikal, dan memiliki janggut yang runcing. Kemudian aku duduk berhadapan dengannya, lalu beliau memberikanku sebuah kertas yang berisi tulisan kana. Satu kata menghasilkan satu poin, dalam waktu tiga menit, aku harus membaca ini semua dengan pelafalan yang jelas.
Padahal satu kertas HVS berukuran F4, berisi lima paragraf. Satu paragraf terdiri dari lima kalimat, melihat hal itu aku mulai tidak percaya diri. Kemudian aku langsung berdoa di dalam hati, dan akhirnya rasa percaya diriku telah pulih. Tes pun dimulai. Setiap kalimat dengan mudah aku membacanya, sebelumnya aku mengalami beberapa kesulitan dalam membaca tulisan katakana. Dengan rasa percaya diri dan ketelitian yang tinggi, aku pun bisa mengatasinya. Selesai menyelesaikan ujian kami diperintahkan untuk menunggu di luar.
Sebab setelah melakukan perhitungan, hasil tes dari keseluruhan rencananya akan ditempel atas mading, tepat di lantai tiga tempat kami berdiri. Satu jam kemudian akhirnya hasil ujian pun telah keluar. Ternyata dari seratus peserta, aku mendapatkan urutan ke tiga puluh. Sungguh hasil yang mengecewakan, padahal aku sudah mempersiapkan segalanya dengan baik. Seharusnya dirikulah yang harus mendapatkan peringkat pertama. Tetapi setelah aku selidiki, rupanya ujian ini dilakukan setiap dua hari sekali.
Dan ini adalah ujia terakhir yang aku ikuti. Jadi wajar saja jika aku mendapatkan posisi tersebut. Kemudian aku melihat siapa yang mendapatkan urutan pertama. Orang yang mendapatkan urutan pertama adalah Adam Mulyadi. Aku penasaran siapa orang itu, dan mengapa dirinya sangat populer? Lalu aku pun bertanya Si Botak Ruben.
"Woi." Menepuk pundaknya sebanyak tiga kali, ketika dirinya sedang melihat mading.
"Apa?" Melirik ke arahku.
"Gue penasaran, yang namanya Adam Mulyadi yang mana yah?"
"Itu disamping kiri elu." Menunjuk ke arah Adam, dengan suara sedikit lantang.
Adam menyadari akan hal itu, lalu kami berdua bertatapan setelah itu memberikan senyuman dan aku pun pergi begitu saja. Saat itu jujur aku merasa malu, dasar Ruben mengapa dia memberitahu dengan cara seperti itu? Jadi aku merasa tidak enak dengannya, kapan-kapan jika aku bertemu dengannya, sepertinya diriku harus meluruskan kesalah pahaman ini.
Kemudian aku berjalan menuruni tangga, lalu berjalan melewati lorong hingga keluar gerbang. Setelah itu berjalan menaiki trotoar hingga sampai ke rumah. Tak terasa hari sudah menjelang sore, kulihat Dedi belum pulang dari tempat kerjanya. Entah mengapa suasana di kontrakan ini semakin lama semakin hening. Semoga dalam beberapa hari ke depan, dua kontrakan samping kiriku segera terisi. Tiga telah berlalu, sudah saatnya aku pergi untuk membeli makan malam.
Katanya di pertigaan jalan lampu merah, sebelum pangkalan ojek ada sebuah kedai nasi kuning yang sangat enak. Karena penasaran aku langsung pergi untuk mengunjunginya. Tak disangka banyak sekali pria setengah jadi berkeliaran di jalan. Para pria itu menggunakan pakaian serba minim, wig rambut panjang, dan berbagai macam aksesoris untuk menarik perhatian. Melihat hal itu membuatku sangat geli, apalagi aku sempat mendengar rumor, bahwa mereka penyuka sesama jenis.
Rasanya aku ingin kembali saja ke dalam rumah, namun sepertinya perutku berkata tidak. Sebab sejak tadi dia terus memberontak, agar dirinya segera terisi oleh makanan. Belum sampai di kedai, tiba-tiba para banci itu berlarian ke arahku. Wajah mereka terlihat ketakutan, lalu berlari sekencang mungkin dari sesuatu di belakang mereka. Karena sudah terlanjur takut, spontan aku juga ikut berlari bersama mereka.
"Lari!"
"Kabur cin, selamatkan dirimu!"
"Aww, tidak tolong!"
Suara menjijikan yang terlintas di pikiranku. Saat diriku menoleh ke arah mereka rupanya itu adalah Satpol PP. Seketika aku pun tersadar, lalu bertanya kepada diriku.
"Kenapa gue ikutan lari?" Gumamku saat berlari bersama mereka.
Namun para Satpol PP, menatapku dengan tajam dan akhirnya aku pun berlari memasuki gang. Setelah itu memutar dan kembali memasuki rumahku. Pada akhinya rencanaku untuk makan malam di luar telah gagal. Terpaksa aku harus memakan sebuah roti, yang sempat aku beli di sebuah toko, ketika dalam perjalanan pulang ke rumah. Setelah itu aku memakan roti, sambil merenung di pojokan dengan wajah putus asa.