Download App
47.82% Awakening - Sixth Sense / Chapter 33: Menikmati

Chapter 33: Menikmati

"Lo kenapa Ram? Yang teriak tadi itu siapa?" tanya Steven dengan bingung.

"Kamu gapapa Ram?" tambah Riska dengan ekspresi khawatir.

Sepertinya semua penghuni villa terbangun akibat teriakan dari Ilham. Mereka satu persatu keluar dari kamarnya dan mendatangiku yang berada di halaman sendirian.

"Iya, aku gapapa kok." jawabku dengan senyuman terpaksa

Riska dan Steven menatapku curiga layaknya tidak percaya akan apa yang telah kukatakan. Sedangkan Melissa hanya menatapku dengan khawatir, sepertinya dia paham dengan kondisiku yang sedang buruk saat ini.

"Kalian lanjut istirahat aja, sorry udah ngeganggu." ucapku lalu bergerak menuju villa

Mereka tidak menjawabku, sepertinya mereka sudah mulai paham akan kondisiku yang tidak baik. Untuk sementara waktu, lebih baik bagiku untuk sendirian dan tidak diganggu terlebih dahulu.

Sesampainya dikamar, aku langsung berbaring dan memejamkan kedua mataku. Tetapi aku tidak bisa tertidur sebab kejadian tadi masih berputar berulang-ulang kembali dipikiranku.

Mulai dari tatapan hingga ucapan Adellia masih membekas dimemoriku. Sebenarnya aku tidak mengerti, apakah yang kuperbuat itu salah atau benar.

Walau sejujurnya, aku hanya ingin melampiaskan kekecewaan dan kemarahanku kepada Ilham. Aku tak terima, mengapa jawaban Adel sesuai dengan ucapannya. Aku bertanya-tanya dalam benakku, apa alasan sebenarnya Adel menolakku?. Apa selama ini, ucapan dan sikap perhatiannya hanya sebatas teman saja?. Apa semua yang kurasakan selama ini salah?.

Sepanjang malam itu, aku hanya sibuk menyalahkan semua yang terlibat. Baik itu diriku, Ilham, dan bahkan Adellia. Semakin lama pikiranku semakin tidak rasional. Pikiran dan batinku pun sudah dipenuhi oleh emosi negatif.

Sementara itu, Steven hanya memandangiku dengan khawatir. Tampaknya dia ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu. Jadi dia tetap diam dan tak mengangguku yang sedang duduk di pinggir kasur.

Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Berandai-andai, bahwa seharusnya aku tidak menyatakan perasaanku. Seharusnya aku tidak merasa percaya diri. Seharusnya aku tidak ikut liburan ini. Apa seharusnya aku tidak kenal dengan Adellia?.

Steven yang tadinya masih berbaring di kasur pun beranjak lalu duduk disampingku.

Lalu dia tiba-tiba memegang pundakku lalu berkata, "Jangan dipikirin sendiri semua Ram, lo bisa cerita ke gw kok."

Mendengar ucapan Steven membuatku sadar, bahwa selama ini aku masih memiliki seorang sahabat.

"Gw ditolak ven." ucapku pelan

"Ha??? ditolak???" tanya Steven dengan ekspresi yang sangat terkejut.

"Kok bisa Ram?" tanya Steven lagi

"...." Aku hanya diam tak menjawabnya, sebab aku sendiri juga bingung dan tak tahu apa alasan Adellia.

"Dia ngomong apaan emangnya Ram?" tanya Steven perlahan.

Aku mulai mengingat lagi kejadian tadi, disaat aku mengungkapkan perasaanku, dimana Adel hanya meresponku dengan permintaan maaf sebagai penolakan.

"Dia minta maaf doang ven." jawabku lesu

"Hmmmm... terus dia gak ngasih tau alasannya gitu?" ucap Steven sambil mengernyitkan dahinya.

Aku menggelengkan kepalaku pelan.

"Tapi, kok bisa ada Ilham tadi disana?" tanya Steven bingung.

"Dia tau kalo Adellia bakal nolak gw Ven." ucapku

"Haaa??? kok bisa?" ucap Steven semakin heran.

"Gw juga gak tau kenapa." balasku

"......" Kami berdua hanya bisa diam, mencoba menelaah apa yang telah terjadi. Tetapi setelah beberapa saat, hasilnya tetaplah nihil.

"Mending lo istirahat dulu deh Ram, muka lo udah pucat banget tuh." ucap Steven

"Iya ven, lo juga. Makasih dah mau dengerin gw." balasku canggung.

"Yaelah, kita udah temenan lama masih pake acara ngomong makasih segala. Tidur gih, muka lo dah suram gitu." ucapnya sambil tersenyum.

Berbicara dengan Steven setidaknya bisa membuatku lebih lega. Aku pun berbaring di kasur dan memejamkan kedua mataku. Hingga perlahan-lahan kesadaranku mulai melemah, sampai akhirnya aku pun tertidur dengan pulas. Malam yang buruk itu pun akhirnya perlahan berlalu.

"Ram, bangun Ram..."

Suara wanita yang memanggil namaku berkali-kali akhirnya berhasil membangunkan diriku. Spontan aku mulai membuka kedua mataku yang terpejam, lalu kukedipkan kedua mataku.

Perlahan pandanganku yang tampak kabur mulai semakin jelas, hingga tampaklah wajah Riska yang sedang memandangku dengan senyum kecilnya. Walau dari ekspresinya aku masih melihat ada kekhawatiran yang tersimpan disana.

"Iya kak, udah mau berangkat pulang ya kak?" tanyaku pelan.

"Nggak kok, ntar berangkatnya nunggu semuanya selesai siap-siap. Jadi dibawa santai aja Ram." jawabnya perlahan.

"Oh, oke kak." ucapku singkat dan lemas.

"Kamu beneran gapapa Ram?" ucapnya sambil memandangku dengan khawatir.

"Gapapa kok kak. Cuma sedikit kecapean doang." ucapku dengan senyum kecil.

"Yang teriak kemarin Ilham ya Ram?" tanyanya dengan ragu.

"Hmmmm, iya kak." jawabku pelan

"Kalian ada masalah apa? Kok bisa sampai berantem gitu Ram?." tanyanya dengan heran.

Aku hanya menunduk dan terdiam tak menjawab pertanyaan dari Riska.

"Tentang Adellia ya?" tanya Riska pelan

"........"

Beberapa saat, Riska hanya memandangku dengan khawatir. Sepertinya dia sudah mengerti dan mengkonfirmasi kebenarannya. Hingga akhirnya dia hanya mengambil dan menghela nafas dalam dalam.

"Jangan lama-lama sedih Ram."

"Ada aku yang siap disisi kamu."

Ucap Riska sambil memegang pelan bahuku. Dia memandangku dengan senyuman manisnya yang tampak sangat tulus.

"Makasih banyak kak." balasku pelan

Sejujurnya aku mengerti maksud dari ucapan Riska. Tetapi aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Bahwa sebenarnya dibatinku, aku tidak merasakan rasa cinta kepadanya.

Walau sebenarnya jika cuma dinilai secara penampilan, Riska tak kalah cantik dan menarik dibandingkan Adellia. Bagiku mereka berada pada tingkat yang seimbang secara fisik.

Tapi di sisi lain, aku lebih mengikuti naluri serta perasaanku. Mungkin aku terlihat munafik, sebab umumnya tiada laki-laki yang tidak memandang wanita dari segi fisik dan penampilannya.

Sebenarnya, bagiku penampilan luar memang berpengaruh. Tapi yang lebih penting dan menarik bagiku adalah karakter dan chemistry dari seseorang. Bisa dibilang, aku adalah tipe yang menilai orang dari sisi dalam ketimbang tampak luarnya.

"Aku mau mandi dulu kak." ucapku untuk menghindari situasi yang mulai canggung.

"Iya Ram, jangan lupa sarapan ya." ucapnya pelan lalu pergi keluar.

Tak lama kemudian, aku selesai mandi dan langsung membereskan barang bawaanku ke tas. Setelah selesai, aku berniat pergi ke ruang tamu untuk mengambil sarapan pagi.

Saat diruang tamu, aku melihat semua orang sudah berkumpul disana. Mereka sedang menyantap sarapan sambil menonton televisi. Tampak Thalia, Ivan dan Jessica yang sedang berbincang-bincang disana.

Saat aku mendekat, mereka semua langsung spontan diam dan melirikku dengan berbagai ekspresi. Aku juga memperhatikan Ilham yang sedang duduk dengan luka yang masih membekas dipipinya.

Dia menatapku penuh dendam, sepertinya dia masih belum puas dengan pertarungan kemarin. Sedangkan Adellia hanya menatapku sebentar lalu langsung memalingkan wajahnya.

"Ram, sarapan bareng yuk." ajak Melissa

"Iya Mel." jawabku singkat

Suasana di ruang tamu rasanya sangat berat dan canggung. Tiada satu orangpun yang mencoba untuk memulai pembicaraan. Semuanya hanya diam sambil melakukan aktifitasnya masing-masing.

"Habis sarapan kita langsung berangkat pulang ya." ucap Riska membuka pembicaraan.

"Barang-barangnya jangan sampai ada yang ketinggalan." tambahnya

"Iya ris, terus ini kita ga sekalian foto-foto terakhir nih?" tanya Thalia

"Hmmmm, boleh sih." ucap Riska sambil melirik ragu kearahku.

Saat itu aku tak terlalu menghiraukan mereka, aku hanya ingin cepat-cepat pulang dan mengakhiri ini semua. Aku ingin secepatnya melupakan memori ini, dan melanjutkan kehidupanku seperti semula.

"Ram, yuk foto berdua." ucap Melissa sambil tersenyum manis.

"Lagi males Mel." balasku singkat

Tak kusangka, tiba-tiba Melissa melingkarkan tangannya dipinggangku. Lalu tanpa aba-aba dia langsung mengambil pose berfoto selfie denganku. Aku hanya bisa menghela nafas dalam-dalam. Karena aku mengerti, tidak ada gunanya mencoba untuk menolak wanita yang bersifat keras kepala seperti Melissa. Yang ada, aku hanya akan menghabiskan tenagaku sia-sia. Jadi lebih baik aku mengikuti permintaannya saja agar ini dapat selesai lebih cepat.

"Ehem...ehemmm.." ucap Steven sambil melirikku jahil.

Aku tidak terlalu menghiraukan Steven, sebab aku sedang tidak mood untuk bercanda. Selesai meladeni Melissa, aku langsung pergi mengambil tasku di kamar.

Disaat baru saja mau keluar dari kamar, aku melihat Adel sudah berdiri didepan pintu. Dia menatapku dengan ekspresi wajah bersalah.

"Ram, sebenarnya kemarin kalian berdua kenapa?" tanya Adellia pelan

"Emangnya penting? Bukannya kemaren gw udah jawab ya?" ucapku enteng walau sebenarnya emosi sudah bergumul didalam hatiku.

"Kamu kayak gini gara-gara jawabanku kemarin?" tanyanya lagi

"Nggak kok, anggap aja kemarin gw gak ngomong apa-apa." jawabku dingin

"Apa mas Ilham ada ngomong sesuatu ke kamu?" ucapnya perlahan sambil menatapku dengan serius.

"......." Aku tak menjawab ucapannya. Sebab memalukan jika aku mengiyakannya, aku akan terkesan seperti orang yang suka mengadu. Aku tak ingin harga diriku tercoreng.

"Dia bilang apa Ram? Apa dia bahas-bahas tentang aku?" tanyanya bertubi-tubi

"Udah Del, mending gausah dibahas. Gw lagi gak mood." ucapku lalu bergerak memaksa melewatinya.

Tetapi Adellia tetap berdiri disana untuk menghalangi jalanku. Sepertinya dia tak mau menyerah untuk mendapatkan jawaban dariku.

"Mau lo apaan sih Del?" tanyaku dengan kesal

"Aku cuma mau jawaban jujur dari kamu Ram." jawabnya serius

"Gw dah jujur kok, gw emang mau mukulin dia kemaren." ucapku ketus

"Kamu mau pukulin dia tanpa alasan gitu? Aku ga percaya kamu bakal lakuin itu Ram." ucap Adel

"Bodo amat deh, minggir." ucapku dingin

"Aku bakal minggir kalo kamu ngasitau alasannya." balas Adel tegas tak mau kalah.

"Kamu yakin?" tanyaku pelan memastikan

"Iya." jawabnya sambil menganggukkan kepalanya.

Perlahan aku mulai mendekati tubuhnya dan berdiri tepat didepannya. Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya lalu menatap matanya dalam-dalam.

"Kenapa ngeliatnya kayak gitu?" ucap Adellia yang tampaknya mulai gugup.

"Minggir gak?" tanyaku pelan

"Nggak ma..."

Sebelum dia menjawab, aku telah mencium bibirnya terlebih dahulu. Tak tau setan apa yang merasukiku saat itu, aku benar-benar melakukan hal yang berada diluar kendaliku.

Beberapa detik bibir kami berdua masih menempel, hingga akhirnya aku tersadar bahwa Adellia sedang memandangiku. Tampak ekspresi Adellia yang sangat terkejut akan tindakan yang kulakukan. Dia hanya terdiam dengan kaku layaknya sebuah patung.

Aku langsung membuka pintu dan pergi keluar meninggalkannya. Entah kenapa, aku merasa seperti lelaki brengsek yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Aku ingin meminta maaf, tetapi aku merasa sangat malu akan tindakan yang kuperbuat. Aku bahkan tak berani untuk mendengar respon dari Adellia. Aku tak tau harus berbuat apa kedepannya.

Tetapi jika harus berkata jujur, sebenarnya aku sungguh menikmati ciuman itu.

Bersambung...


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C33
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login