"Pengumuman! Lima belas menit lagi, rombongan siswa SMA Global akan segera tiba. Kepada anggota OSIS, harap segera berkumpul untuk acara penyambutan. Selain anggota, seluruh siswa dimohon masuk ke kelas masing-masing. Terima kasih."
Suara pengumuman sudah terdengar dari speaker sekolah. Keira semakin gelisah. Dari pagi ia sudah tidak tenang. Ia sempat berpikir hendak bolos saja lalu tidur di rumah, tapi ia takut karena tak pernah absen tanpa kejelasan sebelumnya. Belum lagi omelan Mama jika tahu ia pura-pura sakit. Di samping itu jika Keira tak masuk, ia bisa mati penasaran memikirkan pertemuan Zein dengan Hellena.
"Kei, lo kok pucat banget sih? Lo sakit?" Milli yang baru kembali dari kantor guru memandangnya cemas.
"Nggak, kok. Gue nggak apa-apa," jawab Keira pelan. Ia nyaris depresi, bahkan sebelum satu hal pun yang terjadi. Keira sampai tidak bisa menikmati apapun yang dihidangkan Mama dari kemarin. Pikiran cemas membuatnya kehilangan selera.
"Zein, lo lagi marahan sama Keira apa?" tanya Alvin. Mereka bersama Oki sedang duduk di bangku belakang seperti biasa.
"Nggak tuh," jawab Zein pendek.
"Tapi dari kemarin kok dia kayak ngindarin lo, deh. Apa konser kemarin nggak lancar?" tanya Alvin lagi.
"Nggak juga sih," Zein kelihatan sama herannya. "Cuma ya...."
"Cuma apa?" Sekali lagi Alvin menanyai.
"Gue nyium dia."
"APA?" Alvin dan Oki berseru heboh sebelum kemudian tertawa.
"Tapi gue rasa bukan itu deh masalahnya," Zein menyandarkan punggungnya ke bangku. "Gue juga sadar kalau sikapnya semenjak kita masuk lagi rada lain. Tapi nggak tahu juga kenapa."
"Cewek itu emang aneh. Mereka susah dipahami." Oki tiba-tiba berkata dengan bijaksana. "Kalo lagi marah mereka diam. Nggak mau jelasin apa-apa, tapi berharap cowok bisa mengerti. Kalo ditanya kenapa, mereka jawabnya 'nggak kenapa-napa'. Kalo udah kaya gitu, kita mau tahu darimana coba? Bingung ngadepinnya kan?"
Zein dan Alvin hanya tersenyum. Sepertinya Oki justru sedang mencurahkan isi hatinya sendiri. Oki sudah lama naksir cewek, teman masa kecilnya. Rumah mereka juga bertetangga, tapi Oki belum bisa mengungkapkan perasaannya karena cewek itu hanya menganggap Oki sebagai sahabat.
"Teman-teman, Keira sakit!" seru Milli membuat tiga cowok itu mengalihkan perhatian.
"Nggak, Mil. Gue nggak apa-apa, kok. Beneran," Keira masih saja membantah, bahkan saat beberapa anak mulai mengerumuninya.
"Muka lo pucat. Ijo nggak jelas gitu. Lo juga megangin perut terus dari tadi. Udah, gue anter ke UKS aja, yuk?" paksa Milli.
"Nggak usah. Gue cuma males makan aja dari kemarin. Selain itu gue nggak kenapa-napa kok, Mil. Beneran," tolak Keira.
"Jadi lo sakit perut? Sakit maag?" Zein tiba-tiba menyingkirkan Milli dari depan Keira.
"Santai kali, Bos!" Milli tampak kesal karena Zein mendorongnya hingga menabrak meja.
Keira menatap Zein dengan kaku. Celaka, batinnya. Zein justru membuatnya semakin tidak tenang. Hatinya berdebar-debar jauh lebih kencang. Keringat dingin sepertinya mulai bermunculan. Perut pun tambah melilit saja rasanya.
"Beeeh, muka pucat Keira langsung merona kalo didatangin Zein!" seru Shella tiba-tiba. Seisi kelas langsung riuh mendengar seruan Shella. Tentu saja Keira jadi malu meskipun Zein cuek-cuek saja. Ia justru menarik tangan Keira lalu membawanya keluar kelas.
"Ciyeee....!"
"Ehem!"
"Prikitiw!"
Tak ayal, anak-anak sekelas langsung menggoda. Namun begitu Zein melirik ke arah mereka suasana kelas mendadak hening. Sorotan tajam matanya yang bak bos mafia mampu membekap mulut iseng mereka. Anak-anak pun langsung pura-pura sibuk dengan urusan masing-masing.
"Zein!" akhirnya Keira bersuara setelah menuruni tangga. "Lo mau bawa gue ke mana? Lo nggak denger pengumuman tadi? Kita harus tetep di kelas."
"Tapi lo sakit," sahut Zein tanpa menoleh.
"Gue nggak sakit. Gue cuma lemes karena nggak enak makan dari kemarin aja, kok."
Agaknya Zein tak mau mendengar omongan Keira. Ia justru membelokkan langkah mereka ke kantin, lalu mendudukkan Keira di salah satu bangku di sana. "Buk, bubur ayam satu! Teh hangat satu, sama obat maag ada nggak?" seru Zein pada Bu Pariyem, sosok yang sudah menjadi penjaga kantin sejak 20 tahun lalu.
"Ada. Tunggu sebentar ya," sahut Bu Pariyem sambil segera menyiapkan pesanan.
Mau tak mau Keira harus tersenyum melihat sikap Zein. Meskipun lagak preman tapi sikap Zein kadang bisa menjadi begitu pengertian. Zein seperti sosok yang selalu mengerti keadaan Keira, jadi pastilah sulit baginya untuk tidak menyukai cowok itu.
"Ayo, dimakan!" suruh Zein begitu pesanannya datang. "Dihabisin, terus makan obat sakit maagnya." Ia bagai seorang ibu sedang memerintah anak balitanya.
"Lo nggak makan sekalian?" tanya Keira, terpaksa menuruti perintah itu.
"Gue udah sarapan bareng Oki tadi," jawab Zein. "Ngomong-ngomong lo kenapa sampai nggak makan dari kemarin? Lagi galau? Mikirin gue atau apa?"
Teh yang sedang diseruput Keira langsung menyembur. "Nggak kok. Nggak usah kepedean deh," jawabnya sembari mengelap mulutnya yang basah. Zein menatapnya heran. Ia tahu Keira menyimpan sesuatu, tapi ia tak berkata apa-apa.
"Apa kita nggak dimarahin guru kalo ketahuan di luar kelas?" tanya Keira di sela menghabiskan bubur ayamnya.
"Peduli amat. Palingan mereka lagi sibuk nyambut anak SMA Global."
Sekali lagi Keira menyemprotkan isi mulutnya. Bubur yang sedang ia kunyah sampai muncrat ke mana-mana. Mendengar SMA Global hatinya kembali gelisah tidak karuan.
"Lo dari tadi kenapa sih makan disembur-semburin gitu?" tanya Zein sambil melihat aneh Keira.
"Lo pikir gue sengaja?" Keira mengelap mulutnya lagi dengan tisu yang ada di meja.
"Terus kenapa?" Zein pun mengintrogasi.
Cewek itu mendengus sebentar. "Zein," sebutnya ragu. "Apa lo.... Apa lo mau nolongin gue sebahaya apapun keadaan yang terjadi?"
"Maksud lo?" Zein mengerutkan dahi mendengar pertanyaan itu.
"Kalau ada cowok yang lebih brengsek dari Benny gangguin gue, apa lo mau nyelametin gue?" tanya Keira, hati-hati.
Zein malah tertawa. "Lo ngomongin apa sih sebenarnya? Lo lagi bahas si anak Bahasa itu atau siapa?"
"Ini bukan Ryu. Ryu sama sekali nggak berbahaya. Tapi ini—"
Zein tampak tak mau peduli. Ia justru mengambil alih sendok Keira lalu menyuapkan sisa bubur ke mulutnya. "Lo kalo lagi makan ya makan aja. Nggak usah ngomong aneh-aneh!"
Serta merta Keira menunduk malu. Akhirnya ia terdiam, mengunyah buburnya tanpa melirik Zein. Ia begitu lemah di hadapnya.
"Itu rame-rame ada apaan?" tanya Zein waktu mereka kembali dari kantin. Ia menunjuk ke arah ujung koridor arah dari gerbang, di mana terjadi keributan anak-anak seperti sedang menyaksikan pertunjukan.
"Ada apa ya?" Keira pun ikut heran.
"Uwaaa... keren banget!" Terdengar teriakan seorang cewek kelas 12 waktu Zein dan Keira mendekat.
"Kali ini gue harus berterima kasih sama Pak Kepsek. Datengin siswa SMA Global ke sekolah kita itu kan W-O-W banget!" sambung yang lain.
Keira langsung berhenti melangkah. Aura dingin dan gelap mendadak merambat ke sekitarnya. Ia bisa merasakan hawa buruk yang datang. Kalaupun terlihat dengan mata, pastilah serupa dengan aura beku yang Dementor bawa.
"Kei?" Zein menoleh saat sadar Keira tertinggal di belakang. "Ada apa?"
Keira mematung. Terlebih saat mendengar langkah-langkah kaki mendekat dari arah depan. Tampak anak-anak SMA Pahlawan menyingkir saat rombongan berseragam lain itu mau lewat. Sebisa mungkin Keira ingin berlari saat itu juga. Sayangnya entah kenapa, kaki Keira justru seperti terpaku di lantai. Keira bisa merasakan aura itu semakin jelas mendekatinya. Dan benar saja....
"Edward! Edward!" seru suara bule yang Keira kenal muncul dari arah rombongan itu . "Amazing! Look! Who's there! Who's there!"
"What?" Kali ini suara yang bahkan lebih Keira kenali lagi. "Oh my God! You're right, Rafael."
Keira menggerakkan bola mata dengan susah payah ke arah suara mereka. Dua cowok tampan bule itu sudah berdiri sekitar tiga meter di depannya. Mereka sedang memandang Keira dengan mata berbinar dan penuh rasa gembira.
"Good morning, My Destiny! Nice to see you again." Edward melambaikan tangan ke arah Keira. Ia juga memberikan senyum paling manis kepadanya.
"No, Edward! Stop it! She's mine. She's my destiny!" Rafael menyikut sepupunya dengan kesal. "Keira, lo nggak boleh ngeladenin Edward. Pokoknya lo punya gue, oke?"
Hening.
Suasana hiruk pikuk tadi langsung lenyap begitu mendengar ucapan Rafael. Semua mata lalu segera tertuju pada Keira. Bahkan Zein pun tampak sangat terkejut mendengarnya.
"Come on, baby!" Rafael berjalan menghampiri lalu mengulurkan tangannya bak sedang meminang Keira. "Gue senang kita ketemu lagi. Jadi ayo, temani gue keliling sekolah ini."
Hampir saja Keira merosot ke lantai. Badannya yang sudah lumayan bertenaga kembali lemas. Namun sebelum benar-benar jatuh, Keira menarik napas kuat-kuat lantas berlari menjauhi Rafael.
Sontak Edward tersenyum melihat kelakuan cewek itu. "Dia tipe pemalu, ya?" ia lalu bertanya.
"Yeah, I guess so," sahut Rafael sambil tertawa kecil. "But I'll catch her. Soon."