Ponsel, benda itu yang pertama Ara cari. Ponsel tersebut sudah terisi daya setelah ia salurkan dengan energi listrik. Beruntung alat pengisi daya itu selalu ia bawa kemana pun di dalam ranselnya. Jadi, ia tidak perlu bersusah payah memberikan tebak-tebakan pada isi kepala. Dengan hati-hati, segera ia membuka tujuan utamanya. Tidak membutuhkan waktu lama ia melakukannya, karena yang ia maksud hampir berada di jejeran berita yang ramai pengunjung.
"Ingin kehidupan yang instan, wanita ini mencoba mengusik kehidupan Allegra Arizki hingga menghidupkan api kecemburuan Daneen."
Salah satu kalimat yang tercantum, berhasil Ara baca. Dari bagian awalnya saja sudah membuat Ara seakan berada di lingkaran larva gunung berapi yang membuat tubuhnya panas dan menegang. Takutnya ada seseorang yang mendorongnya masuk pada larva tersebut. Semakin ia baca ke bawah, semakin banyak pula hawa panas yang memenuhi sekujur tubuhnya. Terlampu tinggi suhu yang terkandung di dalamnya, hingga keringat Ara selalu bercucuran menemani rasa panik. Menjadi kejanggalan hati paling meresahkan yang pernah ia temui selama ia hidup.
Jadi, keputusan awalnya meninggalkan Legra dan tidak menjadikannya sebenarnya teman sampai ia menaruh hati itu sudah benar?
Ara tak pernah menyangka bahwa hal seperti ini akan terjadi. Tidak pernah terbesit sedikit pun di pikirannya akan berjumpa dengan Clover kembali. Baru hari kemarin ia berjumpa dengannya. Baru sehari ia bertukar cerita melalui emosi yang terpecah. Namun, hari ini Clover telah meruntuhkan kepercayaan Ara bahwa Clover selalu menjadi orang baik dengan caranya. Clover benar-benar membuatnya marah, tentunya ia juga lebih marah terhadap dirinya sendiri yang tak mampu mengendalikan hati. Lagi pula, tidak ada seorang pun yang mampu mengendalikannya. Mengendalikan raga saja kita masih belum berkuasa, apa lagi mengendalikan hati yang selalu menjadi kuasa Ilahi.
Ara merasa sudah cukup terbebani dengan caci-makian yang hadir dari sudut mata. Namun, mulut mereka rasanya tak cukup puas hanya dengan itu. Sehingga, keluarlah hujatan berupa suara juga badai komentar yang memenuhi pesan pada akun sosial medianya. Semua mencacinya melalui lisan, mata, hingga tangan. Dari semua orang yang tak pernah acuh padanya, berubah memperhatikannya dengan kebencian.
Senin seharusnya menjadi hari tumbuh semangat baru untuk menjalani hari-hari berikutnya. Senin seharusnya menjadi awal kebahagiaan pada minggu yang baru. Kini, senin telah menjadi hari yang menghancurkan harapan kebaikan, harapan semangat baru, harapan kebahagiaan baru. Senin telah menjadi hari yang membuat Ara ingin kembali pada minggu. Ingin menata kembali kehidupan sebelum senin datang. Mempersiapkan hati dengan sebaik-baiknya sebelum semua ini akan terjadi. Dan ternyata ia telah terlambat, senin sudah sampai pada harinya. Bahkan, sudah sampai pada waktu matahari malu menampakkan wujudnya kembali. Memilih tenggelam saja pada garis air laut tanpa memberikan senja.
"Aku tidak melakukan itu. Tidak." Sudah menjelang maghrib, tetapi Ara baru saja akan pulang. "Tidak, aku bukan orang seperti itu." Kalimat-kalimat seperti itu yang sedari tadi selalu ia keluarkan dari mulutnya. Meski berbicara sendiri, ia berharap semua orang akan mendengarnya.
Ara berjalan di atas trotoar dengan terseok-seok menuju halte, ia ingin menunggu kendaraan umum di tempat itu. Di depannya terdapat empat orang perempuan yang sepertinya masih menjadi pelajar. Terlihat dari tas punggung dan buku yang dibawa di salah satu dari keempatnya. Mereka juga tengah berjalan menuju halte yang masih sepuluh meter kemudian. Ketika salah satu dari mereka menjatuhkan bukunya, semuanya melihat ke belakang memastikan keberadaan teman mereka itu. Hingga salah seorang dari mereka menangkap sosok Ara yang tengah berdiri lunglai sendirian. Bukannya tak peduli karena merasa orang asing, ia malah berjalan mendekati Ara. Namun, ia kembali lagi pada teman-temannya setelah beberapa langkah.
"Girl, pelakor tuh. Serang, yuk! Sebagai Legra lovers nggak terima gue!" Mata keempat orang itu menuju ke arah Ara, kemudian saling pandang satu sama lain.
"Woy, cewek nggak tau diri! Kita mau bikin perhitungan sama lo! Bisa-bisanya ya, main peluk sama Legra. Gue aja belum pernah, ngantri dulu sini!" teriaknya marah.
Ara yang kaget mendengar suara perempuan itu, langsung saja membuat tubuhnya menegang. Dia menatap keempat perempuan itu dengan mata melotot dikarenakan perasaan takut. Entah hal apa yang ia takutkan, tetapi yang jelas di hari ini ia selalu merasa khawatir yang berlebihan terhadap dirinya sendiri. Ia bahkan merasa bingung atas hal yang harus ia lakukan saat ini. Sebelum keempat perempuan itu melangkah lebih jauh untuk mendekatinya, hanya terbesit kata lari di dalam pikirannya yang tak tahu bertujuan untuk apa. Maka, ia putuskan untuk berlari membelakangi arah yang seharusnya ia tuju. Berlari secepat dan segesit mungkin.
"Loh, loh, kok lari sih? 'Kan kita belum ngapa-ngapain." katanya.
"Tau lari ya kejarlah. Masa lo diem aja kayak orang gila."
"Sembarangan lo kalo ngomong. Udah ayok kejar, harus ketangkap pokoknya. Pengen gue cabik-cabik itu orang." geramnya.
Sedangkan Ara terus berlari tak tentu arah dan tak melihat jalan, sampai beberapa pejalan kaki tak sengaja ia tabrak. Napasnya tersengal-senggal dengan cepat antara kelelahan berlari dan habis menangis. Ya, entah sebab apa ketika dirinya berlari dan jalan pikirannya buntu, penyangga air matanya lepas begitu saja.
"Woy, berhenti woy!"
"Berhenti ngga lo!"
"Berhentiii!"
Mereka berteriak, kecuali perempuan yang bukunya terjatuh. Dia cukup pandai mengambil langkah lebar hingga dapat menyusul Ara yang berada di depannya dengan mudah. Dengan satu tarikan pun, ia dapat memberhentikan Ara di tempat.
"Akh, lepas."
"Weihh..hh, main.. lari aja," kata temannya itu. "Sini, lo tuh ya, udah peluk-peluk Legra, belagu, jelek, bikin kita capek lagi." Dia menarik-narik pakaian yang dikenakan Ara dibantu teman lainnya.
"Sok kecakepan lagi," kata perempuan yang memegangi tangan kiri Ara.
"Lo hater, ya?!" teriak yang satunya.
"Enggak, aku bukan orang jahat!"
"Bohong, lo!"
"Bohong."
"Engg-"
Srrrrrttt, "Akh, baju aku."
"Masa bodo, lo-"
"Ara! Minggir! Minggir! Minggir!"
Rindo datang seakan selalu menjadi penyelamat di dalam hidup Ara. Dari dulu hingga sekarang, Rindo selalu datang membawa keberuntungan untuknya. Dia yang melerai dan menjauhkan Ara dari santapan buas para penggemar Legra. Sampai para perempuan itu tak dapat lagi mengganggu Ara karena terhalang tubuh besar Rindo. Bahkan, Rindo pula yang berhasil membawa pergi Ara dari sana. Namun, Ara hanya diam saja sembari menutupi sobekan baju akibat ditarik oleh penggemar Legra.
Rindo membawa Ara menuju halte yang sama seperti kemarin. Karena walau bagaimana pun tempat itu adalah kawasan kos perempuan yang tak akan ia masuki. Pun belum tentu Ara mau untuk Rindo antarkan sampai di sana.
"Kamu nggak apa-apa, Ra?"
"Aku nggak apa-apa. Hanya bajuku yang sedikit robek," kata Ara sembari mengusap air matanya yang terus bercucuran. Jangan lupakan isak tangis yang masih memenuhi indra pendengaran Rindo.
"Ini keterlaluan, mereka sudah melecehkan kamu, Ara."
"Sudah, Do. Yang tadi biarlah terjadi, sudah lewat juga."
"Tapi.."
"Sudahlah," katanya mengakhiri. Namun, sedetik kemudian ia teringat sesuatu, "Kamu.."
"Aku sudah tahu tentang berita itu. Jadi, apakah foto itu benar-benar nyata dan terjadi?"
"Iya, itu nyata."
"Itu artinya kamu mengenal Legra?"
Ara mengangguk dan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Rasanya malu jika hal yang ia lakukan itu diketahui orang-orang, apa lagi jika terekspos di dunia maya. Sedangkan Rindo mengalihkan pandangannya ke lain Arah.
"Tapi berita itu tidak benar!"
"Aku tahu itu."
Lega rasanya jika terdapat banyak orang yang membenci kita, tapi masih ada orang yang mau mempercayainya. Terlebih lagi orang itu adalah orang yang kita percaya juga untuk mempercayai kita. Seperti Rindo dan Astri contohnya.
Bagimu, senang ataukah sedih yang dirasakan apabila terkenal mendadak?
Tentu akan ada rasa senang jika hal tersebut memberikan penjabaran yang positif.
Namun, sudah tentu juga kita akan bersedih hati apabila hal tersebut laiknya mimpi buruk.