Download App
88.88% Bad Agreement #Klein series 1 / Chapter 8: Chapter 7 My New Life

Chapter 8: Chapter 7 My New Life

Hari pertama aku terbangun di kota New York setelah sekian lama kutinggalkan, musim panas kali ini, tak cukup membuatku kegerahan, bahkan disini masih terasa dingin di pagi hari, aku beruntung orang tuaku memiliki rumah yang agak di pinggir kota, suasananya masih alami, di halaman rumahku ditumbuhi banyak pohon rindang.

Matahari menembus jendela kamarku, membuat silau pandanganku, bergegas aku bangkit menuju kamar mandi, dan memulai hariku.

Oh, jadwalku sangat padat hari ini. Bertemu dengan Julia dan memasukkan beberapa lamaran kerja lainnya.

Paling tidak aku harus mengalihkan pikiranku, setidaknya jika aku menyibukkan diri aku bisa melupakan kesedihanku.

Kulangkahkan kakiku ke arah meja makan, disana ternyata sudah ada aunty dan uncleku, mereka tersenyum ramah padaku,

"Ayo kita sarapan, Aunty memasakkan sarapan Kesukaanmu sweetheart, lasagna keju," serunya gembira, kegembiraannya menulariku.

"Owahh, aku rindu sekali lasagna keju bikinan mom dan aunty selalu jadi favoritku, aku sering bikin sendiri tapi rasanya tak senikmat bikinan kalian," kataku langsung mengambil piring yang disediakan aunty Diana.

"Kamu rapi sekali, Nay," tanya uncle Tom, memperhatikan penampilanku yang sudah rapi dengan kemeja tanpa lengan dan span ketatku panjang sampai bawah lutut.

"Kanaya ada janji wawancara kerja pagi ini, setelah selesai Nay berencana memberikan lowongan kerja ke beberapa perusahaan," jawabku, membuat kedua paruh baya di depanku sangat senang dengan jawabanku.

"Ah... aunty senang, coba orang tuamu masih ada, mereka pasti ikut senang," seru aunty Diana.

Ucapannya membuatku teringat akan almarhum orang tuaku, ya mereka dulu berharap aku jadi orang sukses. Aku berharap aku bisa mewujudkannya walaupun terlambat.

"Doakan ya Kanaya diterima, ini bukan kerjaan besar tapi Kanaya mau coba."

"Memang rencananya mau kerja di mana?"

"Di majalah Styles, kebetulan teman Nay butuh make up artis, jadi mau Nay coba dulu, memang tidak ada hubungannya dengan pendidikan Nay, tapi siapa tau ini jalannya." Aku agak takut mereka tidak setuju, karena pekerjaannya tidak sesuai dengan pendidikanku.

"Iya uncle dukung, Joselin juga jadi Penulis padahal dia lulusan desain grafis, dia bilang biar bisa kerja di rumah," ujar uncle Tom sambil terkekeh mengingat keunikan putri tunggalnya itu.

"Ngomong-ngomong soal Joselin, dia menikah dengan siapa? Apa aku mengenalnya?"

"Oh... kau ingat Pria kecil dekat sekolah kalian yang selalu mengisengi kalian saat kalian pulang sekolah?" tanya aunty tak langsung menjawab pertanyaanku.

"Jangan kau bilang kalau Jo menikah dengannya, bukannya dia sangat membencinya?" sahutku tak percaya.

"Oh... kau pasti tak percaya kan?"

"Emm... sebentar, kalau tidak salah namanya Edward, ya kan?" ucapku terkekeh saat mengingat kenakalan pria kecil yang selalu mengisengi kami, oh kenapa ku bilang dia pria kecil, karena dia sangat kurus di usianya yang sudah remaja.

"Kau pasti tidak menyangka kalau bertemu dengannya, dia Si pria kecil yang super usil, dia sudah tidak kecil lagi, itu kenapa Jo mau menerima lamarannya."

"Wow, That aweesome," seruku

"I miss alot of thing," desisku

"Yes, dear...," kata uncle dan auntyku bersama sama.

***

Aku berjalan menuju sebuah gedung yang megah, dengan tulisan Daltron dengan huruf tegas, mencerminkan pemiliknya adalah sosok yang dominan.

Aku memasuki lobby, mengedarkan pandanganku, tatapanku langsung tertuju ke meja resepsionis, di sana sudah berdiri wanita cantik berambut pirang gelap, aku mendekat kearahnya.

"Maaf saya ada janji dengan ms. Julia, nama saya Kanaya," ucapku sopan, dia tersenyum ramah, kulirik name tagnya, Laura, batinku.

"Oh ya, silahkan ms. Julia sudah menunggu anda, anda bisa menaiki lift yang ada disana, ruangan Directur lantai 3," sahutnya ramah.

"Baiklah, terimakasih Laura," kataku, sambil melangkah menuju arah lift.

Didalam lift sudah ada dua orang, aku bergegas, begitu pintu akan menutup, tampak sebuah tangan dengan kuku bercat merah. Pintu terbuka, tampak seorang wanita cantik, dia tidak tersenyum, oh...orang cantik mah bebas, ya nggak, tak kuhiraukan wanita itu, bagiku aku disini mau melamar kerja, bukan menilai penampilan seseorang.

Akhirnya lantai tujuanku terbuka, buru-buru aku keluar, wanita itu melirikku saat aku melewatinya.

Kulangkahkan kakiku dengan pasti ke ruangan yang bertuliskan Directure, didepannya kulihat ada sekretarisnya sedang sibuk dengan pekerjaannya, sehingga tidak mengetahui kedatanganku.

"Selamat pagi, saya ada janji temu dengan ms. Julia," sapaku, dia menilaiku dari atas ke bawah.

"Pagi, mari silahkan masuk, pihak resepsionis sudah menghubungiku, dengan ms. Kanaya kan?" Ucapnya, sambil membuka pintu ruangan Julia.

Kujawab anggukan, aku mengikutinya, dia mempersilahkan dengan tangannya.

"Selamat pagi ms. Julia," sapaku terlebih dahulu, wanita yang sedang sibuk di depan komputernya langsung memandangku, melihatku dari atas dan bawah, again.

***

Waktu dikantornya kami bersikap profesional, setelah wawancara singkat dan dia menjelaskan tentang kontrak kerja dan dia juga menjelaskan perihal segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaanku.

Setelah sesi wawancara selesai dia mengajakku makan siang diluar, dia ingin bernostalgia rupanya.

"Wow, aku benar benar pangling sama kamu Jul," ujarku setelah usai pembicaraan serius kami.

"Kamu juga, waktu Angela bilang ada temannya butuh kerjaan, aku nggak nyangka kalau itu kamu, bukannya kamu udah jadi nyonya Aby, jadi nggak usah repot kerja kan?" tanyanya sambil menyeruput kopi yang ada di mejanya, saat ini kami ada di starbuck, memakan cheescake kesukaanku dan secangkir coffe latte favoritku, sedang Julia dengan kopi hitamnya dan red velvet .

"Kami baru saja berpisah, jadi you know lah kalau aku butuh kerja, buat memenuhi kebutuhanku sehari hari," sahutku santai, kelewat santai mungkin, sampai Julia tersedak kopinya, apa ucapanku membuatnya begitu syok?? Atau karena fakta yang sedang kukatakan padanya.

"Maaf, aku nggak tau Nay, sungguh," jawabnya setelah agak tenang, dia mengelap bekas kopinya yang menyembur tadi, aku menyesal atas kemejanya yang kotor dan tasnya yang kuyakin sangat mahal itu yang ikut ternoda.

"Ingatkan aku agar tidak tersedak saat minum kopi," ujarnya dengan wajah masamnya, aku tersenyum miris.

"Sorry, mengagetkanmu," ucapku penuh penyesalan.

"It's Oke,"sahutnya santai.

"Tapi bagaimana bisa, kalian adalah pasangan terfavorit, semua setuju jika kalian pasangan paling serasi," ujarnya masih penasaran ternyata.

"Ya bisalah Jul, manusia kan bisa berubah, kupikir cinta kami sangat kuat, tapi tak cukup kuat menahan godaan seorang wanita," ucapku miris, mengingat kembali perselingkuhan suamiku, eh maksudku mantan suami.

"Wah... sumpah, aku nggak nyangka jika Aby bisa menghianati kamu Nay, dia kan tipe pria setia," ucapnya tidak percaya, aku menanggapi dengan gedikan bahuku.

Kami lebih banyak membicarakan tentang teman kuliah kami yang pernh kita temui, Berbagi cerita, hingga hampir satu jam kami habiskan di sana.

"Besok, jangan lupa mulai kerja ya, kamu nggak pa-pa kan kerja bagian itu, kebetulan lowongannya baru itu, nanti kalau aku punya informasi kerjaan lebih oke, kamu pasti aku kasih tahu."

"Hei, aku tidak masalah, setelah bertemu denganmu aku juga akan memasukkan lamaran ke banyak perusahaan di New York kok, kamu jangan khawatir ya."

"Oke besok, jangan telat."

"Sip," jawabku sambil mengacungkan ibu jariku sebelum kami berdua berpisah.

Hari ini, sesuai rencanaku semalam melamar kerja, atau paling tidak menyerahkan dokumen lamaranku.

***

Hari berganti, sudah dua minggu aku bekerja di majalah Styles, menjadi make up artis, menambah pengalaman aku, bertemu dengan para model dunia yang jadi model di majalah tersebut, ada juga aktor atau aktris papan atas pernah ku make up in, pernah sekali aku juga memake up seorang politisi yang sedang naik daun.

Bertemu dengan orang sekelas mereka harus kuat mental, karena kita harus bisa menyesuaikan dengan keinginan mereka, tapi aku bersyukur karena selama dua minggu ini aku tidak mengalami kendala yang berarti.

Hari ini aku ditugaskan merias beberapa top model dunia buat pemotretan Busana hasil rancangan Desainer Kondang Donatella Versace yang merupakan adik dari perancang kondang lainnya yakni Gianni Versace yang baru minggu lalu juga melakukan pemotretan akan hasil rancangannya. Donatella sendiri karyanya banyak di pakai oleh artis top dunia, seperti Madona, Jennifer Lopez, Christina Aguilera, Demi moore and many more.

Kusiapkan alat make up ku, sudah kulihat dari tadi keriuhan disini, aku hari ini harus berurusan lagi dengan beberapa model papan atas, ada beberapa yang sudah pernah ku make up ada juga yang baru kali ini kulihat.

"Hai Nay, gimana udah siap? Modelnya udah datang tuh, biar kupanggil ya?" tanya Bianca, assistenku yang diberikan oleh Julia, memang setiap make up artis mendapat asisten, dan aku bersyukur untuk itu.

Seorang wanita cantik berambut merah, yang kutahu itu bukan rambut aslinya, Dia meneliti penampilanku yang memang jarang bermake up tebal, mungkin dia meragukan keahlianku, dan kebanyakan artis atau model yang pertama kali memakai jasaku akan melakukannya, agak risih sih, tapi aku bisa apa?.

"Kau yang akan meriasku, Aku agak sensitif kulitnya, jadi jangan pakai make up murahan ya," ejeknya, kujawab dengan anggukan dan senyuman.

"Silahkan duduk," kataku sop an.

"Aku baru lihat kamu, orang baru ya?"

"Iya, baru dua mingguan."

"Pantesan baru lihat, aku juga dua mingguan ada acara fashion show di luar kota, padahal biasanya aku sering banget, dipakai sama Styles," ocehnya, wanita ini rupanya ramai juga.

"Wah lihat tuh siapa yang baru datang?" bisiknya, kuikuti arah pandangnya, bisa kulihat ada seorang wanita cantik tak kalah cantik dengan wanita yang sekarang sedang ku make up, aku juga baru melihatnya kali ini, apa dia juga model? batinnya.

"Memang siapa dia?" tanyaku malas, sekedar berbasa basi, aku bukanlah typikal orang yang haus akan urusan orang, aku hanya berusaha akrab dan membuat wanita yang kurias tidak bosan menunggu riasannya.

"Wah... ada juga ya yang tidak mengenalnya, baguslah berarti aku lebih terkenal kan di banding dia," sahutnya senang.

"Saya juga tidak mengenal anda, yang saya tau anda adalah seorang model," jawabku dengan sopan.

"Wah kamu hidup di dunia mana sih? Kok tidak kenal dengan kami?" sahutnya tak percaya, ada kerutan di dahinya.

"Maaf, saya bukan penggila Fashion," jawabku merendah.

"Nama saya Gigi Kendarsih, dan wanita yang tadi, dia itu rival saya namanya Jessica Jennar, tapi berubah jadi Jessica Klein sejak dia menikahi billionaire yang paling diminati se New york ini," katanya memperkenalkan diri.

"Saya Kanaya, make up artis," Kanaya ikut memperkenalkan diri, merekapun tertawa dengan sikap formal mereka barusan, Gigi ternyata tak buruk juga, pikir Kanaya.

"Kamu tau nggak Jessi itu beruntung banget tau nggak?"

"Kamu iri ya?"

"Siapa yang nggak iri coba, dia bisa membuat seorang casanova menikahinya, trus dari model biasa menjadi top model saat ini, tapi yang bikin gedeg dia tuh kayak nggak menghargai suaminya itu," ceritanya antusias, kulirik sumber cerita Gigi, wanita itu dirias oleh Tina, lelaki yang melakukan transgender. Dia memang termasuk make up artis pilihan, sama sepertiku, ya walau aku masih baru tapi aku sudah dipercaya pegang artis atau top model.

Wanita itu asik dengan handphone, tidak memperdulikan sekitarnya.

"Tapi banyak yang bilang dia bisa seperti sekarang juga berkat campur tangan suaminya, kau tau kan Jashon Klein pengusaha muda, dia juga owner dari Daltron group, salah satunya termasuk majalah Styles ini, jadi dengan kekuasaannya dia mudah saja mengorbitkan istrinya," ada kudengar nada sinis dalam suaranya. Aku tak begitu mendengarkan bisikannya, karena aku tidak suka bergosip.

"Kurasa wajar jika dia memfasilitasi istrinya, dia wanita yang beruntung ya," kataku sambil ekor mataku mencuri lihat kearah wanita itu, dia sedang berbicara mesra dengan seorang pria, apa itu suaminya, lelaki itu memang tampan, tapi tidak terlihat seperti pengusaha, pakaiannya yang sporty, dengan gaya machonya, dan banyak pierching dan tatto di lengannya, lebih kelihatan seperti bad boy dibanding pengusaha.

"Itu Adam Cross, vocalis band rock yang lagi meniti karir, kurasa salah satu mainannya Jessi," kata Gigi, saat aku berhenti karena fokus dengan pemandangan di depanku.

"Bukan suaminya? Apa suaminya tidak tau?" dia cuma menggedikkan bahu tanda tak tau atau tidak perduli, kurasa aku harus mulai terbiasa dengn pola pergaulan disini.

Aku melanjutkan memberikan sentuhan pada rambutnya, karena pakaiannya untuk acara glamor atau party aku, menyanggul rambut Gigi dengan gaya klasik tapi terlihat modern, saat sudah selesai dia terlihat tidak percaya dengan hasil karyaku, oh..ayolah jangan meng Underestimate kemampuan seseorang hanya dari penampilannya. Aku tidak bermake up tebal bukan karena tidak bisa, tapi kurasa itu berlebihan jika hanya pergi kerja.

Seusai mendandani beberapa model akhirnya tugasku selesai juga, tapi entah kenapa pikiranku masih mengarah pada model cantik tadi, aku merasa kasihan dengan suaminya, kalau dari cerita Gigi, suami wanita itu bukan orang biasa, tapi kenapa istrinya tega berselingkuh di belakangnya, apa suaminya tidak tau? Tapi bukannya di gedung ini adalah gedung milik lelaki itu, kenapa affair istrinya tidak sampai pada lelaki paling berkuasa disini, karena aku yang baru saja bekerja disini sudah melihat kemesraan pasangan peselingkuh itu, ingatanku kembali kepada nasibku sendiri, Aby bahkan sudah dua bulan menyelingkuhiku, dan aku baru tau setelah dua bulan...

Apa itu juga yang terjadi? Arghhh... kenapa aku mesti perduli, geramku.

***

Julia bilang hari ini aku harus mendandani model tapi bukan di studio biasanya, karena ini bukan pekerjaan dari majalah Styles, tapi ini pekerjaan dari kantor utama, mereka mau meluncurkan produk baru, dan aku beserta Tina dan Prisca yang bertugas mendandani para brand ambasador tersebut, awalnya kupikir brand ambasador itu cuma satu model saja, ternyata ada tiga, mereka mewakili beberapa produk. Wah... Seberapa besar perusahaannya?.

Aku dan kedua make up artis lainnya sudah sampai di lobby perusahaan tersebut, Lois Vuitton. Aku mengedarkan pandanganku dengan takjub, bukan karena desain bangunannya, tapi di dinding terdapat beberpa produk unggulan dari Lois Vuitton yang berjejer rapi tertutup dinding kaca, mataku tak berkedip, tas bermerk LV, sepatu limited edition dan beberapa accesoris wanita maupun pria tertata dengan rapi, kelihatan berkelas.

Badanku di senggol oleh Prisca,

"Biasa aja lihatnya," godanya, aku tersipu malu.

"Ah... dulu waktu pertama kamu malah lebih kampungan, tau tidak Nay, Caca nih dulu sampai terlonjak lonjak, tak henti hentinya mulutnya bilang Oh my god... This aweesome... It's so beautifull, benar benar memalukan," ejek Tina, membuat Prisca mencebik kesal.

��Sendirinya juga lebih parah, tau tidak ekspresi wajahmu waktu itu lebih memalukan, tau nggak Nay, masak pas udah mau ngerias dia malah nempel di kaca itu nggak mau lepas," kekeh Prisca, aku mengetatkan bibirku menahan tawa, ada ada saja mereka itu, aku jadi membayangkan Tina yang menempel dikaca itu, akhirnya tawaku pecah juga, diikuti oleh mereka berdua.

Tawa kami bertiga berhenti seketika saat sebuah suara berat menginterupsi

"Ehemm, maaf anda bertiga disuruh mr. Klein ke ruang make up," katanya datar, ck... kenapa orang berjas selalu berbicara datar?

Kamipun mengikuti langkah pria tadi menuju ruang make up, disana sudah ada tiga model, Salah satunya ternyata Gigi, disana juga ada wanita kemarin yang digosipkan oleh Gigi, dan satu top model lagi bernama Gloria, aku juga pernah meriasnya. Tapi aku tidak terlalu menyukainya, aku berharap tidak diminta meriasnya, aku lebih memilih merias Gigi saja, itupun kalau boleh memilih.

"Kau sering merias wanita itu ya," bisikku pada Tina

"Iya, dia sepertinya cocok dengan make up ku, Gigi juga sepertinya cocok denganmu, dia yang memintamu jadi make up artisnya," aku lega mendengarnya.

"Sejak kapan kau mengenalnya," bisikku lagi, dia terkekeh

"Kenapa kau berbisik? Aku mengenalnya sebelum dia seterkenal sekarang, belum menikah dengan sang billionaire," bisiknya lagi.

"Menurutmu dia bagaimana?"

"Typical wanita ambisius, melakukan segala cara agar tujuannya tercapai, kenapa sepertinya kau tertarik?"

"Entahlah sedikit informasi membuatku tertarik," sahutku acuh, aku berjalan ke arah Gigi, karena dia sudah selesai dengan pembicaraannya dengan penata gaya.

"Hai, bagaimana harimu," sapaku ramah

"Baik, aku punya kabar baik buatmu," katanya bersemangat, oh aku jadi ikut bersemangat.

"Aku mengajukanmu menjadi make up artisku saat tour keliling Eropa, dan Ethan menyetujuinya," sahutnya lagi

"Ethan?" tanyaku akhirnya, kurasa di Styles ada beberapa yang bernama Ethan, tapi kurasa mereka tidak berwenang menentukan hal itu, mereka cuma wartawan dan bagian peralatan, apa ini Ethan yang lain?

"Ini Ethan, promotour tunggal dari Fashion Show Tahunan musim semi. Disana ada beberapa desainer yang bergabung. Ada juga beberapa brand ikut andil seperti LV, CK, dan diamond, kau tidak akan menyesal jika ikut serta, dan jangan lupakan pria tampan berduit," katanya sumringah, aku cuma tersenyum menanggapinya, sambil tanganku dengan lincah membersihkan wajahnya .

"Ck... adegan drama romantis di mulai, bersiaplah Nay, jangan lupakan popcornmu," bisiknya lirih tapi masih bisa kudengar, aku mengerutkan kening, dia menunjuk menggunakan dagunya.

Kulihat ada seorang lelaki tampan memasuki ruangan diikuti pria datar yang mengantarku kesini, sebentar aku seperti pernah melihatnya, pria tampan, bahkan lebih tampan dari penampakan dewa yunani yang pernah kulihat di roma, oh... pria itu... pria sempurna yang SOMBONG.

Dia berjalan mendekati wanita bernama Jessi itu, tanganku terhenti karena perhatianku tertuju ke arahnya.

"Tontonan yang seru hmm, dia adalah suami Jessi, lelaki yang kuceritakan kemarin padaku," jadi dia suami yang diselingkuhi istrinya, kulihat sosoknya dari atas ke bawah, sangat sempurna, wanita bodoh mana yang menyia-yiakan lelaki sesempurna itu, pikirku. Wajahku memerah karena ketahuan memperhatikan sang Pria nan gagah rupawan tapi sangat Sombong, Menurutku

"It's crazy thing," desisku.

"Yeah... unfear too," desahnya

"Hei... apa kau menyukai pria itu?" tebakku

"Siapa menurutmu yang tidak jatuh cinta padanya?" matanya kini menyelidikiku membuatku gelagapan.

"Yeah, kau benar, tapi aku hanya mengagumi paras rupawannya, tidak dengan sifat sombongnya, kurasa dia juga arogan," sahutku akhirnya, dia terkekeh dengan jawabanku. Apa aku saja bilang kalau aku mengagumi paras rupawannya, oh aku terjebak..

"Kau sepertinya sangat mengenalnya, apa kau mengenalnya?" tanyanya dengan raut penasaran yang kentara.

Aku tidak menjawabnya karena adegan yang terpempang di depanku, lelaki itu mencium istrinya dengan lembut, tapi saat kulihat wajah istrinya, tak ada kenyamanan disana, reaksinya tidak seperti saat dia mencumbu pria kemarin yang ada di studio, apa mereka menikah karena perjodohan, dan wanita itu terpaksa menikahi billionaire itu??

Oh aku tidak fokus kali ini...

"Hai kau tak menjawabku," sentak Gigi menyadarkanku pada bumi yang kupijak, aku tersenyum malu.

"Oh... maaf, fokusku ke adegan di depan sana, kenapa aku merasa wanita itu tidak menyukai suaminya ya, apa mereka dijodohkan?" tanyaku ingin tahu.

"Kau juga berpikir begitu, akhirnya ada juga yang sepaham denganku!!" suara bersemangat Gigi, membuat semua mata tertuju pada kami, mata itu menatap mataku, matanya sebiru lautan dan siap menenggelamkanku ke arusnya yang dalam. Mata kami bertatapan.

"Ehmm maaf, aku tadi terlalu bersemangat, lanjutkan kegiatan kalian lagi," ucapnya menghentikan aksi saling tatap tadi, kuputuskan tidak memandangnya lagi, atau aku akan terpesona olehnya.

"Aku baru melihatmu," ucap suara sexy di belakangku, kuputar tubuhku, dia tepat berada di depanku, jantungku berdetak sangat cepat, bahkan dengan nada datarnya saja membuatku meleleh. Sejuta kupu-kupu berterbangan di perutku, membuatku salah tingkah.

"Ini make up artisku yang baru, kuharap kau tidak keberatan," sahut Gigi mendahuluiku menjawab, tapi lelaki di depanku ini tak mengalihkan pandangannya dariku, dia menatapku dengan pandangan... errr lapar?? Apa aku salah?? Tapi disini ada istrinya.

"Saya Kanaya sir, make up artis di majalah Styles," ujarku pelan, seperti bisikan, tapi kurasa dia mendengarku, karena dia mengangguk dengan senyum tersungging di sudut bibirnya, menambah kadar ketampanannya, aku menahan keinginanku untuk mencium bibir yang menggoda itu, kugigit bibir bawahku, meredam hasrat liarku yang entah kenapa keluar di saat yang tidak tepat, didepan orang yang tidak tepat.

Buru-buru, kufokuskan perhatianku untuk meneruskan merias Gigi, tanganku gemetar efek hasratku yang bergelora, kuhela nafasku untuk meredakannya, bisa kurasakan dia masih menatapku intens, membuat aliran darahku mengalir dengan cepat, nafasku tersengal. Kurasa aku harus menjernihkan pikiranku dulu.

"Gi, aku ke toilet dulu ya, nggak tahan nih," bisikku ke telinga Gigi, Wanita itu mengangguk pelan.

"Jangan lama-lama ya," peringatnya, aku cuma mengangguk, kutoleh sebentar si tuan Tampan, dia masih mengawasiku ternyata.

"Saya kebelakang dulu sir," pamitku

"Ayo kuantar," tegasnya, kurasa itu bukan ajakan tapi perintah, aku berusaha mau menolak, tapi dia melotot ke arahku saat aku akan membuka suara, akhirnya aku cuma bisa mengangguk.

Berjalan mengikutinya, bagaimana ini, aku pamit kan berniat menghindarinya tapi kenapa dia malah mengantarku, bagaimana kalau aku khilaf lantas menerjangnya, aku melotot pada dewi lacur yang berlenggak lenggok... segera kutekan sisi liarku, bagaimana dari arah belakangnya aku malah membayangkan pantatnya yang keras dalam genggaman tanganku...

Oh... stop it, kugigit bibir bawahku, dia menoleh padaku dan menarikku ke arah lift dan masuk ke dalamnya, mengukungku dalam pelukan hangatnya, dia menekan tombol yang membuat lift berhenti bergerak, dia melonggarkan pelukannya, dan aku merasa sedikit kehilangan, dia membelai bibir bawahku yang masih kugigit, dia menekannya dan membuat gigitanku terlepas.

"Jangan menggigitnya, atau aku akan menggigitnya," ucapnya serak, dan langsung menyerbu bibirku dengan bibirnya, bibir yang tadi kubayangkan kini menciumi bibirku lembut, namun perlahan dia menggeram dan terus mencecap rasa bibirku, kami berbagi saliva, entah berapa lama kami saling mencumbu, kukalungkan kedua tanganku ke lehernya membuat ciuman kami semakin dalam, aku mendesah pelan, membuatnya semakin bergairah, dia mulai merabai punggungku, meremas pelan payudaraku yang masih beralaskan kemejaku dan bra, tapi tak mengurangi gelenyar nikmat yang kurasakan, aku jadi basah hanya dengan ciumannya. Kami menghirup udara dengan rakus saat penyatuan bibir kami terlepas, aku menyurukkan wajahku ke dadanya yang bidang, aroma maskulin yang menyegarkan tercium oleh indera penciumanku.

"Maaf, kurasa aku melakukan kesalahan...," katanya sambil menjauhkan tubuhnya dariku.

'BAM!!' Wajahku terasa tertampar

Kesalahan? Tadi hanya kesalahan? Setelah ciumannya yang intens? Apa dia pikir aku wanita murahannya? Oh you are, batinku mengejek, wanita terhormat mana yang baru pertama kali bertemu langsung membalas ciuman pria asing?

"Iya, kurasa kau benar, itu hanya sebuah kesalahan," sahutku akhirnya, dengan emosi yang bergejolak aku membuka lift, dan melangkah dengan angkuh ke sembarang arah. Tak kuhiraukan tatapan bersalahnya.

Tak lama aku memasuki ruangan make up, pandanganku hanya tertuju pada Gigi, walau ujung mataku menangkap siluet pria brengsek itu, sialan batinku.

Tanpa banyak kata aku menyelesaikan pekerjaanku dengan baik, lagi-lagi Gigi terpesona dengan tampilannya yang kusulap menjadi luar biasa, dia tersenyum padaku.

"Terima kasih, kau tidak mengecewakanku," aku hanya mengangguk menanggapi pujiannya, bukankah itu memang pekerjaanku?

Sisa hari kulewati dengan hati dongkol. Walau sudut mataku menangkap sosok 'sialan' itu, kenapa dia masih ada disini, apa dia tidak ada kesibukan? Kurasa dia pengangguran!!! Hell no, dia pria paling sibuk, buktinya dia sangat kaya, jika tidak bekerja apa dia punya pohon uang? Pemikiran konyol dari mana itu?? rutukku dalam hati.

Kucoba tidak menganggapnya ada, seperti ciumannya yang tidak berkesan, hell itu bohong!! Tapi dia memintaku melupakannya... Dan itu membuatku merasakan perih, dia sangat menyakiti perasaanku.

Aku merutuki kecerobohanku itu, bagaimana aku bisa begitu terpengaruh hanya karena melihat senyum di bibirnya membuat keinginanku untuk mencicipi rasa bibir itu, oh aku kesal dengan diriku sendiri...

Wanita bodoh... selalu terjebak dengan pria jerk!!

Arghh

Bisakah aku menghilangkan rasa bibirnya...

Aku mengerang kesal, kesal pada kebodohanku sendiri...

***


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C8
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login