Kiara masih terlelap. Selama dalam perjalanan, Kiara tidak sedikit pun membuka matanya. Leo juga merasa aneh, Kiara bisa tidur sampai tidak ingat apa pun. Lamanya perjalanan bukan hanya di tempuh dengan mobil tetapi juga menggunakan pesawat pribadinya Leo. Dengan hati-hati Leo mengangkat tubuh Kiara dari mobil pindah ke dalam pesawat pribadinya.
Leo tersenyum melihat Kiara masih tertidur. "Baru tahu kalau ada orang bisa tidur seperti orang pingsan. Kamu ini keturunan putri tidur atau apa?" Dipandanginya wajah Kiara dengan seksama. Pipi yang ranum, mata yang indah yang sekarang sedang tertutup rapat, kulit yang putih bersih sekarang tergolek tidak berdaya di atas tempat tidur. "Ada apa denganku? Kenapa aku selalu peduli dengannya? Hampir 2 bulan aku tidak pernah bertemu dengannya tetapi aku tidak bisa melupakannya." Dielusnya terus pipi ranum Kiara. "Takdir mempertemukan kita kembali. Sekarang aku tidak akan mengalah, kamu akan menjadi milikku selamanya." Leo bermonolog di dalam hatinya.
Setelah puas memandangi wajah Kiara yang sedang terlelap, Leo bergegas pergi ke luar dari kamar pribadinya. "Kamu jaga Nonamu! Kalau sesuatu terjadi padanya, kamu akan mati!"
"Baik Tuan," jawab salah satu bodyguard yang sedang berada di dekat pintu, menunduk hormat.
Leo lalu duduk, mengambil dokumen yang ada di atas meja kecil. Tidak lama kemudian datang salah satu bodyguardnya menghampirinya. "Mau minum apa Tuan?" tanyanya.
"Kopi saja dengan sedikit gula," jawabnya, dengan mata yang terus melihat ke dokumen.
"Baik Tuan." Kemudian dia bergegas pergi.
Sementara di dalam kamar pribadi Leonardo, nampak Kiara sedang menggeliatkan badannya. Perlahan matanya sedikit demi sedikit mulai terbuka, cahaya lampu yang ada di atas tempat tidur sedikit menyulitkan matanya untuk dengan cepat menyadari sekelilingnya. Digosoknya matanya dengan perlahan untuk mengumpulkan kesadarannya.
"Di mana aku?" Pandangannya mengedar ke sekeliling. Diperhatikannya satu per satu barang-barang yang ada di dalam kamar. "Di mana aku? Ini bukan kamarku?" Kiara langsung melihat ketubuhnya sendiri yang masih memakai baju seragam, di sampingnya juga tergeletak jas yang tadi menutupi tubuhnya. "Bukankah ini jas punya Leo yang aku pakai tadi?" gumamnya.
Kiara melihat ke arah pintu, bergegas dia membuka pintu tetapi terkunci dari luar. "Kenapa tidak bisa di buka? Apa di kunci?" Kiara berbicara sendiri. Dipukulnya pintu kuat-kuat, berharap ada seseorang yang mendengar dari luar. "Buka pintunya! Buka!!" teriaknya.
Bodyguard yang berada di luar pintu segera menghampiri Leo yang sedang asyik memeriksa dokumen.
"Tuan, sepertinya Nona telah bangun." Ucapnya dengan sopan.
Leo segera menutup dokumen yang dibacanya, bergegas pergi menuju ke kamar pribadinya. Dari luar pintu terdengar pintu dipukul-pukul.
"Buka pintunya! Buka!!" teriak Kiara dari dalam.
Leo membuka pintu dengan menekan beberapa kode, didorongnya pintu secara perlahan. Terlihat kamar sangat berantakan. Barang-barang yang tadi tersusun rapih di meja sekarang sudah berserakan di lantai. Terlihat Kiara sedang berdiri dengan wajah yang penuh amarah. "Di mana aku?!!" teriaknya.
Leo mendekati Kiara pelan-pelan, diulurkannya tangannya untuk bisa menggapai tangan Kiara. "Kiara, tenanglah. Biar aku jelaskan," bujuknya dengan suara yang lembut.
"Jangan sentuh aku!" Kiara menepiskan tangan Leo yang hampir menyentuhnya.
Langkah Leo terhenti, dilihatnya Kiara dengan lembut mencoba untuk bersabar menghadapi sikap Kiara. "Kemarilah, biar aku jelaskan."
Kiara menatap tajam Leo. Tangannya terkepal menahan amarah. "Di mana aku?! Ke mana kamu membawaku?!" teriaknya.
Bukannya menjawab, Leo malah memanggil bodyguardnya. "Robi, kemari!" teriaknya.
Bodyguard yang bernama Robi masuk. "Iya, Tuan. Ada apa?"
"Urus dia agar terdiam, perjalanan kita masih jauh. Jangan sampai pesawat ini jatuh gara-gara Nonamu itu."
Kiara yang mendengar mereka ada di dalam pesawat langsung bertanya, "apa kamu bilang? Pesawat? Mau di bawa ke mana aku?!"
Robi tanpa basa basi langsung menghampiri Kiara. Memegangi tangannya dan mengeluarkan saputangan dari saku celananya.
"Apa itu?!" teriak Kiara panik. "Lepaskan aku! Lepaskan!"
"Tenanglah Nona, ini hanya obat bius. Nona hanya akan tertidur sebentar saja. Maafkan aku, Nona," ucap Robi, kemudian membekap mulut Kiara dengan saputangan yang telah ditetesi cairan obat bius.
Sekuat apa pun Kiara melawan, tenaganya kalah dengan tenaga seorang lelaki. Pukul-pukulan tangan mungilnya hanya seperti gigitan semut buat Robi. Perlahan pukulan-pukulan Kiara semakin melemah, hingga akhirnya terkulai tidak berdaya.
Leo yang melihat Kiara sudah terkulai segera membopong tubuh Kiara ke tempat tidur. "Pergilah."
"Baik, Tuan." Robi segera ke luar dari kamar itu dan kembali berjaga melanjutkan tugasnya.
Leo melihat ke sekeliling kamar yang berantakan. "Sejak kapan dia terbangun? Kamar ini tidak berbentuk lagi."
Dilihatnya kembali Kiara yang sedang tertidur karena pengaruh obat bius. Leo tersenyum, dielusnya pipi ranum itu dengan jarinya. "Kamu cantik sekali Kiara. Seorang Leonardo saja, mengagumi kecantikanmu." Perlahan kepalanya menunduk mencium bibir merah ceri yang dari tadi menggodanya.
Dielusnya bibir Kiara perlahan. "Bibir ini sekarang menjadi canduku."
Setelah lama melihat Kiara yang tertidur karena pengaruh obat bius, akhirnya Leo pun tertidur. Tangannya melingkar di pinggang ramping Kiara.
.....
"Sudah sore, kenapa Papa belum juga pulang Ma?" tanya Bagas.
"Duduklah. Mama pusing lihat kamu dari tadi, mondar mandir seperti setrikaan. Duduk!"
Bagas tidak menuruti kemauan Mamanya, sesekali berjalan ke arah jendela untuk melihat Papanya sudah pulang atau belum. Entah sudah berapa gelas air putih yang diminumnya, hatinya sangat gelisah memikirkan kekasihnya yang sekarang entah berada di mana.
"Kenapa Papa lama sekali sih Ma?" rengek Bagas.
"Papa pulangnya kadang tidak menentu. Kalau banyak pekerjaan, bisa pulang tengah malam," jawab Mama. "Kamu mau menanyakan bagaimana ke Papa tentang Kiara?"
"Entahlah Ma, Bagas juga bingung." Bagas duduk disebelah Mamanya, menyandarkan tubuhnya menatap langit-langit.
Beberapa saat mereka terdiam, sementara Mama sibuk merangkai bunga segar ke dalam vas yang tadi dipetiknya dari tamannya sendiri.
Dreet ... dreet ... dreet ...
Ponsel Bagas bergetar. Dilihatnya di layar ponsel nama Ibu Kiara yang tertera. "Ma, Ibunya Kiara telepon lagi."
"Angkat saja dan bilang kita belum dapat kabar tentang anaknya. Karena memang itu kenyataannya," kata Mama.
"Bagas tidak enak Ma, tidak tega mau bilangnya."
"Terus kamu mau bilang apa? Jangan berbohong, bicara yang sebenarnya saja," kata Mama.
Bagas melihat ke layar ponsel yang masih tertera nama Ibu Kiara. Tidak lama kemudian ponsel berhenti bergetar.
Lama Bagas hanya memandangi layar ponsel, pikirannya kosong.
"Kenapa tidak diangkat?" tanya Mama, meletakkan setangkai bunga mawar di atas meja.
"Bagas merasa tidak enak bicara dengan Ibunya Kiara. Bagas merasa bersalah, bukankah kita yang memperkenalkan Kiara dengan Pak Leo."
Mama terdiam begitu Bagas mengatakan itu, hatinya membenarkan apa yang Bagas katakan. "Sudahlah, kita tunggu Papa saja."
"Bagas mau ke kamar, kepala rasanya sakit." Bagas kemudian pergi melangkah menuju kamarnya.
"Bi," teriak Mama. "Bibi, tolong buatkan jus jeruk buat Bagas. Antarkan ke kamarnya."
Bibi yang sedang berada di dapur. "Iya, Bu."
Mama melanjutkan kembali merangkai bunga-bunga kesayangannya di dalam vas bunga. "Cantiknya," gumamnya.
...
Di dalam sebuah rumah yang bergaya Eropa, nampak seseorang sedang terbaring di atas tempat tidur berukuran king size. Kamar yang didominasi warna putih dengan dinding yang dihiasi lukisan-lukisan indah dari pelukis-pelukis terkenal. Nampak di sudut kamar, satu set sofa turut menghiasi isi kamar. Terlihat seseorang sedang berdiri tegak di depan jendela, memandang ke luar melihat hamparan rumput dan bunga-bunga yang sedang menari diterpa angin. "Kita akan mengawali semuanya dari sini, Kiara."
Tok ... tok ... tok ...
Seseorang mengetuk dari luar pintu. "Masuk!"
Pintu di buka, terlihat seorang pelayan yang mengenakan seragam hitam putih memasuki kamar. "Tuan Leo, makanan sudah siap."
Leo melihat ke arah pelayan. "Aku makan di sini saja. Siapkan di sini untuk 2 orang." Tatapannya beralih ke seseorang yang sedang terbaring. "Kiara, belum bangun juga," gumamnya.
"Baik, segera disiapkan Tuan," jawabnya lalu pergi dengan segera.
Leo mendekati tempat tidur. Dilihatnya Kiara sedikit menggerakkan tangannya. Mata indahnya sedikit bergerak-gerak berusaha untuk terbuka. Perlahan tangannya menyentuh kepalanya, "sakit, kepalaku sakit," ucapnya pelan.
Leo perlahan duduk di pinggir tempat tidur memperhatikan Kiara yang sedang berusaha membuka matanya.
Ikuti terus kelanjutan cerita Leo dan Kiara. Bisakah Leo mendapatkan Kiara?
Jangan lupa tinggalkan komentar atau vote di setiap chapter